Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ilmuwan yang bekerja untuk Pentagon sukses menguji coba panel surya yang bisa mengirim listrik dari luar angkasa ke semua area di Bumi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Panel surya seukuran kotak pizza ini, yang dikenal dengan Photovoltaic Radiofrequency Antenna Module (PRAM), pertama kali diluncurkan pada Mei 2020, menurut laporan CNN, 1 Maret 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Photovoltaic Radiofrequency Antenna Module (PRAM) terpasang ke drone X-37B Pentagon, untuk memanfaatkan cahaya dari matahari untuk diubah menjadi listrik. Pesawat tak berawak itu memutar Bumi setiap 90 menit.
Panel ini dirancang untuk memanfaatkan cahaya di luar angkasa dengan sebaik-baiknya tanpa melewati atmosfer, sehingga bisa mempertahankan energi gelombang biru, yang membuatnya lebih kuat daripada sinar matahari yang mencapai Bumi. Cahaya biru berdifusi saat memasuki atmosfer, itulah yang membuat langit tampak biru.
"Kami mendapatkan banyak sinar matahari ekstra di luar angkasa hanya karena itu," kata Paul Jaffe, salah satu pengembang proyek tersebut, mengatakan kepada CNN.
Eksperimen terbaru menunjukkan bahwa panel 30x30 cm mampu menghasilkan sekitar 10 watt energi untuk transmisi, kata Jaffe. Daya itu cukup untuk memberi daya listrik pada komputer tablet.
Jika proyek ini ditingkatkan dan dikembangkan, maka teknologi ini dapat merevolusi energi listrik dan bisa didistribusikan ke pelosok dunia di manapun.
Photovoltaic Direct Current to Radio Frequency Antenna Module (PRAM) berada di dalam ruang vakum termal selama pengujian di Laboratorium Riset Angkatan Laut AS di Washington DC, Amerika Serikat.[CNN]
Jaffe mengatakan teknologi ini bisa berkontribusi pada jaringan listrik terbesar di Bumi.
"Beberapa visi memiliki ruang surya yang cocok atau melebihi pembangkit listrik terbesar saat ini atau beberapa gigawatt, jadi cukup untuk sebuah kota," katanya.
Unit tersebut belum benar-benar mengirim daya langsung kembali ke Bumi, tetapi teknologinya telah terbukti. Jika proyek tersebut berkembang menjadi antena surya antariksa selebar satu kilometer, proyek itu dapat memancarkan gelombang mikro yang kemudian akan diubah menjadi listrik bebas bahan bakar ke bagian mana pun di planet ini dalam sekejap.
"Keunggulan unik yang dimiliki satelit tenaga surya dibandingkan sumber daya lainnya adalah transmisi global ini," kata Jaffe. "Anda dapat mengirim listrik ke Chicago dan sepersekian detik kemudian, jika Anda perlu, kirimkan ke London atau Brasilia."
Namun, salah satu kendala proyek ini adalah kelayakan ekonomi. "Membangun perangkat keras untuk luar angkasa itu mahal. Dan (biaya) itu, dalam 10 tahun terakhir, akhirnya mulai turun," kata Jaffe.
Meski demikian Jaffe mengatakan ada beberapa keuntungan membangun panel surya di luar angkasa. "Di Bumi, kita mengalami gravitasi yang mengganggu, yang membantu menjaga benda-benda tetap di tempatnya, tetapi menjadi masalah ketika Anda mulai membangun benda-benda yang sangat besar, karena benda-benda itu harus menopang beratnya sendiri," kata Jaffe.
Misi pesawat luar angkasa X-37B AS dieksekusi dengan sangat rahasia, di mana eksperimen PRAM menjadi salah satu dari sedikit detail yang diketahui tujuannya. Pada bulan Januari, Jaffe dan rekan pemimpin proyek PRAM Chris DePuma, merilis hasil pertama dari eksperimen mereka di IEEE Journal of Microwaves, yang menunjukkan eksperimen tersebut berhasil.
Proyek panel surya PRAM ini telah didanai dan dikembangkan di bawah Pentagon, Dana Peningkatan Kemampuan Energi Operasional (OECIF), dan Laboratorium Riset Angkatan Laut AS di Washington DC.