Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MEREKA datang membawa harga diri, latihan militer, dan senjata. Tidak bisa tidak, tergeraklah hati para lelaki Rohingya yang telah lelah bertahan dengan harapan yang robek di bawah tekanan berat pemerintah Myanmar kini. Pemerintahan hasil kolaborasi Panglima Militer Jenderal Min Aung Hlaing dan super-menteri Aung San Suu Kyi telah membuat harapan orang-orang Rohingya untuk hidup layak dan terhormat nyungsep, masuk jurang.
Mereka, para pendatang baru dari Pakistan dan Arab Saudi yang punya rekam jejak jihad yang panjang, tentu saja disambut hangat. Persaingan kelompok ekstrem Al-Qaidah dan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) yang giat membangun "waralaba" di Asia Selatan, ditambah represi yang tak kunjung putus, akhirnya melahirkan kelompok bersenjata Harakah al-Yaqin atau Gerakan Orang-orang yang Berkeyakinan di Negara Bagian Rakhine. Dan, di antara lelaki Rohingya yang hatinya terpaut pada Harakah, tersebutlah Mamahdnu Aka Aula. Senin dua pekan lalu, pengadilan Myanmar menjatuhkan vonis mati kepada Mamahdnu.
Mamahdnu bersalah, tapi juga heroik. Hari Minggu, menjelang subuh 9 Oktober tahun lalu, Mamahdnu memimpin lebih dari seratus anggota gerakan menyerbu tiga pos polisi, termasuk sebuah depot amunisi, di perbatasan Myanmar-Bangladesh. Mamahdnu dan 13 anak buahnya tertangkap, tapi 12 polisi—tak terkecuali seorang perwira polisi—tewas dan sebagian besar amunisi berpindah ke tangan Harakah.
Gelombang pembalasan datang seperti ombak, bergulung-gulung. Berpegangan pada analisis gambar satelit, kelompok Human Rights Watch mengumumkan temuannya: hampir seribu rumah hancur dan gosong—tanda pembakaran yang sistematis—di desa-desa Rohingya. Para tentara yang sedang marah itu memberlakukan hukuman kolektif di desa-desa yang berbatasan dengan Bangladesh tersebut. Warga puluhan desa harus menanggung akibat mengerikan dari serangan gerilyawan di kota perbatasan itu. Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, sekitar 30 ribu orang mendadak menjadi pengungsi setelah tatmadaw atau tentara Myanmar diterjunkan di sana.
Serangan Harakah al-Yaqin itu membuka kesempatan untuk melegitimasi aneka bentuk persekusi terhadap kelompok minoritas tanpa kewarganegaraan ini: dari pembunuhan lebih dari 100 orang, pemerkosaan lusinan perempuan dan anak-anak, hingga penahanan 400 orang. Keadaan bertambah parah ketika warga sipil Myanmar mulai dilibatkan dalam persekusi. Kepada Time, seorang anggota militer Myanmar mengaku mereka sengaja memberi angin kepada warga sipil dalam persekusi ini.
Minoritas Rohingya yang muslim merupakan "musuh bersama" masyarakat Myanmar, yang kebanyakan beragama Buddha. Kecuali para aktivis hak asasi manusia yang gerakannya senantiasa diawasi dan dibatasi, praktis hanya Harakah al-Yaqin yang menyatakan keinginannya melindungi orang-orang berkulit gelap yang harus hidup tanpa obat-obatan dan makanan cukup itu. Tatkala semua jalan keluar buat mengakhiri pembatasan ruang gerak, pencabutan status warga negara, pelucutan hak-hak politik, dan diskriminasi yang terus-menerus itu terasa buntu, orang-orang Rohingya di Negara Bagian Rakhine tersebut pun mulai melirik perlawanan bersenjata.
Namun orang-orang Rohingya juga menghadapi dunia yang bertambah kompleks. Dalam sebuah laporannya, International Crisis Group menyebutkan nama Ata Ullah, yang berayah Rohingya dan kini berdomisili di Mekah, sebagai nukleus gerakan bersenjata ini. Dia salah satu di antara 20 pemuka Rohingya dengan pengalaman internasional dalam perang gerilya. Konon gerakan ini telah mengantongi fatwa (legitimasi) dari sejumlah ulama senior Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Pakistan. Tentu banyak yang ingin menanamkan pengaruhnya di antara orang-orang yang nestapa ini, tak terkecuali para penumpang gelap.
Idrus F. Shahab (BBC, Time, Daily Star)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo