Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Jika ingin lolos sensur

Sejumlah film cerita dan dokumenter ikut festival film di surabaya dengan biaya cukup mahal beberapa ulasan tentang film pilihan. kali ini malah ada hiburannya untuk rakyat. (fl)

30 Mei 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJUMLAH artis film sudah sebulan menyiapkan kabaret Nostalgia 10 November. Dalam Festival Film Indonesia di Surabaya (25 - 30 Mei), kabaret itu dipagelarkan sebagai puncak acara. Dengan biaya Rp 200 juta, panitianya berusaha menyelenggarakan panggung hiburan gratis, malah sampai ke Kota Bangkalan (Madura), Gresik dan Sidoarjo. Semua acara itu "untuk rakyat," kata Acub Zainal, Ketua I FFI. Kecuali Arifin C. Noer, semua sutradara kawakan (termasuk Teguh Karya, Wim Umboh, Nva Abas Akup, Sjuman Djaja, Asrul Sani dan Ami Prijono) kali ini menyertakan film karya masing-masing. Selama 24 hari, tujuh juri (diketuai Sjamsoe Soegito), telah menilai 54 film cerita dan 10 film dokumenter. Atau rata-rata tiga film mereka nilai sehari - suatu kerja berat dan tentu saja, dengan tergesa-gesa. Tanpa berusaha mempengaruhi juri TEMPO berikut ini menurunkan pilihan dan penilaiannya, bersama tulisan Yudhistira A.N.M. Massardi (Bukan Sandiwara, Usia 18 dan Perempuan Dalam Pasungan) dan Eddy Herwanto (Gadis, dan Dr. siti Pertiwi Kembali Ke Desa). Sayang TEMPO belum sempat kali ini mengulas Di Bawah Lindungan Ka'bah, film Asrul Sani, dan Seputih Hatinya Semerah Bibirnya, film Slamet Rahardjo. Keduanya mungkin layak dibicarakan . BUKAN SANDIWARA Terbadap temanya, inseminasi degan sperma donor, saya merasa sangat syuuur. Ini suatu problema baru dan aktual. Di Barat, banyak orang bikin film tentang produk teknologi. Tapi mereka lebih tertarik pada aspek suspense, misteri dan horror-nya. Bukan manusianya. Nah, saya bisa bilang, inilab film pertama yang bicara tentang konflik manusia dengan teknologi secara kejiwaan. Secara manusiawi. -- Sjuman Djaja DIA mungkin benar. Tapi secara sekilas -- sesudah ia menggarap fi Kabut Sutra Ungu (diangkat dari novel Ike Soepomo) yang laris dan kini Bukan Sandiwara (dari novelet Titie Said) -- terkesan bahwa sutradara Sjuman Djaja tengah berubah. Orientasinya tak lagi pada masyarakat kelas bawah seperti dicerminkan filmnya terdahulu, misalnya, Si Doel Anak Betawi (1972) dan Si Mamad (1973). Atau Yang Muda Yang Bercinta (1977), yang sarat dengan protes sosial. Sebab KSU maupun BS (karyanya yang ke-10 dan 11) bercerita tentang keluarga elite. Ia dicurigai telah bersekongkol dengan pasar -- sengaja membuat film hiburan supaya laku. Dan ia marah. "Saya tidak kompromi dengan siapa pun. Nggak ada itu kompromi dengan pasar ataupun selera publik," katanya tegas. Sjuman Djaja, 48 tahun, lulusan Moskow beranak 3 yang sampai sekarang masih menduda, menegaskan bahwa ia tak pernah berubah. Kalau toh ada, katanya, barangkali pada cara ia menyampaikan pikirannya lewat film. Sesudah sukses KSU secara komersial, dialah sutradara termahal saat ini. Dengan biaya sekitar Rp 250 juta, digarap dalam waktu 4 bulan, Bukan Sandiwara ternyata bukan film diskusi tentang teknologi yang kering. Sebab -- menurut pengarangnya, Titie Said --ceritanya yang "75% berdasarkan kisah nyata" itu pada dasarnya sebuah melodrama biasa. Hendro (Roy Marten), diplomat yang bertugas di Jepang, ternyata lelaki mandul. Perkawinannya bertahun-tahun dengan Pia (Yenny Rachman) tak menghasilkan anak. Kerinduan akan anak itulah yang akhirnya mendorong pasangan itu bersepakat mencoba upaya teknologi baru. Mereka datang ke Prof. Tsushiro (Wahyu Sihombing), meminta sperma lelaki yang tersedia di sana. Berhasil. Pia mengandung dan melahirkan seorang anak perempuan . . . Jepang. Meski udah diberitahu sebelumnya oleh Tsushiro, Hendro tak sanggup menghadapi kenyataan itu. Ia terpukul dan malu harus jadi ayah seorang anak yang ternyata berasal dari sperma orang Jepang. Sejak kelahiran anak itu -- bernama Rani -- Hendro kehilangan keseimbangan. Bahkan ia jadi impoten dan hendak membunuh Rani. Dan ia menuding istrinya sebagai biang keladi seluruh keguncangan itu. Konflik itu terus berlarut sampai ketika mereka kembali ke Indonesia. Hendro, juga Pia, tak tahan lagi hidup bersandiwara terus. Yaitu di depan orang lain bermanis-manis, sementara pasangan tak rukun lagi. Frustrasi Hendro makin menjadi-jadi setelah secara kebetulan suami istri itu melihat inseminasi benih unggul pada kerbau-kerbau di sebuah peternakan. Untunglah kedua mertua Pia (Maruli Sitompul dan Nani Wijaya) tak peduli pada asal-usul Rani. Kehadiran anak itu sebagai cucu diterima mereka dengan lapang, penuh kegembiraan. Ketika Hendro terang-terangan tak mau mengakui anak itu, kedua orang tua itu hanya tersenyum sambil berjalan-jalan bersama menantu dan cucunya. Film yang panjangnya hampir 3 jam itu pun berakhir -- menyarankan suatu happy ending. Tak pelak lagi, dengan film ini Sjuman telah memamerkan ketrampilan penyutradaraan yang hampir sempurna. Visualisasi yang kuat dengan kecermatan ada detil -- yang semula hanya tampak pada film Teguh Karya -- menegaskannya. Sjuman menunjukkan kemahirannya mengolah konflik. Sehingga, meskipun panjang, filmnya tetap memikat. Ritmenya terjaga. Editingnya yang tangkas banyak membantu terpeliharanya segi dramatik. Eksperimen dalam pengambilan gambar yang dicobanya dalam Kabut Sutra Ungu membuahkan hasilnya di sini. Dengan kata lain, gambarnya -- di samping artistik berkat pencahayaan yang cermat sangat efisien, berhasil memberi tekanan pada cara pengucapan sutradara. Hanya musik dan rias para pemainnya yang barangkali sedikit menggangu. Dan, sebagaimana diakui Sjuman sendiri, ada beberapa adegan yang mengingatkan orang pada film lain. Misalnya, ketika tokoh Pia berbaring di tempat tidur dengan kepala tengadah di bibir ranjang. Gambar itu dipadu (dalam disolve) dengan adegan kilas-balik diiringi suara gemuruh kereta api. Itu sangat mirip dengan adegan dalam Apocalypse Now. Bagaimanapun, Bukan Sandiwara-lah yang rasanya paling layak memperoleh predikat yang terbaik. Begitu pula permainan Yenny Rachman. Dan -- ini penting juga -- Sjuman tak kehilangan kekhasannya. Ia tetap peka dan kritis menghadapi lingkungannya. Helikopter jatuh, mobil baru mogok, telepon rusak. Cemoohannya terhadap teknologi itu muncul dalam filmnya secara kocak. GADIS Saya selalu memihak kaum bawah (underdog). Di film Inem Pelayan Sexi, dan Rojali dan Juleha sikap itu bisa dilihat. Mengapa? Saya melihat mereka sering diperlakukan sewenang-wenang dan teraniaya. Tapi saya tidak mengingkari di antara mereka pun ada pencuri dan perampok. Dan dalam film Gadis, hal itu saya ceritakan dengan mengambil bentuk tontonan ketoprak. Saya sadar bahwa upaya baru (ketoprak) tersebut beranjak dari selera publik. -- Nya Abas Akup. GAGASAN sutradara kawakan itu ternyata belum tertuang dengan kental -- sekalipun para pemeran Gadis sudah didandani busana zaman Hindia Belanda. Mereka memang bermain dalam pengadeganan gaya ketroprak, tapi tanpa jiwa matang. Dalam film itu Jaka (Ray Sahetapi) dikisahkan diam-diam jatuh cinta pada Rini (Cici Suryokusumo), anak Raden Mas Renggo (Dedy Sutomo). Pada perkembanan berikut, Jaka -- anak ningrat itu -- ternyata lebih menyukai kepolosan Gadis (Dewi Yull). Ketika itu Gadis berstatus sebagai babu di rumah denmas Renggo. Terpaksa ia jadi babu karena ibunya, ibu Titik (Titiek Puspa), menghilangkan seperangkat pakaian milik keluarga Renggo yang dicucinya. Ibu Titiek, bekas istri seorang ningrat, hidup bersama ketiga anaknya sebagai buruh pencuci. Dan Rini, yang tak diindahkan itu, diam-diam bermain cinta dengan Andi, teman Jaka, sampai hamil. Sementara cinta kedua pasangan remaja itu berkembang, masyarakat di sekitar mereka resah. Pemerintah Belanda, lewat Renggo, berniat mengambil alih tanah rakyat untuk dijadikan perkebunan. Kaum bawah yang tertindas tadi, sambil menyimpan dendam, ramai-ramai mengungsi ke rumah ibu Titik. Dan suatu malam, dengan parang dan tombak, massa rakyat itu berusaha menghabisi Renggo. Dalam perjalanan ke rumah Renggo itulah, seorang rakyat tanpa sengaja membunuh Andi. Ketika itu, Jaka tengah berupaya mengantar Rini dan Andi melarikan diri ke kota. Dan pada adegan berikutnya Nya Abas tak lupa menyisipkan kritiknya. Diperlihatkannya bahwa kaum bawah pun memiliki jiwa culas, tak segan merampok dan menghabisi nyawa orang. Tapi berkat nasihat ibu Titik, rakyat tidak jadi merampok dan membunuh Renggo Mereka secara beramai-ramai malah berusaha membunuh seorang pejabat Belanda, atasan Renggo. Gadis ditutup dengan suatu kejutan, ditambahi teks (atas desakan Badan Sensor Film), yang menyebabkan film itu brakhir di luar harapan sutradara (lihat box). Adalah keliru jika mendekati Gadis sebagai bentuk tontonan realisme. Hampir seluruh percakapan dan pengadeganan di dalamnya, menurut Nya Abas Akup, merupakan bentuk pengubahan gaya (stylize). Dengan cara itu, ia berusaha menafsirkan kembali media film dalam konsep ciri kebudayaan Indonesia -- seperti tontonan ketoprak Setting dalam cerita film itu bukan merupakan soal pokok. "Soal feodalisme (seperti dikemukakan Gadis) bisa terjadi di mana saja dan kapan saja," katanya. Tapi sebagai konsekuensi pengetoprakan film itu, para tokohnya digambarkan secara hitam putih. Renggo merupakan cermin kaum feodal, wakil kepentingan (penguasa) Belanda. Sedang ibu Titik dan rakyat berada di seberangnya. Dalam gaya komedi (ciri Nya Abas) dan stylize kesewenang-wenangan kaum feodal dan penguasa ditonjolkan. "Dengan film itu, saya berusaha membicarakan sebagian besar rakyat desa," kata Nya Abas. DR. SITI PERTIWI KEMBALI KE DESA Hampir setiap hari orang bicara soal pembangunan. Tapi banyak orang lupa bahwa hal itu juga menyangkut perubahan nilai dan mental. Dalam Dokter Siti Pertiwi Kembali Ke Desa, saya ingin mengemukakan bahwa soal pembaharuan itu merupakan hasil benturan nilai tradisional dan nilai modern. Untuk memperoleh resep pembangunan, saya kira, kaum intelektual harus lebih banyak mengenal lingkungannya. -- Ami Prijono KAUM intelektual (modern) dalam film Dokter Siti Pertiwi Kembali Ke Desa diwakili Siti Pertiwi (Christine Hakim). Sementara Atuk Raja (Maruli Sitompul), dukun tradisional dan Daying Madani (Ikranegara) murid Atuk Raja, berada di pihak seberang. Benturan nilai tradisional dan modern itu terjadi di Desa Menggala, Lampung, tatkala Siti Pertiwi diterjunkan ke sana sebagai dokter Inpres. Pada mulanya kelompok Atuk Raja menolak konsep pengobatan modern. Dengan bekal pengetahuannya, Siti Pertiwi berusaha meyakinkan Atuk Raja bahwa ilmu kedokteran modern merupakan suatu alat ampuh . Ketika Desa Menggala dilanda wabah muntaber -- karena sumur dan sungai diracuni Daying Madani -- barulah Atuk Raja mau membantu dokter itu mengatasi wabah. Sementara Siti dan Atuk sudah melunakkan sikap, Daying Madani memisahkan diri secara sepihak. Di situ sutradara Ami Prijono berusaha menunjukkan bahwa konflik justru melahirkan suatu perkawinan harmonis kedua nilai itu. Ditunjukkannya Atuk Raja justru tewas di tangan Daying Madani sendiri. "Di film itu saya ingin menunjukkan bagaimana sesungguhnya peranan kaum intelektual sebagai ujung tombak pembangunan," ujarnya. Dibanding filmnya terdahulu Jakarta-Jakarta, kali ini filmnya lebih tangkas bertutur. Dengan pedas, Ami mengolok-olok sebagian kelompok masyarakat tradisional yang keburu maju -- digambarkan dalam sosok Kustiyah (Joice Erna). Didukung permainan para pemeran yang bagus, film ini menawarkan suatu gagasan dan wilayah baru. Setidaknya ia bukanlah film melodrama dengan deraian air mata. PEREMPUAN DALAM PASUNGAN Dalam hidupnya, perempuan itu selalu terpasung. Film ini adalah potret tentang perempuan Indonesia sebenarnya. Sederhana, lembut dan penurut. Tapi kemudian retak dan rapuh karena diberi bingkai yang terlalu kuat. -- Ismail Soebardjo PEREMPUAN Dalam Pasungan sebagaimana dikatakan sutradara itu memang bercerita secara kilas balik tentang kesewenang-wenangan. Tapi, Ismail Soebardjo, 37 tahun, sutradara dan penulis skenarionya, tak terjebak oleh sentimentalitas yang meletup-letup. Nadanya tetap rendah dan juga tak menggurui. Fitria (Nungky Kusumastuti) -- oleh ayahnya, Prawiro (D. Djajakusuma) - disangka gila. Perempuan itu memang sedang terguncang jiwanya oleh perasaan berdosa: merasa membunuh Marni (Rini S. Bono), sahabatnya. Ia dipasung dan disekap dalam kamar di rumah ayahnya di sebuah kampung di Yogyakarta supaya tidak bikin malu keluarga. Tapi rahasia itu lantas diketahui seorang wartawan Jakarta (Dorman Borisman). Sang wartawan mencari Andi (Frans Tumbuan), suami Fitria, yang berada di Jakarta, dan meyakinkannya bahwa istrinya tidak gila. Andi -- bersama Tini, anaknya, dan wartawan itu-lalu datang menengoknya. Meskipun memang tidak gila, ternyata Fitria menolak kehadiran suaminya yang telah membiarkannya dizalimi begitu. Pun Tini, yang menghambur ke arahnya sambil menangis, tak diindahkannya. Sikap itu barangkali menunjukkan protesnya yang keras dan getir terhadap kesewenang-wenangan keluarga - atau lingkungannya. Film ini banyak kelemahannya dalam detil . Mungkin karena sutradaranya terlalu terpaku pada temanya yang dramatis. Meskipun begitu, film ini menunjukkan juga kemajuan Ismail sebagai sutradara. Sehinggga boleh pula ia diperhitungkan. USIA 18 Saya hanya mengetengahkan persoalan yang 'biasa'. Memang, saya ingin mengatakan sesuatu. Tentang para remaja. Tapi dengan cara sederhana saja. -- Teguh Karya EDO (Diyan Hasri), 18 tahun, ditinggal mati ayahnya. Ia terpaksa berhenti kuliah dan bekerja di bagian mesin di bengkel kereta api -- pekerjaan yang sama dengan pekerjaan mendiang ayahnya. Sebab ia harus membantu ibu dan ketiga orang adiknya. Adalah Ipah (Yessy Gusman) -- gadis sebaya, pacar Edo -- yang menyebabkan si cowok tetap memiliki semangat. Untuk suatu ketika bisa kuliah lagi. Ayah Ipah (Zaenal Abidin, duda) adalah kawan ayah Edo. Sebagai orang mampu -- direktur sebuah biro perjalanan - ia ingin membantu Edo. Tapi entah bagaimana juntrungnya, tiba-tiba Edo digambarkan sangat tersinggung oleh uluran tangan itu. Rasa sakit hati -- yang tak jelas -- itu kemudian ternyata menjadi sebagian dari konflik yang ingin dikembangkan Teguh Karya, sutradara dan penulis skenario film Usia 18 itu. Karena itu, kurang meyakinkan. Di samping, pada dasarnya ceritanya tak memiliki konflik yang berarti yang bisa membangun situasi dramatik. Mudah dibayangkan, bagaimana jadinya sebuah cerita tanpa konflik. Tak usah disangsikan, Teguh Karya adalah sutradara yang sudah terbukti memiliki banyak kelebihan. Kekurangannya agaknya hanya satu itu -- sebagaimana juga terlihat dalam filmnya terdahulu November 1828. Ia tak bisa menciptakan konflik dalam cerita bikinannya sendiri. Sehingga yang muncul hanya sekedar kerapian dan potret meyakinkan dari suatu ketrampilan kerja teknis saja. Apa yang ingin dikatakan Teguh lewat kedua remaja itu pun jadi kabur. Yang menonjol malah suasana percintaan bagai dalam mimpi pubertas. Indah, damai dan penuh kesetiaan. Sayang. Padahal, dalam film terbarunya ini, Teguh masih terlihat sanggup memberi pengarahan akting yang hidup pada para pemainnya. Sofia WD misalnya yang memainkan tokoh nenek dalam film ini cukup patut diperhitungkan untuk sebuah Citra.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus