Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Matinya Amat Codet

Syamsul nasution alias amat codet tewas dihajar massa. sebelumnya beredar isu ia tewas ditembak polisi. pangkopkamtib sudomo menyesalkan tanggapan anggota dpr da costa. (nas)

13 Maret 1982 | 00.00 WIB

Matinya Amat Codet
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
DUABELAS rumah penduduk Desa Rengas Pulau, Medan Labuhan, Sumatera Utara dibobol maling sejak anuari lalu. Gangguan keamanan itu paling sering terjadi di Lorong 40. Ini membuat Syahril, Kepala Lorong, penasaran. Dua pekan lalu, atas desakan para warga, ia melaporkan segala kejadian itu kepada Kepala Desa, Usman Alim, yang menyarankan Syahril melapor ke Koramil Medan Labuhan. Saran itu barangkali kurang tepat. Syahril mestinya menghubungi polisi. Tapi, Dan Ramil Kapten Tjipto menerima baik laporan itu. Soalnya sejak beberapa waktu lalu, ia--dan juga pihak Kosekta setempat --sering mendapat laporan Desa Rengas Pulau tidak aman. Ada yang dicurigai, yaitu Syamsul Nasution alias Amat Codet dan adiknya, Logek, serta dua teman mereka Adek dan Yusuf. Memang belum ada bukti kuat pelaku kejahatan adalah Syamsul dkk, yang tinggal di desa tetangga, Desa Besar. Tapi menurut yang didengar Tjipto, "setiap kali Syamsul lewat di sebuah lorong, malamnya ada orang kecurian." Lagi pula Syamsul, 26 tahun, seorang residivis. Pernah ditahan di Nusa Kambangan satu setengah tahun, ia lalu menjadi kernet truk dan mengawini Mardiana boru Sianipar. Ia pernah pula mencoba menjadi nelayan, dan bekerja di pabrik selop. Terakhir ia memburuh di pabrik tali. Malam itu juga, 27 Februari, direncanakan penangkapan terhadap Syamsul dkk. Serda Wasis ditugasi mendampingi Syahril. Sekitar pukul 23.00, 30 warga Rengas Pulau yang mulai mengenal sistem keamanan lingkungan (siskamling) itu, berkumpul di pos ronda kampung di tepi jalan Medan-Belawan, 14 km dari Kota Medan. Diperoleh informasi: Syamsul dan kawan-kawannya berada di sebuah rumah di Rengas Pulau. Serda Wasis dan seorang anggota Hansip, Buyung alias Suheri, melakukan pengintaian. Sementara itu, massa yang kian banyak jumlahnya, bersiap-siap sembari membawa pentungan dan senjata tajam. Syamsul terdengar tengah memetik gitar, sedang kawan-kawannya bernyanyi gembira. Buyung mendekati mereka. Semua teman Syamsul melihat gelagat yang kurang baik itu segera melarikan diri. Tapi Syamsul tetap tenang,bahkan bertanya pada Buyung: "Ada apa, bang?" Tak jelas apa yang selanjutnya terjadi. Kepada pers Senin lalu Pangkopkamtib Laksamana Sudomo menyatakan, ketika hendak ditangkap Syamsul mencoba melawan lalu melarikan diri. Ia disambut massa yang nampaknya sudah tak bisa mengontrol emosi. Singkat cerita, Syamsul dihajar habis-habisan. Polisi datang tak lama kemudian. "Kami mendapat laporan ada perampokan," tutur Dan Tabes Medan, Kol. Pol. Soehardi. Yang ditemukan ternyata bukan perampokan, melainkan tubuh Syamsul yang penuh bekas tusukan dan luka memar sekujur badan. Polisi konon sempat membuang tembakan untuk meredakan suasana. Dan Syamsul dilarikan ke RS Pirngadi, tapi tak tertolong. Berdasar visum dokter Purba, korban mengalami kematian yang tidak wajar akibat perdarahan di rongga dada dan perut. Tulang iga dan lengan bawah patah, sementara kedua tungkai memar kena benda tumpul. Selain itu, dada, punggung, dan perutnya penuh luka oleh benda tajam. Sementara polisi mencoba menenteramkan suasana, sekitar 12 anggota polisi yang lain --ditemani Buyung-mendatangi rumah Mardiana di Desa Besar. Mereka mencari Logek, adik Syamsul. Mardiana, seraya menggendong bayinya yang berumur 8 bulan, di tengah malam itu menanyakan apa yang terjadi. Jawaban Sekenanya "Serahkan dulu Logek, nanti Syamsul kami lepaskan," Buyung menjawab. Kepada anggota polisi Suyono yang kebetulan dikenal, Mardiana menanyakan apa salah suaminya. "Tak ada, Logek yang sedang kami cari," jawab Suyono. Rupanya jawaban Buyung yang sekenanya di malam buta itulah, yang kemudian berkembang, seolah Syamsul meninggal dengan tujuh luka tembak ketika dalam status disandera polisi. Mardiana yang kemudian menyaksikan suaminya tergeletak di pos ronda kampung, langsung meraung-raung histeris. Beberapa harian kemudian memberitakan kejadian ini berdasar penjelasan Mardiana. Memang tak ada penyanderaan dan luka tembak di tubuh Syamsul, hingga Laksamana Sudomo Senin lalu di Balai Wartawan Hankam, merasa perlu untuk menegaskannya kepada wartawan. Pangkopkamtib juga menyayangkan adanya tanggapan yang kurang kena terhadap kasus itu. Tanggal 5 Maret beberapa koran menurunkan berita besar keterangan anggota DPR V.B. Da Costa, yang menilai apa yang dialami Syamsul, "perbuatan biadab sekali. " Da Costa rupanya mendasarkan penilaiannya -yang mungkin agak terburu-buru--pada berita pers yang sebelumnya hanya menyiarkan keterangan Mardiana saja, tanpa mengecek lebih dulu kebenarannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus