Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Jesus yang meriah

Sutradara: remy silado terjemahan: julius sijaranamual produksi: sanggar bahtera resensi oleh: bambang bujono. (ter)

28 Juni 1980 | 00.00 WIB

Jesus yang meriah
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
JESUS CHRIST SUPER STAR Lirik & Musik: Tim Rice & Andrew Weber. Terjemahan: Julius Sijaranamual Sutradara: Remy Silado Produksi: Sanggar Bahtera Yayasan Komunikasi Massa. BUNDA Maria meratap. Izinkan aku bertanya Tuhan/Haruskah Jesus mati di atas salib dan dinista/Dengan sorakan yang sarat kebencian/Aku meradang/Citraku ambyar, hatiku pilu. Dengan suara tinggi penyanyi pop Berlian Hutauruk, sebagai Bunda Maria, muncul di babak akhir Jesus Kristus Sang Bintang (Jesus Christ Super Star). Ketika sunyi meliputi panggung Balai Sidang 20 dan 21 Juni lalu, dan di panggung bagian atas terlihat Jesus terpentang pada salib, ratapan Berlian memang mengharukan. Itulah satu-satunya adegan pertunjukan ini, yang boleh disebut mengena. Rock opera, kombinasi opera dan musik rok memang bukan barang baru lagi. Remy Silado, sutradara pementasan Jesus Sang Bintang ini pun tak diterima dengan pandangan aneh. Meski dia menghadirkan Jesus berkulit hitam. Yudas berkulit putih. Herodes dan Kayafas itu wadam. Dan Jesus di Balai Sidang malam itu naik becak. Juga berciuman dengan Maria Magdalena, pelacur yang dibelanya. Sementara musik dan liriknya, memang asli ciptaan Andrew Weber dan Tim Rice. Diindonesiakan oleh Julius Sijaranamual, sastrawan yang bekerja sebagai redaktur majalah anak-anak Kawanku. Naskah yang lahir di sekitar awal 70-an ini, memang sebuah naskah urakan. Yudas, si pengkhianat, dalam adegan pertama menyanyi. Mengapa Yesus tak seperti ayahnya saja, menjadi tukang kayu, hingga tak "bikin repot banyak orang." Remy, 35 tahun, orang yang memopulerkan 'puisi mbeling' menyiapkan rekaman musiknya selama tiga minggu. Pementasan ini memang menggunakan teknik play back. Dan menyiapkan adegan-adegan di panggung, juga selama tiga minggu. Sekitar 50 orang, termasuk sejumlah penyanyi yang telah punya nama, terlibat kegiatan ini. Berlian Hutauruk, Christine Panjaitan, Charles Hutagalung, Yansen Berlin. Dan bekas an,ota Black Brothers, Martin Luther Meset, yang memerankan Jesus. Pertunjukan ini, meski juga mengolah soal akting dan yang berkaitan dengan itu, pertama-tama adalah musik dan liriknya. Mendengarkan rekamannya, adalah menikmati satu karya yang rampung. Tapi hanya melihat adegan-adegannya, susah dibayangkan, itu menjadi satu pertunjukan utuh. Bisa Menusuk Tak berarti naskah ini tak bisa dipanggungkan dengan menarik. Remy pun, meski mengeluh waktu latihan amat singkat, dalam beberapa adegan mencoba menyuguhkan satu komposisi yang elok. Sayang, pagi-pagi tata panggung, yang dihias garis-garis ekspresif pipa-pipa besi, membentuk pnggung bersusun atas dan bawah, tak begitu menguntungkan. Tata panggung itu tak menciptakan satu gambaran ruang. Garis-garis itu terasa menempel pada bidang dua dimensi. Akibatnya, panggung terasa sempit. Adegan-adegan yang diharapkan memberikan efek kolosal tak tercapai. Misalnya, pada adegan Jesus disalib, di panggung bawah sejumlah penari menarikan tarian gubahan June Beckx, balerina muda yang sering menjadi primadona dalam acara balet. Yang dimaksudkan Remy kira-kira menyuguhkan kontras: sementara Jesus menderita di tiang salib, sejumlah orang menari gembira. Toh, yang kita rasakan seperti nonton orang-orang ajojing di sebuah disko yang berdekor gambar Jesus. Kontras yang mungkin bisa menusuk itu, berlalu dengan damai. Tapi musiknya, dibawakan grup Remy Silado ini, bolehlah. Seorang penonton lebih suka memejamkan matanya dan menikmati musik dan liriknya, daripada mendengarkan dan melihat. Hanya mereka yang pernah mendengarkan versi Inggrisnya, tentu akan merasakan, grup Remy Silado terlalu 'sopan' membawakan musik gubahan Andrew Weber itu. Meski bisa didengar sedikit sentuhan Remy, dalam aransemennya, yang memasukkan musik ali dan ketuk tilu (Sunda). Kesannya, pementasan Remy lebih memberikan suasana meriah dan gembira. (Meski tak semeriah opera musik rok Ken Arok karya Harry Rusli beberapa tahun lewat). Sementara versi Inggrisnya, yang rekamannya beredar pula di Indonesia, terasa lebih menggigit. Tragis itu terasakan. Masalahnya, baik dalam pertunjukan Remy maupun Harry Rusli, bahasa Indonesia terasa janggal dibawakan dengan irama musik rok. Kesenian jenis ini agaknya memang berakar dan tumbuh dalam lingkungan khas, yang agak susah diadaptasi ke lingkungan lain. Atau, masih memerlukan waktu untuk menjadikan terasa biasa bagi kita. Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus