Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI tengah pemakaman umum Santa Cruz, Dili, Joao Perreira Andrade, 40 tahun, mengingat kembali tragedi berdarah 22 tahun silam. Aksi demonstrasi rakyat Timor Timur pada pagi 12 November 1991 itu berakhir dengan banjir darah akibat serangan aparat keamanan.
Komisi Penyelidik Nasional Timor Timur—saat itu Timor Leste masih menjadi provinsi Indonesia—menyebutkan jumlah korban tewas 50 orang dan luka parah 96 orang. "Namun jumlah korban jauh lebih dari itu," kata Joao. Menurut Ketua Komite 12 November, badan yang dibentuk untuk mendata korban tragedi Santa Cruz, Gregorio Saldanha, korban tewas mencapai 186 orang.
Kamis pagi dua pekan lalu, Joao mengisahkan tragedi yang membuatnya traumatis hingga kini tersebut. "Dulu saya di sana," ujarnya sembari menunjuk pagar depan pemakaman. Dia ketika itu berusia 18 tahun dan duduk di bangku kelas III sekolah menengah pertama.
Joao dan teman-temannya memulai aksi setelah misa pagi di Gereja St Antonius di Motael. Demonstrasi kemerdekaan digelar, disertai acara tabur bunga bagi Sebastiao Gomes Rangel, yang tewas dalam insiden kekerasan oleh milisi di depan Gereja Motael, 28 Oktober sebelumnya.
Ketika ada seorang tentara ditusuk, hujan tembakan segera terdengar. Demonstran, yang jumlahnya lebih dari 2.500 orang, kocar-kacir. "Waktu itu saya mau lari, tapi dibilang tidak usah lari," kata Joao.
Dia dan teman-temannya yang bertahan di kompleks pemakaman diangkut dengan tangan terikat dan diselingi pukulan ke Markas Kepolisian Daerah Timor Timur. Sebagian demonstran dibebaskan, tapi ada lebih dari 30 orang yang tetap ditahan. Empat bulan kemudian, Joao dan teman-temannya baru dibebaskan. Namun dia tetap dikontrol aparat, dengan dipaksa menjadi pemandu patroli tentara ke berbagai daerah. Joao ditugasi ke Same selama sekitar dua tahun. "Saya sampai tidak sekolah," ucap Joao, yang kini mengurusi administrasi di Komite 12 November.
Teman Joao yang kini kepala administrasi Komite 12 November, Manuel de Jesus Saldanha, juga tak bersekolah lagi setelah insiden itu. Beruntung ia bisa ikut ujian persamaan. "Saya sekarang kuliah," kata pria 41 tahun ini di Santa Cruz.
Setelah jajak pendapat 1999 yang menjadikan Timor Leste merdeka, Joao, Manuel, dan teman-temannya hidup lebih baik. Pemerintahnya sangat memperhatikan mereka. Para korban Santa Cruz, yang kebanyakan juga ikut aksi lain, mendapat penghargaan Lorico Aswain. "Mereka dianggap mengakhiri semua proses perjuangan," ujar Penasihat Sekretaris Negara Urusan Veteran, Octavio Da Conceicao. "Aksi mereka menjadi titik kulminasi perjuangan selama 24 tahun."
Penghargaan yang mereka peroleh bukan hanya medali, melainkan juga uang, yang diberikan setiap bulan. "Itu penghargaan negara atas jasa mereka. Bahasa yang kami pakai untuk membantu para veteran buat memperbaiki kehidupan ekonomi dan sosial," kata Octavio.
Besaran uang yang didapat beragam, tergantung level mereka saat itu, seperti pemimpin organisasi, koordinator lapangan, dan peserta biasa. Mereka bisa memperoleh US$ 410 (sekitar Rp 4,7 juta), US$ 310, dan US$ 276. Meski begitu, tak semua yang mendaftar sebagai korban Santa Cruz otomatis mendapat penghargaan. Mereka harus melewati verifikasi dari Komite 12 November dan pemerintah.
Toh, tak semua demonstran 12 November mendaftarkan diri. Salah satunya jurnalis Jose Antonio Belo. "Perjuangan adalah hak, kewajiban, dan tanggung jawab moral saya demi kebebasan rakyat dan tanah air," ucapnya.
Ia justru menyayangkan pemerintah yang memilih sebagian orang saja. "Ini tidak adil. Yang menentukan kemerdekaan adalah warga yang memilih pada 30 Agustus 1999," katanya. Apalagi banyak penduduk melarat. Tapi subsidi akan tetap digelontorkan sampai ada keputusan baru dari pemerintah.
Purwani Diyah Prabandari, Jose Sarito Amaral (Dili)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo