Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Pendengki di Belakang Trump

Seruan melarang muslim masuk ke Amerika mengundang kecaman. Penganjur anti-Islam kondang di belakang Trump.

14 Desember 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nada perbincangan dalam program Morning Joe di stasiun televisi MSNBC beberapa kali meninggi. Pada Selasa pekan lalu itu, Joe Scarborough, sang tuan rumah, berupaya mencecar tamunya, Donald Trump, pengusaha yang sedang berkampanye untuk menjadi kandidat presiden dari Partai Republik, dengan pertanyaan-pertanyaan tajam mengenai seruan Trump agar semua muslim dilarang masuk ke Amerika Serikat.

Trump mengemukakan seruan itu sehari sebelumnya, mula-mula melalui sebuah siaran pers. Pernyataan ini menimbulkan suasana panas. Segera sesudahnya, dia harus menghadapi kecaman bertubi-tubi, dari pemuka agama Islam, dari para pesaingnya di Partai Demokrat, bahkan dari koleganya di Partai Republik. Tapi, seperti yang sudah-sudah, tak ada apa pun yang bisa membuatnya "balik badan".

Merespons pertanyaan dalam setiap wawancara, termasuk yang diajukan Scarborough, Trump bertahan pada pendapatnya. Dia menjelaskan, tindakan yang dia serukan itu akan bersifat sementara sebagai tanggapan terhadap terorisme. Dia menunjuk perintah penahanan imigran Jepang, Jerman, dan Italia yang dikeluarkan Presiden Franklin D. Roosevelt pada masa Perang Dunia II sebagai contoh.

Dia juga mengatakan, di beberapa tempat, seperti London dan Paris, ketakutan terhadap terorisme menyebabkan tugas polisi menjadi sulit. "Paris tak lagi seperti kota yang dulu," ujarnya. Dia menambahkan, tanpa menyebutkan bukti apa pun, di Paris "ada bagian-bagian yang teradikalisasi sampai polisi tak mau bertugas ke sana". "Kita punya kawasan-kawasan di London dan tempat-tempat lain seperti itu yang polisinya pun takut akan keselamatan diri mereka," katanya.

Berbeda dengan pernyataan Trump, di Paris tak ada kawasan seperti itu. Wali Kota London Boris Johnson pun menyebut klaim Trump sebagai "omong kosong luar biasa dan sempurna". "Satu-satunya alasan kenapa saya tak akan menyambangi beberapa bagian New York adalah risiko nyata bertemu dengan Donald Trump," ujarnya.

Di kalangan pendukung Trump, fakta seperti itu tak penting, rupanya. Mereka tetap mendukungnya.

* * * *

Jika harus disebut, Trump menggunakan data ini untuk mengukuhkan dasar usulnya: jajak pendapat online oleh Center for Security Policy (CSP), yang hasilnya menunjukkan seperempat muslim yang tinggal di Amerika percaya kekerasan terhadap warga negara itu dibenarkan sebagai bagian dari kampanye jihad di seluruh dunia. Tapi jajak pendapat ini kontroversial. Menurut para pengkritik, metodologinya tak bisa diandalkan.

Mereka juga mempersoalkan pernyataan Trump yang merujuk pada temuan jajak pendapat Pew Research, yang diklaim menunjukkan adanya "kebencian luar biasa terhadap warga Amerika oleh bagian terbesar populasi muslim". Keraguan timbul karena tak disebutkan jajak pendapat yang mana. Hasil jajak pendapat lembaga nonpartisan yang bermarkas di Washington, DC, ini, seperti dikutip Max Galka, kontributor Huffington Post, justru memperlihatkan keadaan yang bertentangan dengan klaim Trump.

Nama CSP-lah yang kemudian mengingatkan sebagian publik Amerika pada Frank Gaffney. Karena itu, menjadi jelas bagaimana agenda kebencian terhadap Islam, islamofobia, perlahan-lahan menyeruak di antara tema-tema kampanye Trump.

Gaffney memang bukan tokoh asing dalam politik Amerika. Karena manuver-manuvernya yang dilandasi islamofobia, Gaffney dijuluki "pembenci Islam paling kondang". Dialah yang gigih mempromosikan teori konspirasi tentang asal-usul Presiden Barack Obama.

Sebenarnya, dia sudah dianggap terpental dari orbit politik Amerika. Pada 2011, dia dilarang turut serta dalam Conservative Political Action Conference karena menuduh Al-Ikhwan al-Muslimun telah menyusupi penyelenggaranya. Setahun berikutnya, dia melontarkan teori bahwa Al-Ikhwan al-Muslimun telah merasuki Departemen Luar Negeri melalui Huma Abedin, ajudan Hillary Clinton--waktu itu menjabat Menteri Luar Negeri. Semua yang dia lakukan, yang didukung sekutu-sekutunya, gagal mempengaruhi hasil pemilihan umum 2012.

Munculnya Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) serta serangan-serangan spektakuler dan brutal yang dilakukannya mengubah situasi. Hal itu, kata Matthew Duss, Presiden Foundation for Middle East Peace, seperti dikutip Slate, "Menimbulkan apa yang memang diharapkan, yakni membangkitkan ketakutan dan meletupkan histeria serta menciptakan ladang yang subur bagi klaim liar tentang ancaman Islam." Menurut dia, itulah yang memberi Gaffney, juga jaringan kelompok anti-Islam, kekuatan dan relevansi baru.

Memimpin CSP, yang juga bermarkas di Washington, DC, Gaffney sudah lama menganjurkan pandangan bahwa semua muslim merupakan ancaman bagi Amerika. Pernah menjadi pejabat bidang pertahanan pada masa Presiden Ronald Reagan, Gaffney identik dengan kebijakan luar negeri yang properang, khususnya di Timur Tengah; angka belanja pertahanan yang gendut; juga, itu tadi, keyakinan terhadap adanya infiltrasi Al-Ikhwan al-Muslimun di dalam pemerintahan.

Seperti Trump, Gaffney tak peduli apakah muslim bisa bebas sebagai individu dan menjalankan agamanya. Dia pernah mengklaim muslim yang menjalankan syariat harus diadili karena menganjurkan makar. Dia juga menyebut pusat komunitas Islam di Manhattan sebagai "Masjid Trojan House"--dalam hal ini, dia merujuk pada program jahat komputer yang, setelah dipasang, justru merusak dari dalam.

Salah satu kemampuan Gaffney adalah menggalang dana untuk membiayai berbagai kegiatannya. Menurut laporan Foreign Policy, pada 2013, jumlah uang yang bisa dia kumpulkan mencapai US$ 3,55 juta, dan setahun kemudian naik US$ 2,04 juta. Di antara lembaga dan perusahaan yang menjadi donornya, ada Boeing (US$ 25 ribu), General Dynamics (US$ 15 ribu), Lockheed Martin (US$ 15 ribu), dan General Electric (US$ 5.000).

Kecuali Boeing, banyak dari perusahaan itu yang membantah mendukung misi CSP. Mereka berdalih hanya memberikan sumbangan untuk sebuah acara makan malam.

Dengan dana sumbangan, CSP antara lain mensponsori kampanye gabungan Ted Cruz dan Trump untuk menentang perjanjian nuklir dengan Iran. Diduga dalam acara yang berlangsung pada 9 September lalu inilah Gaffney berhasil merebut kepercayaan Trump. Dan sebenarnya Gaffney sudah kepincut pada Trump sejak Trump menyatakan sikap kerasnya dalam isu imigran.

Gaffney memuji Trump dalam tulisan blog berjudul "Embrace Trump's Immigration Platform" yang dia unggah pada Agustus lalu. Menurut dia, Trump telah "membuat gusar kemapanan politik" dengan "memaparkan posisi terhadap reformasi keimigrasian yang bertentangan dengan agenda perbatasan terbuka yang didukung pemimpin dan kaum berkepentingan di kedua partai".

Sebelum Trump mempublikasikan seruannya, CSP telah menyinggung soal "perlunya pengawasan lebih ketat terhadap komunitas muslim". Dia juga menyerukan perlunya kajian hati-hati dan diskusi tentang "penempatan kembali pengungsi, suaka, dan program-program keimigrasian lain". Hal-hal ini dikemukakan dalam siaran pers yang menjadi pengantar hasil jajak pendapat yang kemudian menjadi rujukan Trump.

Belakangan, setelah kecaman menghantam Trump dari berbagai penjuru, Gaffney memberikan pembelaan. Menurut dia, penghentian sementara arus imigrasi muslim adalah wujud langkah hati-hati. Bisa dipahami jika ada yang menemukan "frekuensi" yang sama di antara Gaffney dan Trump.

* * * *

Sekalipun kebanyakan elite Partai Republik mencerca Trump, umumnya mereka kebingungan memilih tindakan. Menurut laporan The New York Times, mereka sadar Trump sesungguhnya berhasil mengidentifikasi amarah dan perasaan frustrasi di kalangan pemilik suara terhadap pejabat di banyak lembaga pemerintah. Tapi mereka juga paham apa dampak pernyataan Trump terhadap peluang Republik memenangi perebutan kedudukan di Gedung Putih.

Ada di antara mereka yang tak menyinggung apa pun tentang kemungkinan menegasikan pencalonan Trump, kecuali mengatakan seruannya harus ditolak. "Ini bukan konservatisme," kata Paul D. Ryan, Ketua House of Representatives. "Yang diusulkan itu bukanlah apa yang dibela partai ini dan, terlebih lagi, bukan yang diperjuangkan negara ini." Tapi sebagian yang lain, seperti Senator Ted Cruz, memilih pura-pura tak tahu-menahu.

Yang tak terlihat pada kegaduhan itu adalah upaya terus-menerus orang dan kelompok yang berpandangan serupa dengan Gaffney. Mereka bekerja di tingkat bawah. Kelompok lobi seperti ACT! for America mengklaim punya seratus cabang. "Mereka secara teratur diundang ke pertemuan-pertemuan masyarakat di balai kota untuk berceramah tentang bahaya Islam," ujar Christopher Bail, asisten profesor sosiologi di Duke University, seperti dikutip Slate.

Menurut Bail, karena kegiatan-kegiatan seperti itu, tak mengherankan bila ada perubahan berarti dalam opini sebagian warga Amerika terhadap Islam. Perubahan inilah, dengan sedikit campur tangan orang-orang seperti Gaffney, yang mengangkat popularitas politikus seperti Trump. Dan Trump tahu dia tak terbendung, sekurang-kurangnya di tahap pencalonan.

Purwanto Setiadi (CNN, Foreign Policy, The Independent, MSNBC, The New York Times, Slate)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus