TENTARA sedang dimusuhi di Muangthai. Sebabnya sudah jelas, yakni pembantaian demonstran yang mengakibatkan 40an (diduga lebih) orang tewas dan ratusan luka parah serta ratusan lagi yang belum diketahui hidupmatinya. Rabu pekan lalu berita Radio Thai melaporkan bahwa dua tentara luka parah ditusuk oleh orang tak dikenal ketika mereka sedang berada dalam bus kota di Bangkok. "Mereka diejek dan bahkan ada yang diludahi di jalanan," kata Letjen. Anussorn Krissanaseranee, juru bicara Angkatan Darat kepada TEMPO. Sikap antimiliter tak hanya ditujukan kepada para personel tentara saja tapi juga diarahkan pada bisnis dan lembaga-lembaga milik tentara. Banyak nasabah yang menarik depositonya dari Thai Military Bank, bank terbesar kedua di Muangthai setelah Bangkok Bank. "Saya memindahkan seluruh tabungan ke bank lain, sebagai aksi protes karena saya tak bisa ikut demo," ujar Piya. Ini semua hasil kerja gerakan prodemokrasi yang menyebarluaskan imbauan melalui faksimili agar masyarakat tak melakukan bisnis dengan militer. "Kami telah menyebarkan daftar perusahaan dan bisnis milik militer," ujar Dr. Chaiwat Sathaanand, Direktur Peace Information Institute. Tak hanya itu. Gedung Pasar Bursa di Bangkok juga dipenuhi selebaran yang berisi imbauan agar para pialang tak melakukan transaksi jualbeli saham milik perusahaan militer, umpamanya maskapai penerbangan Thai International yang 30% sahamnya dimiliki militer. Beberapa perusahaan menarik iklan mereka dari televisi Saluran V milik AD dan Saluran VII milik AU. Tak cuma itu. Desakan agar para pelaku pembantaian diadili makin santer. Maka Kastaf AD Jenderal Issarapong Noonpakde dan beberapa jenderal lainnya mengeluarkan ancaman. "Kami bersumpah akan melindungi atasan kami. Nama dan citra militer harus dikembalikan," kata Mayjen. Jaturit Phromsakha, Sekretaris Kastaf AD. Pernyataan itu tampaknya menyiratkan bahwa militer merasa dipermalukan di depan umum ketika pemimpin mereka, Suchinda, dipanggil Raja dan dimarahi pekan lalu. "Belum pernah ada seorang PM yang diperlakukan sedemikian buruk," kata Suchit Bunbongkarn, penulis buku The Military in Thai Politics, yang juga dosen ilmu politik Universitas Chulalongkorn. Karena itu tak mengherankan bila ada spekulasi yang mengatakan bahwa Suchinda bakal merebut kembali kekuasaannya. Ramalan itu ada dasarnya. Menurut laporan harian The Nation, 7 ribu pasukan yang terdiri dari Pasukan Infantri Udara Pengawal Kerajaan, satu batalyon kavaleri, dan satu unit antipesawat udara serta marinir belum dikembalikan ke barak mereka di Kancahanburi, Prachin Buri, dan Lopburi. Sebagian masih berjagajaga di Departemen Pertahanan di Bangkok, sebagian besar lainnya ditempatkan di markas Resimen ke11 yang berlokasi di dekat Bandara Don Muang. Di markas yang disebut juga Pangkalan Sayap 6 itulah Suchinda dan kedua jenderalnya kini bersembunyi. Hingga kini belum ada tandatanda bahwa Issarapong dan Pangab Marsekal AU Kaset Rojananil bersedia meletakkan jabatan. Sebab, "Mereka menganggap militer telah menjalankan tugasnya untuk mengamankan negara," Suchit menjelaskan. Sementara itu, militer diamdiam sedang melakukan konsolidasi kekuatan dan tampaknya mereka masih kompak. Kendati selama tragedi tiga hari itu pasukan marinir yang ditempatkan di sekitar kawasan Monumen Demokrasi menolak untuk menembak para demonstran. "Sikap satuan ini ternyata bisa diterima oleh satuan lainnya. Dan hal itu tak dianggap sebagai tindakan perlawanan," tutur seorang atase militer asing yang diundang oleh Jenderal Tirawat Putamononda, Direktur Intel AD, dalam sebuah brifing khusus. YI (Bangkok) & DP (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini