SESUDAH hampir 15 tahun menetap di Sinai, warga negara Israel
harus angkat kaki dari sana. Ini sesuai dengan isi persetujuan
Camp David dan didukung oleh Knesset (parlemen Israel), tapi
mereka tidak rela meninggalkan Sinai. Adalah berkat kerja keras
mereka, jazirah yang semula gersang itu sekarang penuh gerumbul
hijau, ladang sayur dan kebun buah-buahan. Maka gerakan
pembangkang mereka lancarkan. Kaum ibu dan tokoh agama malah
terlibat di dalamnya. Terpaksa pemerintah mengerahkan tentara
untuk mengungsikan penduduk dari tempat-tempat pemukiman, bahkan
dengan kekerasan pekan lalu di Hatzer Hadar.
Pemerintah Israel kelihatan berusaha menepati janji untuk
mengembalikan Sinai pada Mesir, 26 April. "Meskipun penghuni
Sinai tersakiti dan menderita, kita akan tetap menghormati
kewajiban kita," PM Menachem Begin menegaskan dalan Knesset.
Partai kecil Tebia dari sayap kanan mengajukan mosi tidak
percaya--menuntut agar pengunduran Israel dari Sinai dihentikan.
Mosi ini pekan lalu kandas dengan 58 lawan 4 suara, dengan 43
blanko. Kemudian tentara Israel, yang biasa mengganyang pasukan
Arab, berhadapan dengan bangsa sendiri. Bersenjatakan kapak,
sejak dinihari Rabu tentara mendobrak pintu-pintu rumah di Dusun
Hatzer Hadar, 19 km dari Yamit. Mereka yang membangkang itu
justru menyanyi, menari dan berdoa. Semangat "perjuangan" mereka
dipacu oleh para pemimpin agama. "Ini adalah tanah suci menurut
kitab Injil dan kami tidak bermaksud mengembalikannya pada
negeri yang bukan Yahudi," kata seorang tokoh agama.
Dan negeri bukan Yahudi itu adalah Mesir. Sejak terbunuhnya
Presiden Sadat Oktober tahun lalu, hubungan Israel-Mesir
baik-baik saja, walaupun gejala retak mulai terasa. Namun berita
terakhir dari kawasan itu justru menambahpanas suhu di Timur
Tengah, gara-gara Israel mengundang Presiden Mesir Husni Mubarak
berkunjung ke Jerusalem. Mubarak hanya bersedia pergi ke Tel
Aviv. Jika ia pergi ke Jerusalem, berarti itu pengakuan Mesir
secara tak langsung atas kedaulatan Israel di kota suci itu.
Krisis Buatan
Menlu Israel Yitzak Shamir yangberkunjung ke Kairo selama 2
hari, pekan lalu, berkata: "Kalau Mubarak tidak bermaksud
berkunjung ke Jerusalem, sebaiknya ia tidak usah datang sama
sekali." Di Tel Aviv, Radio Israel segera mengutip komentar
Begin yang antara lain berbunyi, "Israel tidak akan menjamu
seorang tamu yang tidak mengakui kedaulatannya atas Jerusalem."
Israel memang lihai, paling senang membuat kejutan. Tapi ulahnya
yang terakhir ini diduga tidak akan sampai mengubah sikap tegas
Mubarak. Para dutabesar Mesir di Eropa dan AS sudah mendapat
tugas, khusus menjelaskan bahwa kunjungan Mubarak ke Jerusalem
hanya akan membahayakan usaha perdamaian di Timur Tengah. Dalam
kenyataannya, Mesir ataupun AS, negara penandatangan persetujuan
Camp David, sama-sama belum mengakui Jerusalem sebagai ibukota
Israel.
Presiden Sadat pernah berkunjung ke Israel, tapi dia tidak lupa
menegaskan di depan Knesset bahwa bagi Mesir, Jerusalem Timur
tetaplah wilayah Arab. Hal ini diingatkan kembali oleh satu
suratkabar Mesir Mayo.
Ketegangan Mesir-lsrael tersebut masih dibumbui oleh beberapa
hal lain: ledakan bom di Beirut yang jelas tidak menghormati
gencatan senjata di kawasan itu, pembajakan sebuah pesawat
Kuwait baru-baru ini, dan situasi dalam negeri Suriah yang belum
stabil sampai kini. Berusaha meredakan ketegangan, Presiden AS
Ronald Reagan mengutus lagi Philip Habib dalam satu misi ke
Damaskus, Amman, Jerusalem dan Riyadh.
Presiden Prancis Francois Mitterand pekan lalu memperjelas
dukungan Prancis pada Israel--satu hal "baru", sejak zaman
Presiden Charles de Gaulle yang nampak lebih condong pada
negara-negara Arab. Tapi Mitterand dalam kunjungan ke Israel itu
tetap mendukung otonomi untuk Palestina.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini