JESUS CHRIST SUPER STAR
Lirik & Musik: Tim Rice & Andrew Weber.
Terjemahan: Julius Sijaranamual
Sutradara: Remy Silado
Produksi: Sanggar Bahtera Yayasan Komunikasi Massa.
BUNDA Maria meratap. Izinkan aku bertanya Tuhan/Haruskah Jesus
mati di atas salib dan dinista/Dengan sorakan yang sarat
kebencian/Aku meradang/Citraku ambyar, hatiku pilu.
Dengan suara tinggi penyanyi pop Berlian Hutauruk, sebagai Bunda
Maria, muncul di babak akhir Jesus Kristus Sang Bintang (Jesus
Christ Super Star). Ketika sunyi meliputi panggung Balai Sidang
20 dan 21 Juni lalu, dan di panggung bagian atas terlihat Jesus
terpentang pada salib, ratapan Berlian memang mengharukan.
Itulah satu-satunya adegan pertunjukan ini, yang boleh disebut
mengena.
Rock opera, kombinasi opera dan musik rok memang bukan barang
baru lagi. Remy Silado, sutradara pementasan Jesus Sang Bintang
ini pun tak diterima dengan pandangan aneh. Meski dia
menghadirkan Jesus berkulit hitam. Yudas berkulit putih. Herodes
dan Kayafas itu wadam. Dan Jesus di Balai Sidang malam itu naik
becak. Juga berciuman dengan Maria Magdalena, pelacur yang
dibelanya. Sementara musik dan liriknya, memang asli ciptaan
Andrew Weber dan Tim Rice. Diindonesiakan oleh Julius
Sijaranamual, sastrawan yang bekerja sebagai redaktur majalah
anak-anak Kawanku.
Naskah yang lahir di sekitar awal 70-an ini, memang sebuah
naskah urakan. Yudas, si pengkhianat, dalam adegan pertama
menyanyi. Mengapa Yesus tak seperti ayahnya saja, menjadi tukang
kayu, hingga tak "bikin repot banyak orang."
Remy, 35 tahun, orang yang memopulerkan 'puisi mbeling'
menyiapkan rekaman musiknya selama tiga minggu. Pementasan ini
memang menggunakan teknik play back. Dan menyiapkan
adegan-adegan di panggung, juga selama tiga minggu. Sekitar 50
orang, termasuk sejumlah penyanyi yang telah punya nama,
terlibat kegiatan ini. Berlian Hutauruk, Christine Panjaitan,
Charles Hutagalung, Yansen Berlin. Dan bekas an,ota Black
Brothers, Martin Luther Meset, yang memerankan Jesus.
Pertunjukan ini, meski juga mengolah soal akting dan yang
berkaitan dengan itu, pertama-tama adalah musik dan liriknya.
Mendengarkan rekamannya, adalah menikmati satu karya yang
rampung. Tapi hanya melihat adegan-adegannya, susah dibayangkan,
itu menjadi satu pertunjukan utuh.
Bisa Menusuk
Tak berarti naskah ini tak bisa dipanggungkan dengan menarik.
Remy pun, meski mengeluh waktu latihan amat singkat, dalam
beberapa adegan mencoba menyuguhkan satu komposisi yang elok.
Sayang, pagi-pagi tata panggung, yang dihias garis-garis
ekspresif pipa-pipa besi, membentuk pnggung bersusun atas dan
bawah, tak begitu menguntungkan. Tata panggung itu tak
menciptakan satu gambaran ruang. Garis-garis itu terasa menempel
pada bidang dua dimensi. Akibatnya, panggung terasa sempit.
Adegan-adegan yang diharapkan memberikan efek kolosal tak
tercapai.
Misalnya, pada adegan Jesus disalib, di panggung bawah sejumlah
penari menarikan tarian gubahan June Beckx, balerina muda yang
sering menjadi primadona dalam acara balet. Yang dimaksudkan
Remy kira-kira menyuguhkan kontras: sementara Jesus menderita di
tiang salib, sejumlah orang menari gembira. Toh, yang kita
rasakan seperti nonton orang-orang ajojing di sebuah disko yang
berdekor gambar Jesus. Kontras yang mungkin bisa menusuk itu,
berlalu dengan damai.
Tapi musiknya, dibawakan grup Remy Silado ini, bolehlah. Seorang
penonton lebih suka memejamkan matanya dan menikmati musik dan
liriknya, daripada mendengarkan dan melihat. Hanya mereka yang
pernah mendengarkan versi Inggrisnya, tentu akan merasakan, grup
Remy Silado terlalu 'sopan' membawakan musik gubahan Andrew
Weber itu. Meski bisa didengar sedikit sentuhan Remy, dalam
aransemennya, yang memasukkan musik ali dan ketuk tilu (Sunda).
Kesannya, pementasan Remy lebih memberikan suasana meriah dan
gembira. (Meski tak semeriah opera musik rok Ken Arok karya
Harry Rusli beberapa tahun lewat). Sementara versi Inggrisnya,
yang rekamannya beredar pula di Indonesia, terasa lebih
menggigit. Tragis itu terasakan.
Masalahnya, baik dalam pertunjukan Remy maupun Harry Rusli,
bahasa Indonesia terasa janggal dibawakan dengan irama musik
rok. Kesenian jenis ini agaknya memang berakar dan tumbuh dalam
lingkungan khas, yang agak susah diadaptasi ke lingkungan lain.
Atau, masih memerlukan waktu untuk menjadikan terasa biasa bagi
kita.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini