INILAH kali pertama dalam 42 tahun sejarah Israel, seorang perdana menteri dijatuhkan lewat mosi tidak percaya. Gara-gara menolak usul AS tentang perdamaian dan rembukan dengan pihak Palestina, pemerintahan koalisi Israel ambruk. PM Yitzhak Shamir dari Partai Likud, yang selama ini bersikeras menolak usul damai tersebut, kalah dengan perbandingan suara 60 mendukung, 55 menentang, dan 5 abstain di dalam Knesset, parlemen Israel, Kamis pekan lalu. Usul Menlu AS James Baker, yang merencanakan dialog Israel-Palestina di Kairo, Mesir, itulah yang memecah pemerintahan koalisi yang baru berusia 15 bulan itu. Kubu Partai Buruh, yang selama ini mendukung rencana perdamaian, menyambut baik tawaran AS. Para menteri dari unsur Partai Buruh dalam Kabinet Shamir belakangan mengancam akan mengundurhan diri jika pemerintah tidak menerima usul AS. PM Shamir menjawab ancaman itu dengan memecat Wakil PM Shimon Peres, yang mewakili Partai Buruh. Otomatis ke-10 menteri Buruh minta berhenti. Shimon Peres kemudian mengupayakan mosi tidak percaya dalam parlemen, dengan alasan, "Shamir mematikan upaya perdamaian". Partai Likud dan Buruh kemudian bersaing untuk memperoleh dukungan 4 partai keagamaan yang memiliki 18 kursi di parlemen yang selama ini memang jadi kunci keseimbangan. Ternyata, partai-partai keagamaan itu memilih untuk menjatuhkan Shamir dan "ikut bergabung dengan proses perdamaian". Adakah politik Israel berbalik, bersedia berunding dengan Palestina? Ternyata, harapan damai itu masih di awang-awang. Tiba-tiba saja pada Ahad kemarin, salah satu partai keagamaan, Shah, mencabut dukungannya terhadap Peres. Kepada Presiden Israel Chaim Herzog, yang berhak menunjuk perdana menteri untuk membentuk kabinet baru, Shah lebih memilih orang Likud yang memimpin kabinet. Keras dugaan pembalikan sikap pemimpin Shah ini karena tak ingin kehilangan dukungan para pengikutnya. Selama ini pendukung partai keagamaan satu ini memang condong pada Likud. Tapi, sebagaimana dalam kabinet Israel yang tak pernah sepakat bulat, Shah pun mengandung suara lain pula. Rabbi Ovadia Yosef, mentor Shah, konsisten dengan sikapnya. Ia sangat khawatir bila kabinet dipimpin oleh Likud. "Pada pendapat saya, bila Likud memimpin, kita akan dibawa ke medan perang," katanya. "Padahal, kami ingin damai." Memang, selama ini suara Likud adalah suara Yitzhak Shamir. Ia selalu mengajukan sejumlah syarat untuk berunding dengan Palestina. Yakni tidak mengikutsertakan penduduk Arab di Yerusalem Timur dalam proses perdamaian, dan mencegah PLO ikut ambil bagian sekalipun itu hanya pada pembicaraan tingkat awal di Kairo. Jelas, syarat ini tidak diterima pihak Buruh karena tak satu pun orang Palestina mau digiring ke meja perundingan dengan syarat seperti itu. Tak cuma Partai Buruh yang kesal. Pemerintah Washington pun tampaknya mulai tak sabar. Presiden George Bush malah di awal bulan ini mengungkit soal peka: status Yerusalem Timur yang dikenal sebagai Yerusalem Arab -- wilayah ini dicaplok Israel pada perang 1967. Bush menyebutkan Yerusalem Timur sebagai wilayah pendudukan. Maksudnya, wilayah itu hanya boleh ditempati oleh orang Arab. Belakangan Shamir banyak menempatkan imigran Yahudi Rusia di wilayah itu. Inilah untuk pertama kalinya, secara terbuka seorang presiden AS menyatakan pendapatnya tentang status Yerusalem Timur. Gedung Putih juga mengancam akan menarik jaminan pinjaman perumahan US$ 400 juta jika imigran Rusia juga ditempatkan di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Belakangan ini memang imigran Yahudi Rusia mengalir deras ke Israel. Jika desakan AS pun ternyata tak mempan, dan di dalam negeri -- meski Shamir tak mendapat angin -- Likud tetap menjadi pilihan, alternatifnya memang intifadah jalan terus, atau sebuah perang terbuka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini