Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Mengapa Uni Eropa Tak Bulat Menghentikan Perang Gaza

Uni Eropa dan ASEAN bersepakat untuk tidak sepakat mengenai perang di Gaza. Indonesia mengkritik sikap Uni Eropa secara terbuka.

11 Februari 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERUNDINGAN para delegasi 70 negara dalam Pertemuan Tingkat Menteri Uni Eropa-Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) berjalan alot ketika masuk pembahasan mengenai perang Hamas-Israel di Gaza pada Jumat, 2 Februari 2024. Udara cerah di langit kompleks perkantoran Uni Eropa di Rue de la Loi, Brussels, Belgia, tempat pertemuan berlangsung, tak banyak berpengaruh.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kedua pihak sebenarnya tak sepenuhnya bulat dalam menghadapi masalah Israel-Palestina. Indonesia dan Malaysia menyokong penuh Palestina dan menentang keras serangan Israel ke Gaza, tapi beberapa negara anggota ASEAN lain bersikap mendua. Vietnam dan Singapura, misalnya, punya hubungan politik dan bisnis dengan Israel. Adapun 27 negara anggota Uni Eropa juga tak satu suara. Meskipun Uni Eropa menyatakan mendukung hak Israel dan Palestina untuk eksis, mereka mengecam serangan Hamas ke Israel.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Isu ini sebenarnya sudah muncul dalam Forum Tingkat Menteri Uni Eropa Indo-Pasifik, yang berlangsung pada hari yang sama sebelum pertemuan Uni Eropa-ASEAN. Saat berpidato di forum ini, Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi mengkritik sikap Uni Eropa terhadap Gaza. “Saya menyerukan kepada Uni Eropa menggunakan nurani untuk menghentikan kekejaman di Palestina. Sebagai pendukung hukum internasional, Uni Eropa harus konsisten dalam isu Palestina karena konsistensi antara nilai dan perbuatan yang menunjukkan moralitas kita yang sesungguhnya,” kata Retno dalam konferensi pers seusai pertemuan.

Di luar forum, Menteri Luar Negeri Sri Lanka Ali Sabry menyebutkan “standar ganda” Uni Eropa terhadap konflik Timur Tengah dan Ukraina. “Kredibilitas dunia Barat dipertaruhkan, kecuali Anda memperlakukan mereka secara setara,” ujarnya, seperti dikutip DW. Sri Lanka termasuk negara yang mengakui baik negara Palestina maupun Israel.

Josep Borrell, Perwakilan Tinggi Uni Eropa untuk Urusan Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan yang memimpin dua pertemuan ini, mengakui bahwa suara Uni Eropa tidak bulat. “Uni Eropa tidak mempunyai posisi yang bersatu. Kami memiliki kesamaan posisi minimum, yaitu ‘jeda kemanusiaan’ dan dukungan kemanusiaan serta pembebasan sandera,” ucapnya dalam konferensi pers setelah pertemuan Uni Eropa Indo-Pasifik.

Negara seperti Jerman, Inggris, Austria, Belanda, serta beberapa negara Eropa Tengah dan Timur cenderung menyokong Israel, terutama karena hantu Holocaust. “Sejarah kita, tanggung jawab kita terhadap Holocaust, menjadikan tugas kita untuk setiap saat membela keberadaan dan keamanan Israel,” kata Kanselir Jerman Olaf Scholz di depan parlemen setelah bertemu dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pada 17 Oktober 2023, seperti dikutip Time. Namun negara seperti Spanyol, Norwegia, dan Yunani mendukung Palestina.

Sidharto R. Suryodipuro, Direktur Jenderal Kerja Sama ASEAN Kementerian Luar Negeri RI, mengakui tidak mudah bagi para delegasi mencapai kata sepakat mengenai isu Palestina. Ini tecermin dalam Pernyataan Bersama Pertemuan Tingkat Menteri Uni Eropa-ASEAN yang menyebutkan, “Kami bertukar pandangan dan menyatakan keprihatinan mendalam atas perkembangan di Timur Tengah” dan “Kami bersepakat untuk mengutuk semua serangan terhadap warga sipil dan kami memperhatikan seruan sebagian dari kami untuk melakukan gencatan senjata yang bertahan lama”.

“Paragraf mengenai isu Palestina adalah paragraf terakhir yang dinegosiasikan dan memerlukan keterlibatan langsung Menteri Luar Negeri Retno Marsudi,” tutur Sidharto, 8 Februari 2024. Hal ini, kata dia, menunjukkan bahwa isu Palestina masih menjadi isu yang sulit bagi masyarakat internasional dalam menemukan kesamaan pandangan.

Kendati demikian, “Dokumen Pernyataan Bersama ini menjadi dokumen yang bersejarah karena untuk pertama kalinya isu Palestina disepakati dalam teks negosiasi ASEAN dan Uni Eropa. Hal ini akan menjadi referensi minimum dalam engagement ASEAN dengan mitra-mitranya ke depan tentang krisis di Gaza,” ujar Sidharto.

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi membagikan momen saat berpidato dalam pembukaan Forum Menteri Indo-Pasifik UE Ke-3 di Brussels, Belgia, melalui X, 2 Februari 2024. Akun X @Menlu_RI

Dokumen Pernyataan Bersama itu juga berisi seruan dibukanya akses bantuan kemanusiaan di semua pintu, termasuk melalui laut; pelindungan kaum sipil dengan mengacu pada hukum internasional; dan pembebasan semua sandera tanpa syarat. Uni Eropa dan ASEAN juga menyepakati resolusi konflik dengan mewujudkan solusi dua negara, yakni berdirinya negara Palestina dan Israel secara berdampingan sesuai dengan pembagian wilayah sebelum 1967.

Sebagian delegasi menegaskan pentingnya penegakan putusan sela Mahkamah Internasional (ICJ) pada 26 Januari 2024 yang menyerukan penghentian semua kegiatan militer untuk menjamin keselamatan warga sipil Palestina di Gaza. Putusan itu keluar atas permintaan Afrika Selatan yang menggugat Israel melakukan genosida terhadap Palestina di Jalur Gaza.

Paragraf tentang Palestina dalam Pernyataan Bersama itu mirip dengan pernyataan pers Ketua Menteri Luar Negeri ASEAN di Luang Prabang, Laos, pada 29 Januari 2024. Putusan ICJ dalam pernyataan di Laos itu muncul antara lain berkat lobi delegasi Indonesia. “Atas dorongan Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam, putusan ICJ itu termuat dalam pernyataan pers tersebut,” ucap Sidharto.

Indonesia, menurut Sidharto, konsisten mendukung perjuangan rakyat Palestina untuk merdeka dari penjajahan Israel sesuai dengan amanat konstitusi. Indonesia juga mendukung penyelesaian konflik melalui solusi dua negara.

“Sejak pecahnya konflik di Gaza, Indonesia secara konsisten menyerukan gencatan senjata permanen dan pembukaan akses kemanusiaan ke Gaza serta mengutuk keras penggunaan kekerasan oleh Israel, yang melawan hukum internasional dan berlawanan dengan perilaku negara beradab,” ujar diplomat senior alumnus Universitas Parahyangan, Bandung, itu.

Sidharto menuturkan, Indonesia menggunakan sejumlah forum untuk menyuarakan sikapnya. Forum itu antara lain Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Majelis Umum PBB, pertemuan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC), dan keketuaan Indonesia di ASEAN pada 2023.

Dalam hal perang di Gaza sekarang, Indonesia menyerukan gencatan senjata, pembukaan akses kemanusiaan ke Gaza, dan kelanjutan proses perdamaian di Timur Tengah. “Indonesia juga meminta negara anggota Uni Eropa yang membekukan bantuan keuangan kepada Badan Pekerjaan dan Pemulihan PBB untuk Pengungsi Palestina di Timur Dekat (UNRWA) meninjau kembali keputusannya karena keputusan tersebut seyogianya didasarkan pada investigasi menyeluruh,” ucap Sidharto.

Sejumlah negara Barat menghentikan bantuannya karena ada dugaan staf UNRWA terlibat dalam serangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober 2023, peristiwa yang memicu serangan Israel ke Gaza. Sekretaris Jenderal PBB António Guterres telah meminta Kantor Pelayanan Pengawasan Internal PBB (OIOS) menyelidiki kasus ini.

Penghentian bantuan ini makin menekan UNRWA, yang sudah mengalami krisis dana pada tahun lalu. Pada November 2023, UNRWA meminta bantuan dana darurat sebesar US$ 104 juta untuk tanggap kemanusiaan selama 90 hari ke depan. Bila pendanaan dihentikan, badan ini terpaksa menghentikan kegiatannya pada akhir Februari 2024. “Kebijakan (penghentian bantuan) tersebut tidak tepat pada saat warga Palestina di Gaza sangat membutuhkan bantuan kemanusiaan,” ujar Sidharto.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Sepakat Tak Sepakat Hadapi Gaza"

Iwan Kurniawan

Iwan Kurniawan

Kini meliput isu internasional. Sebelumnya menulis berbagai topik, termasuk politik, sains, dan seni. Pengasuh rubrik Pendapat dan kurator sastra di Koran Tempo serta co-founder Yayasan Mutimedia Sastra. Menulis buku Semiologi Roland Bhartes (2001), Isu-isu Internasional Dewasa Ini: Dari Perang, Hak Asasi Manusia, hingga Pemanasan Global (2008), dan Empat Menyemai Gambut: Praktik-praktik Revitalisasi Ekonomi di Desa Peduli Gambut (Kemitraan Partnership, 2020). Lulusan Filsafat Universitas Gadjah Mada.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus