LAPANGAN Santo Petrus di Vatikan, sih tetap ramai dikunjungi
penziarah, walau Paus Johannes Paulus II masih terbaring di
tingkat 11 Rumah Sakit Gemelli, Roma. Dia akan tetap di sana,
menurut dokter yang merawatnya, sekitar 60 hari lagi.
Pemuda asal Turki Mehmet Ali Agca menembaknya (13 Mei) ketika
Paus akan menerima audiensi umum di lapangan Santo Petrus.
Peluru bersarang di perut dan di punggung pemimpin 750 juta umat
Katolik itu. Pekan lalu dokter membuka 14 bekas jahitan operasi
di tubuh Paus. Presiden Italia Sandro Pertini menjenguknya
selama 30 menit, sementara Paus mulai diizinkan berjalan-jalan
di koridor rumah sakit itu.
Hari-hari kritis bagi Paus yang berulang tahun ke-61 di RS
Gemelli, 18 Mei, memang telah lewat. Tapi belum buat Agca. Ia
bahkan dipindahkan polisi Italia ke penjara yang lebih kokoh dan
mendapat pengawalan khusus. Polisi khawatir kalau ada "orang
ketiga" yang akan membungkam Agca dengan peluru sebelum ia
diajukan ke muka pengadilan.
George Habbash
Mengapa? Komandan Pasukan Anti Teroris Roma Alfredo Lazzarni
--yang memeriksa Agca -- meragukan ia bertindak sendirian. Dalam
pemeriksaan Agca mengaku ia tak pernah mengalami kesulitan uang,
dan selama 18 bulan terakhir melakukan perjalanan ke Iran,
Bulgaria, Yugoslavia, Tunisia, Swiss, Prancis, Belgia, Jerman
Barat, Denmark dan Spanyol. Kunjungan itu dilakukannya dengan
memakai nama berbeda dan paspor paslu. Tapi "saya bertindak
sendiri," katanya.
Di bagian lain Agca mengaku dilatih oleh gerilyawan Palestina,
berhaluan Marxis, yang dipimpin oleh George Habbash. Pengakuan
itu kemudian dibantah oleh juru bicara Habbash. "Kami tidak tahu
menahu tentang dia. Bahkan mendengar namanya sebelum ini pun
belum. Kami tidak punya hubungan sama sekali dengan dia," ujar
juru bicara tersebut kepada wartawan TIME di Libanon. Akhir
minggu lampau Agca mengatakan bahwa ia dilatih di Suriah.
Mana yang betul Polisi Italia makin dibingungkan oleh pengakuan
Agca yang lain. Ia mengemukakan bahwa selain Paus Johannes
Paulus II yang ingin dilenyapkannya dari bumi, juga Sekjen PBB
Kurt Wakldheim, Ratu Inggris Elizabeth II, dan Ketua Parlemen
Eropa Simone Veil pernah jadi sasarannya.
"Saya sudah terbang ke London dan bermaksud membunuh raja," kata
Agca seperti dituturkan kembali oleh polisi Italia. (Polisi
Inggris membantah Agca pernah ke London). "Ketika saya ketahui
ia seorang wanita, niat itu saya batalkan. Sebagai orang Turki
dan Muslim saya tidak membunuh wanita." Alasan serupa dipakainya
untuk wanita lainnya Simone Veil.
Mengenai Waldheim? Menurut Agca, Sekjen PBB itu masih mujur
karena ia tidak mendapat visa ke Amerika Serikat.
Hubungannya dengan kelompok Marxis agak diragukan orang. Sebab
dalam daftar Interpol nama Agca tertera sebagai teroris sayap
kanan. Ia dituduh terlibat dalam pembunuhan (politik) Abdi
Ipekci, editor Milliyet -- salah satu surat kabar berpengaruh di
Turki. Ia berhasil melarikan diri dari penjara Kartal, November
1979, setelah enam bulan meringkuk di sana. Pelarian ini diduga
dibantu oleh enam tentara dan tiga pemuda dari Partai Gerakan
Nasional (NMP) yang dikenal berhaluan ekstrim kanan.
Agca dilahirkan di Malatya Hekinham yang terletak 450 km di
sebelah timur Ankara, 23 tahun lalu. Sekalipun sudah yatim
selagi bocah, ia sempat duduk di Fakultas Sastra, Universitas
Ankara, dan kemudian pindah ke Fakultas Ekonomi, Universitas
Istambul. Agca tak menamatkan sekolahnya karena ia lebih suka
bermain politik, bahkan terlibat dalam gerakan mahasiswa sayap
kanan, hingga berurusan dengan polisi Turki.
Lolos dari penjara Kartal, Agca diduga bermukim di Jerman Barat.
Ia selalu berpindah rumah -- dari satu keluarga ke keluarga
Turki lain. Menurut laporan intelijen (lokal) Bonn, ekstremis
asal Turki di Jermari Barat berjumlah 50.000 orang -- 26.000 di
antaranya berhaluan kanan. Para ekstremis ini, demikian pendeta
Jurgen Miksch dari Frankfurt, sangat berpengaruh atas masyarakat
Turki di Jerman Barat. "Mereka bahkan mengontrol kehidupan
sehari-hari para pendatang itu," kata Miksch. Diperkirakan dari
para imigran Turki (jumlahnya 1,4 juta) inilah kaum ekstremis
(termasuk Agca) mendapat dana.
Pemerintah Turki sebenarnya sudah meminta Jerman Barat agar
mengekstradisi Agca yang pernah dijatuhi hukuman mati secara in
absetia. Permintaan itu ditampik. Karena tak cukup alasan bagi
pemerintah Jerman. Barat untuk menahan Agca.
Sementara interogasi berlangsung, Paus memaafkan Agca. Dalam
suatu pesan radio -- direkam di rumah sakit - untuk umat
Katolik, Paus berkata: "Terpujilah Yesus Kristus . . . saya
telah memaafkan orang yang menembak saya."
Dalam Khotbah Minggu, Paus menyebut dua orang -- tanpa nama --
yang telah menciderainya. Satu di antaranya diduga Agca. Sedang
satu lagi tak terbetik beritanya.
Kendati terbaring di rumah sakit, Paus masih mengikuti
perkembangan gereja dan umat Katolik. Yang konon merisaukan
hatinya adalah laporan Kardinal Agostino Casaroli mengenai hasil
referendum aborsi yang berbanding satu (menolak) dan dua
(setuju). Berita hasil referendum itu mungkin lebih menyakitkan
Paus ketimbang peluru yang menghantamnya, tulis koran Paese Sera
yang prokomunis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini