DUABELAS rumah penduduk Desa Rengas Pulau, Medan Labuhan,
Sumatera Utara dibobol maling sejak anuari lalu. Gangguan
keamanan itu paling sering terjadi di Lorong 40. Ini membuat
Syahril, Kepala Lorong, penasaran. Dua pekan lalu, atas desakan
para warga, ia melaporkan segala kejadian itu kepada Kepala
Desa, Usman Alim, yang menyarankan Syahril melapor ke Koramil
Medan Labuhan.
Saran itu barangkali kurang tepat. Syahril mestinya menghubungi
polisi. Tapi, Dan Ramil Kapten Tjipto menerima baik laporan itu.
Soalnya sejak beberapa waktu lalu, ia--dan juga pihak Kosekta
setempat --sering mendapat laporan Desa Rengas Pulau tidak aman.
Ada yang dicurigai, yaitu Syamsul Nasution alias Amat Codet dan
adiknya, Logek, serta dua teman mereka Adek dan Yusuf.
Memang belum ada bukti kuat pelaku kejahatan adalah Syamsul dkk,
yang tinggal di desa tetangga, Desa Besar. Tapi menurut yang
didengar Tjipto, "setiap kali Syamsul lewat di sebuah lorong,
malamnya ada orang kecurian." Lagi pula Syamsul, 26 tahun,
seorang residivis. Pernah ditahan di Nusa Kambangan satu
setengah tahun, ia lalu menjadi kernet truk dan mengawini
Mardiana boru Sianipar. Ia pernah pula mencoba menjadi nelayan,
dan bekerja di pabrik selop. Terakhir ia memburuh di pabrik
tali.
Malam itu juga, 27 Februari, direncanakan penangkapan terhadap
Syamsul dkk. Serda Wasis ditugasi mendampingi Syahril. Sekitar
pukul 23.00, 30 warga Rengas Pulau yang mulai mengenal sistem
keamanan lingkungan (siskamling) itu, berkumpul di pos ronda
kampung di tepi jalan Medan-Belawan, 14 km dari Kota Medan.
Diperoleh informasi:
Syamsul dan kawan-kawannya berada di sebuah rumah di Rengas
Pulau.
Serda Wasis dan seorang anggota Hansip, Buyung alias Suheri,
melakukan pengintaian. Sementara itu, massa yang kian banyak
jumlahnya, bersiap-siap sembari membawa pentungan dan senjata
tajam.
Syamsul terdengar tengah memetik gitar, sedang kawan-kawannya
bernyanyi gembira. Buyung mendekati mereka. Semua teman Syamsul
melihat gelagat yang kurang baik itu segera melarikan diri. Tapi
Syamsul tetap tenang,bahkan bertanya pada Buyung: "Ada apa,
bang?"
Tak jelas apa yang selanjutnya terjadi. Kepada pers Senin lalu
Pangkopkamtib Laksamana Sudomo menyatakan, ketika hendak
ditangkap Syamsul mencoba melawan lalu melarikan diri. Ia
disambut massa yang nampaknya sudah tak bisa mengontrol emosi.
Singkat cerita, Syamsul dihajar habis-habisan.
Polisi datang tak lama kemudian. "Kami mendapat laporan ada
perampokan," tutur Dan Tabes Medan, Kol. Pol. Soehardi. Yang
ditemukan ternyata bukan perampokan, melainkan tubuh Syamsul
yang penuh bekas tusukan dan luka memar sekujur badan. Polisi
konon sempat membuang tembakan untuk meredakan suasana. Dan
Syamsul dilarikan ke RS Pirngadi, tapi tak tertolong.
Berdasar visum dokter Purba, korban mengalami kematian yang
tidak wajar akibat perdarahan di rongga dada dan perut. Tulang
iga dan lengan bawah patah, sementara kedua tungkai memar kena
benda tumpul. Selain itu, dada, punggung, dan perutnya penuh
luka oleh benda tajam.
Sementara polisi mencoba menenteramkan suasana, sekitar 12
anggota polisi yang lain --ditemani Buyung-mendatangi rumah
Mardiana di Desa Besar. Mereka mencari Logek, adik Syamsul.
Mardiana, seraya menggendong bayinya yang berumur 8 bulan, di
tengah malam itu menanyakan apa yang terjadi.
Jawaban Sekenanya
"Serahkan dulu Logek, nanti Syamsul kami lepaskan," Buyung
menjawab. Kepada anggota polisi Suyono yang kebetulan dikenal,
Mardiana menanyakan apa salah suaminya. "Tak ada, Logek yang
sedang kami cari," jawab Suyono.
Rupanya jawaban Buyung yang sekenanya di malam buta itulah, yang
kemudian berkembang, seolah Syamsul meninggal dengan tujuh luka
tembak ketika dalam status disandera polisi. Mardiana yang
kemudian menyaksikan suaminya tergeletak di pos ronda kampung,
langsung meraung-raung histeris. Beberapa harian kemudian
memberitakan kejadian ini berdasar penjelasan Mardiana.
Memang tak ada penyanderaan dan luka tembak di tubuh Syamsul,
hingga Laksamana Sudomo Senin lalu di Balai Wartawan Hankam,
merasa perlu untuk menegaskannya kepada wartawan. Pangkopkamtib
juga menyayangkan adanya tanggapan yang kurang kena terhadap
kasus itu. Tanggal 5 Maret beberapa koran menurunkan berita
besar keterangan anggota DPR V.B. Da Costa, yang menilai apa
yang dialami Syamsul, "perbuatan biadab sekali. " Da Costa
rupanya mendasarkan penilaiannya -yang mungkin agak
terburu-buru--pada berita pers yang sebelumnya hanya menyiarkan
keterangan Mardiana saja, tanpa mengecek lebih dulu
kebenarannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini