Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Revolusi People Power atau dikenal sebagai Revolusi EDSA dan Revolusi Kuning terjadi di Filipina ketika dua juta rakyat turun ke jalan dan menandakan berakhirnya 20 tahun pemerintahan Ferdinand Marcos yang otoriter. Peristiwa ini terjadi sepanjang 22-25 Februari 1986.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dilansir dari laman origins.osu.edu, ratusan ribu warga Filipina berkumpul di Epifanio de los Santos Avenue (EDSA) untuk memprotes Ferdinand Marcos dan klaimnya memenangkan pemilihan ulang atas Corazon Aquino. Tak lama kemudian, Marcos dan keluarganya terpaksa turun tahta dan meninggalkan Filipina. Dari peristiwa ini, Filipina akhirnya terbebas dari diktator dan memulai kebijakan untuk mengatasi kesenjangan ekonomi dan sosial yang meningkat selama dua puluh tahun pemerintahan Marcos.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mulainya, pada 1985, Marcos menyuarakan pemilihan cepat dalam sebuah wawancara. Dari statement tersebut, oposisi Marcos mulai memperhitungkan sebuah peluang. Pasalnya, di pemilihan sebelumnya Marcos telah berulang kali menguntungkan dirinya melalui perubahan undang-undang, manipulasi, dan intimidasi publik.
Akhirnya, sebagian besar kelompok kiri di Filipina memutuskan untuk memboikot pemilu. Namun, seperti yang dikhawatirkan banyak orang, Marcos kembali mengklaim kemenangan pemilu. Karena itu, ratusan rakyat Filipina turun ke jalan dan menolak kebohongan Marcos.
Marcos pun sempat memerintahkan militer untuk merepresi massa aksi. Namun, faksi perwira militer justru menolak permintaan Marcos dan memilih untuk membelot. Marcos pun memerintahkan militer untuk menangkap para pengkritiknya, tetapi Kardinal Jaime Sin justru meminta masyarakat melindungi mereka.
Sekutu dekat Marcos saat itu, Presiden Ronald Reagan pun mengirimkan pesan yang menyebutkan bahwa Marcos tidak lagi mendapat dukungan dari para sekutunya. Akhirnya, pada 25 Februari 1986 malam, pemerintah Amerika memfasilitasi pelarian Marcos ke Hawai, tempat ia tinggal hingga meninggal pada 1989.
Pada malam yang sama, para pengunjuk rasa menyerbu Istana Malacañang. Di sana mereka menemukan kekayaan mewah yang dikumpulkan keluarga Marcos selama mereka berkuasa. Kemudian, setelah peristiwa itu, Corazon Aquino dilantik sebagai presiden. Peristiwa ini menjadi sorotan dunia lantaran Filipina dapat memberikan contoh revolusi damai dan pemulihan demokrasi.
Profil Singkat Ferdinand Marcos
Memiliki nama lengkap Ferdinand Emmanuel Edralin Marcos Sr, ia lahir pada 11 September 1917 dan merupakan presiden kesepuluh Filipina. Dilansir dari britannica.com, Marcos pernah bersekolah di Manila dan belajar hukum pada akhir tahun 1930-an di Universitas Filipina.
Selama Perang Dunia II, Ferdinand Marcos menjadi seorang perwira angkatan bersenjata di Filipina. Klaim Marcos sebagai pemimpin gerakan perlawanan gerilya Filipina merupakan faktor utama keberhasilan politiknya. Marcos menjadi Presiden Filipina pada 30 Desember 1965. Ia kemudian terpilih kembali pada 1969.
Marcos kemudian memberlakukan darurat militer di Filipina, pada 21 September 1972. Tahun-tahun terakhir kekuasaan Marcos dipenuhi korupsi, stagnasi perekonomian, melebarnya kesenjangan ekonomi, dan tumbuhnya pemberontakan gerilya di daerah pedesaan Filipina. Hingga akhirnya pecah perlawanan rakyat Filipina pada 1986.