NEW Hebrides, yang terdiri dari 72 pulau di Pasifik Selatan,
semula dijadikan untuk mendapat kemerdekaan 30 Juli. Janji itu
tampaknya akan tertunda karena ada pemberontakan yang cukup
merepotkan London dan Paris.
Inggris sempat menerbangkan 200 marinir ke sana. Sedang Prancis
memrotes dan menganggap itu tak perlu untuk memulihkan keamanan.
Keduanya Inggris dan Prancis memegang kedaulatan bersama
(condominium) atas New Hebrides sejak 1906. Keduanya selama ini
bersaing menanamkan pengaruh di kalangan pribumi rumpun
Melanesia -- lewat sistem ganda antara lain dalam pendidikan,
pemerintahan, kepolisian, rumahsakit, gereja dan
persuratkabaran. Keduanya tampak ingin memelihara pengaruh
masing-masing bila New Hebrides mencapai kemerdekaan kelak.
Adalah Jimmy Stevens yang mulai memberontak. Bekas pengendara
bulldozer Amerika dalam Perang Pasifik, Stevens membentuk
pasukan yang memakai parang panah dan tombak selain senapan
kuno. Sebagian besar tentaranya masih bercawat dan bertelanjan
dada.
Selagi kaum wisatawan terlena di pantai dan menyelam di laut,
Stevens yang berjambang lebat itu dan anakbuahnya mengambil alih
stasiun radio dan mengumumkan (28 Mei) Espiritu Santo, pulau
terbesar di New Hebrides, jadi Republik Vemarana merdeka. Kaum
pemberontak lain, setelah ada pertempuran kecil dengan polisi,
menyusul merebut Pulau Tanna.
Peristiwa itu mengejutkan pemerintah pusat di Port Vila yang
dipimpin pendeta Walter Lini. Ketua Menteri ini menghimbau
Komisaris Inggris Andrew Stuart dan Komisaris Prancis Jean
Jacques Robert supaya mendatangkan tentara untuk menumpas
gerakan separatis itu.
Semula memang tiba 55 gendarmes (polisi) Prancis, tapi mereka
berangkat kembali tanpa berbuat apa-apa. Kemudian tiba 200
marinir Inggris dengan senjata mutakhir. Jauh-jauh datang dari
England, pasukan ini ternyata beristirahat saja di Port Vila,
karena komisaris Prancis tidak mengizinkan sesuatu operasi
militer terhadap pemberontak. "Biarkan sesama Melanesia
menyelesaikan nya," kata Robert.
Tapi penyelesaian itu ternyata tidak tergantung pada sesama
Melanesia saja. Sikap London dan Paris pun ikut menentukan.
Persoalan ialah gerakan Jimmy Stevens menguntungkan kepentingan
Prancis. Bahkan para pemilik perkebunan dan.peternak Prancis di
Espiritu Santo mendukungnya. Dominasi bahasa Prancis dirasakan
di Santo itu yang berpenduduk 16.000.
Stevens tadinya membentuk partai Na-Griamel yang menuntut
kemerdekaan bagi New Hebrides (kini berpenduduk 112.000). Tapi
dalam pemilihan umum November lalu, partainya kalah. Partai
Vanuaaku pimpinan Walter Lini yang berorientasi pada Inggris
memperoleh mayoritas di semua dewan perwakilan, termasuk di
Santo. Dengan kemenangan Vanuaaku dan Lini sebagai Ketua
Menteri, tentu saja, kepentingan Inggris terjamin.
Bekas Ketua Menteri, Gerard Leymang, pendeta Katolik yang
mendukung dan berbahasa Prancis, juga kalah seperti Stevens.
Namun Stevens sendiri berbahasa Inggris, tidak Prancis. Sedang
ia pengikut gereja Presbyter, sama dengan Lini.
Stevens memang tidak terang-terangan membela kepentingan
Prancis. Namun pemberontakannya terhadap golongan yang
pro-lnggris telah didukung oleh mereka yang pro-Prancis.
Setidaknya, komisaris Robert cenderung membiarkannya.
Lini mencoba diplomasinya pekan lalu dengan mengirim utusan ke
Pulau Santo, di sebelah utara Port Vila, dan ke Pulau Tanna, di
sebelah selatan ibukota New Hebrides itu. Kaum pemberontak di
dua pulau itu mau berunding -- mungkin ini usaha terakhir secara
damai, yang mungkin pula akan berlarut-larut.
Pers Inggris memakai istilah coconut war (perang kelapa) untuk
menggambarkan krisis di New Hebrides itu yang memang terkenal
dengan perkebunan kelapanya. Sudah banyak ributnya, yang agak
menegangkan hubungan London Paris, walau baru ada satu korban
jiwa. Yaitu Aexis Yolou, anggota dewan legislatif yang mendukung
Prancis, yang terbunuh di Tanna (11 Juni) ketika bentrok senjata
dengan polisi.
Perang sungguhan diduga tak akan terjadi. Hanya diduga "perang
kelapa" itU akan menunda penyerahan kedaulatan pada New
Hebrides.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini