Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
POTRET antrean truk tangki yang mengular, sumur-sumur minyak, dan titik perbatasan Turki-Suriah terpampang di layar lebar ruang auditorium Pusat Pengendalian Pertahanan Nasional Rusia di Moskow, Rabu dua pekan lalu. Satu per satu gambar hasil jepretan satelit dan foto udara dari pesawat militer Rusia itu ditampilkan silih berganti.
Di depan ratusan perwira tentara dan puluhan juru warta, Wakil Menteri Pertahanan Rusia Anatoly Antonov memaparkan temuan Rusia tentang sistem pendanaan kelompok militan Negara Islam (ISIS). Dalam keterangannya, jenderal bintang empat ini menyatakan bahwa Rusia telah menemukan tiga jalur utama penyelundupan minyak ISIS dari Suriah ke Turki.
"Bisnis ilegal ini melibatkan pemimpin politik senior Turki, termasuk Presiden Erdogan dan keluarganya," kata Antonov seperti dikutip The New Yorker. Ia menambahkan bahwa minyak dalam jumlah besar itu memasuki wilayah Turki melalui "pipa minyak hidup" berupa ribuan truk minyak yang berbaris.
Bisnis minyak ISIS menjadi sorotan setelah Presiden Rusia Vladimir Putin "perang kata" dengan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. Kedua pemimpin saling tuding setelah insiden penembakan Sukhoi di perbatasan Turki-Suriah pada 24 November lalu. Erdogan berkilah jet tempur Rusia itu melanggar wilayah udara negaranya. Adapun Putin menuduh Turki sengaja melindungi truk-truk minyak yang akan dibom oleh Sukhoi.
Antonov mengatakan minyak merupakan sumber pendanaan utama ISIS selain pajak, donasi, tebusan, jual-beli artefak, dan perdagangan manusia. Menurut dia, peran vital bisnis minyak bagi ISIS sekaligus menjadi titik lemah kelompok teror tersebut. Itu sebabnya Rusia mematok strategi baru, yaitu membombardir fasilitas minyak yang telah dikuasai ISIS. Dengan begitu, Rusia berharap dapat melumpuhkan ISIS.
Rusia mengklaim operasi anti-terorisme melalui serangan udara terbukti ampuh mengacaukan pemasukan duit ISIS lewat perdagangan minyak ilegal. "Setelah dua bulan, pendapatan organisasi teroris ini berkurang separuh dari sekitar US$ 3 juta per hari," ucap Letnan Jenderal Sergey Rudskoy dalam pemaparan yang sama.
Menurut Rudskoy, serangan udara Rusia telah menghancurkan 32 ladang minyak, 11 kilang, 23 stasiun pengangkutan, dan 1.080 unit truk pengangkut minyak yang dikuasai ISIS. "Serangan udara memangkas hampir 50 persen dari seluruh perdagangan minyak ilegal yang dihasilkan dari wilayah Suriah," ujarnya.
Koalisi negara-negara Barat, termasuk Turki, menganggap klaim Rusia tentang bisnis minyak ISIS hanyalah propaganda. Namun pemaparan Antonov dan Rudskoy tak sepenuhnya meleset. "Sumber utama minyak ISIS berasal dari Provinsi Deir Ezzor di timur Suriah, yang mampu menghasilkan 34-40 ribu barel per hari," demikian menurut laporan hasil investigasi The Financial Times.
Di Suriah saja, ISIS telah menguasai setidaknya sembilan sumur minyak, misalnya Al-Tanak, Al-Omar, Deiro, dan Al-Rashid. Kapasitas produksi tiap sumur bervariasi, dari 200 sampai 17 ribu barel per hari. Minyak kualitas terendah dipatok US$ 20 per barel. Sedangkan harga minyak dari sumur Al-Omar, salah satu ladang terbesar, dihargai US$ 45 per barel.
Menurut laporan Business Insider, ISIS juga menguasai sumur minyak Qayarra di dekat Kota Mosul, utara Irak. Sumur Qayarra mampu menghasilkan 8.000 barel minyak mentah per hari. Sebagian besar minyak diolah menjadi aspal. "Kelompok ini diyakini meraup uang setara dengan US$ 600 juta per tahun dari jual-beli minyak."
Wajar bila Erdogan berang karena tuduhan Putin merujuk pada siapa sebenarnya pembeli minyak ISIS. Erdogan sangat yakin dia, keluarga, ataupun negaranya tidak bersangkut paut urusan dengan ISIS. Ia justru berbalik menuding Rusia yang diam-diam terlibat dalam transaksi minyak gelap ISIS.
Keterlibatan Rusia, menurut Erdogan, tak lepas dari peran Bashar al-Asaad--Presiden Suriah yang didukung Putin. Ia lantas menyebut nama George Haswani. Taipan Suriah berpaspor Rusia ini dikenal sebagai pemilik perusahaan gas Hesco yang beroperasi di Suriah. "Haswani bertindak sebagai perantara. Ia membeli minyak dari ISIS atas nama rezim (Assad)," katanya. "Ia salah satu pedagang terbesar dalam bisnis ini."
Versi lain menyebutkan sebagian besar minyak ISIS dijual kepada perantara di dalam Suriah dan Irak. Dari tangan mereka, minyak disalurkan ke pembeli yang membayar sedikit di bawah harga pasar. Di antara para pembeli itu adalah warga di wilayah kekuasaan ISIS--jumlahnya sekitar 8 juta orang dari Aleppo di barat hingga Mosul di timur. Mereka memerlukan bahan bakar untuk kendaraan dan generator listrik.
Minyak ISIS diketahui juga merambah ke Turki dan Yordania. Perantara menyelundupkan minyak ke Turki melalui titik perbatasan di barat Suriah, kawasan yang tengah diawasi dan diserang oleh militer Rusia. Adapun pasokan minyak ke Yordania dikirim melalui Provinsi Anbar di Irak.
Pasukan pemberontak rupanya juga meminati minyak ISIS. Ini ironis karena keduanya bermusuhan. "Situasi ini membuat Anda tertawa dan menangis," ujar seorang komandan pemberontak Suriah di Aleppo. Ia membeli solar dari daerah ISIS. Secara berbarengan, pasukannya bertempur melawan kelompok teror tersebut. "Tidak ada pilihan lain karena kami orang miskin. Apakah ada orang lain yang menawarkan bahan bakar?"
MILISI ISIS menjalankan skema bisnis minyak yang sederhana. Mereka tidak menjual sendiri minyaknya karena hanya akan memboroskan sumber daya dan tenaga kerja. Mereka mengandalkan ratusan perantara yang datang membawa truk tangki sendiri. Tiap perantara membayar tunai untuk setiap pembelian minyak dari daerah ISIS.
Skema ini sangat menguntungkan kedua pihak. Milisi ISIS meraup banyak uang tanpa perlu merogoh ongkos produksi. Para perantara menangguk untung dari selisih harga jual minyak. Operasi juga menjadi lebih murah dan cepat. "Truk-truk tak perlu pergi jauh untuk menjual minyak. Cukup ke penduduk setempat yang mengelola kilang di perdesaan, tak jauh dari sumur minyak yang dikuasai ISIS," demikian menurut Newsweek.
Merebut sumur minyak merupakan misi pertama setiap kali milisi ISIS memperluas daerah kekuasaannya. Seperti saat mereka merangsek ke Irak utara dan mengambil alih Mosul, sekitar dua tahun lalu. Milisi ISIS saat itu juga merebut sumur minyak Ajil dan Allas di Provinsi Kirkuk. Mereka langsung mengamankan wilayah itu dan mengirimkan insinyur.
"Mereka memiliki teknisi untuk mengoperasikan sumur minyak," ujar seorang syekh lokal dari Kota Hawija di dekat Kirkuk, seperti dikutip The Financial Times. Milisi ISIS, masih menurut syekh tersebut, lantas mendatangkan ratusan truk tangki dari Kirkuk dan Mosul. "Setiap hari, 150 truk masing-masing berisi minyak senilai sekitar US$ 10 ribu."
David Cohen, peneliti bidang terorisme dan intelijen keuangan di Departeman Keuangan Amerika Serikat, menilai ISIS sebagai organisasi teroris yang memiliki sistem pendanaan terbaik. Menurut dia, strategi ISIS menjual minyak di pasar gelap terbukti sangat sulit dikendalikan. "Pasar gelap minyak muncul di sepanjang perbatasan wilayah yang dikuasai ISIS dan negara sekitarnya," katanya kepada Washington Post.
Mahardika Satria Hadi (Financial Times, The New Yorker, Washington Post, Business Insider, Newsweek)
Minyak ISIS: dari sumur ke pasar
Pedagang membawa truk tangki mereka ke sumur minyak yang dikuasai ISIS. Di sumur minyak Al-Omar, misalnya, truk antre sepanjang 6 kilometer selama satu bulan.
Pedagang menyetorkan dokumen berisi keterangan pelat nomor dan kapasitas tangki truk. Pejabat ISIS memasukkan data ke database dan memberikan tanggal pengambilan truk kepada pedagang.
Pedagang biasanya membeli minyak ISIS seharga US$ 25-30 per barel. Mereka menjual kembali minyak itu kepada kilang lokal atau perantara senilai US$ 60-100 per barel.
ISIS mengambil sebagian minyak dari kilang untuk kebutuhan mereka sendiri. Sisanya disalurkan ke tempat penjualan bahan bakar dan dibeli oleh warga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo