KASUS 'Fatwa Natal' dari Majelis Ulama Indonesia ternyata
menghebohkan juga. Lembaga itu didesak agar 'mencabut peredaran'
fatwa yang melarang kaum muslimin untuk menghadiri perayaan
keagamaan golongan agama lain. Ini sungguh merepotkan, hingga
orang sesabar dan sebaik Buya Hamka sampai meletakkan jabatan
sebagai Ketua Umum MUI.
Emosi pun mudah terganggu mendengarnya, kemarahan gampang
terpancing, dan kesadaran lalu hilang di hadapannya: yang
tinggal cuma sumpah serapah.
Padahal masalahnya kompleks. Sebagai kumpulannya para ulama,
bolehkah MUI menggunakan terminologi dan pengertian yang lain
dari apa yang diikuti para ulama umumnya? Kalau tidak boleh,
bukankah sudah logis kalau MUI mengeluarkan fatwa seperti itu,
karena memang masih demikianlah pengertian para ulama sendiri?
Kalau boleh, lalu terminologi dan pengertian apakah yang harus
dipergunakan oleh MUI?
Jadi ternyata pangkal persoalan belum ditemukan pemecahannya. Ia
menyangkut penetapan wewenang membuat penafsiran kembali banyak
prinsip keagamaan yang sudah diterima sebagai bagian inherent
dari sistem berpikir keagamaan kaum muslimin.
Lembaga seperti MUI, yang memang dibuat hanya sekedar sebagai
penghubung antara pemerintah dan umat pemeluk agama Islam
(itu-pun yang masih merasa memerlukan kontak ke luar), sudah
tentu sangat gegabah untuk diharapkan dapat berfungsi demikian.
Ia hanyalah sebuah pusat informasi, yang memberikan keterangan
tentang umat kepada pemerintah, dan maksud pemerintah kepada
kaum muslimin. Tidak lebih dari itu.
Kalau lebih, mengapa ia dirumuskan sebagai 'tidak bersifat
operatif' dan tidak memiliki jenjang vertikal dengan
Majelis-Majelis Ulama di daerah? Kalau ia dikehendaki mampu
merumuskan sendiri pedoman pengambilan keputusan atas nama umat
Islam, mengapakah bukan tokoh-tokoh puncak tiap organisasi Islam
yang dijadikan 'perwakilan' di dalamnya?
Main Mutlak-Mutlakan
Itu tadi tentang pangkal persoalannya: tidak jelasnya status
keputusan yang dikeluarkan MUI, di mana titik pijak berpikirnya,
dan kepada siapakah ia selalu harus berbicara (supaya jangan
selalu babak belur dicaci maki pihak yang terkena).
Bagaimana halnya dengan ujung persoalan 'Fatwa Natal'? Apakah
lalu akan keluar fatwa tidak boleh pacaran dengan gadis beragama
lain, lalu fatwa sama sekali tidak boleh pacaran? Apakah
menganggukkan kepala kalau bertemu gadis juga dimasukkan ke
dalam kategori pacaran? Bagaimana pula tersenyum (baik malu-malu
atau pun penuh harapan)? Bolehkah nanti anak saya bersekolah
satu bangku dengan murid lain yang beragama Budha? Bagaimana
kalau ada tamu Hindu haruskah saya banting pecahkan gelas bekas
ia meneguk minuman yang saya suguhkan (walaupun mungkin gelas
pinjam dari orang lain)? Dan seterusnya, dan seterusnya.
Kalau tidak ada keinginan menetapkan ujung persoalannya,
jangan-jangan nanti kita tidak boleh membiarkan orang Kristen
naik taksi yang di kacanya tertulis kaligrafi Arab berbunyi
Bismillahirrahmanirrahim. Alangkah pengapnya udara kehidupan
kita semua, kalau sampai demikian!
Tetapi mencari ujung itu juga tidak mudah, karena ia berangkat
dari seperangkat postulat yang main mutlak-mutlakan dalam
pemikiran keagamaan kita. Yang celaka, kalau pemeluk agama-agama
lain juga bersikap eksklusif seperti itu. Salah-salah si muslim
nakal bisa mengalami nasib sial: sudah mencuri-curi perginya
melihat perayaan Natal (takut dimarahi MUI), sesampai di tempat
perayaan itu diusir oleh penjaga pintu pula.
Karenanya, mengapakah tidak kita mulai saja mengusulkan batasan
yang jelas tentang wilayah 'kajian' (atau keputusan, atau
pertimbangan, atau entah apa lagi) yang baik dipegangi oleh MUI?
Mengapakah tidak masalah-masalah dasa yang dihadapi bangsa saja:
bagaimana merumuskan kemiskinan dari sudut pandangan agama,
bagaimana mendorong penanganan masalah itu menurut pandangan
agama, bagaimana meletakkan kedudukan upaya penanganan
kemiskinan (haram, halal, mubah, makruh, sunnatkah?) oleh
berbagai lembaga di bawah? Bagaimana pula kaum muslimin
seyogyanya bersikap terhadap ketidakadilan, terhadap kebodohan?
Jawabannya tentulah harus terperinci dan kongkrit, jangan cuma
sitiran satu dua hadis tentang kewajiban belajar hingga ke liang
kubur saja.
Nah, kapankah akan ada kejelasan tentang ujung dan pangkal kasus
'Fatwa Natal', yang juga berarti ujung dan Pankal MUI sendiri?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini