SEKERAS-kerasnya Escobar, akhirnya rindunya pada anak-istrinya tak bisa ditahannya. Dan karena itu raja narkotik Kolombia yang buron ini, musuh nomor satu pemerintah Kolombia, akhirnya tewas, sehari setelah hari ulang tahunnya yang ke-44, Kamis pekan lalu. Tepat di hari ulang tahunnya, Rabu, Pablo Escobar menelepon Maria, istrinya, yang tinggal di sebuah hotel di Bogota, Kolombia. Seperti diberitakan dua pekan lalu, permintaan suaka Maria dan kedua anaknya untuk tinggal di Jerman ditolak. Maka, anak-istri Escobar itu balik ke Kolombia. Celakanya, yang mendengarkan telepon itu bukan hanya Maria dan anaknya, tapi juga beberapa polisi khusus Kolombia, yang sudah berhari-hari berada dalam sebuah van yang diparkir tak jauh dari tempat persembunyian Escobar. Dari kendaraan berperlengkapan elektronik canggih itu pulalah diketahui, Escobar menelepon stasiun Radio Super, memprotes penolakan pemerintah Jerman atas permintaan suaka keluarganya. Tapi para polisi khusus itu masih ragu, dan belum melakukan tindakan apa pun. Baru, tatkala Escobar menerima ucapan selamat dari sanak keluarganya melalui telepon, Kamis pekan lalu itu (rupanya Escobar memberitahukan nomor teleponnya pada Maria yang lalu menyebarluaskan pada sanak familinya), para petugas yakin, gembong narkotik yang diburu itu berada di sebuah rumah terbuat dari kayu di Las Americas, Medellin Barat. Operasi penyerbuan pun segera disusun dengan mengerahkan ratusan polisi khusus dibantu angkatan bersenjata Kolombia. Seluruh saluran telepon di kawasan itu diputus, sementara para petugas bersenjata lengkap diperintahkan mengepung rumah yang dikelilingi para pengawal bersenjata. Tak berapa lama kemudian suara tembakan menggema di kawasan kumuh itu. Para pengawal Escobar tak berdaya menghadapi serangan mendadak. Bahkan, konon Escobar tanpa sempat mengenakan baju, hanya bercelana panjang warna biru, berusaha melarikan diri melalui atap rumah. Seorang petugas memergokinya, dan rentetan peluru senapan mesin pun menghujaninya. Escobar, gembong narkotik yang oleh majalah Forbes diperkirakan memiliki kekayaan sekitar Rp 4 triliun itu, pun tewas. Ia terkapar di atap rumah, dengan tubuh penuh lubang peluru. Dalam pidatonya yang emosional di televisi dan radio, Presiden Cesar Gaviria menyatakan, matinya Escobar ''merupakan langkah penting yang dilakukan Kolombia melawan para gembong narkotik yang membenamkan negeri ini dalam kenestapaan.'' Sedangkan Presiden Bill Clinton dalam kawatnya memuji keberhasilan pemerintah Gaviria. ''Hasil kerja para perwira militer Kolombia akan dikenang selama-lamanya oleh para korban keganasan Escobar,'' tulis Clinton. Selesaikah dengan demikian perang melawan mafia narkotik yang dicanangkan pemerintah Kolombia beberapa tahun lalu? Mungkin sulit. Konon, Juan Pablo, anak lelaki Escobar berusia 17 tahun, bersumpah ''menghabisi bajingan-bajingan yang membunuh ayahku.'' Lalu Hermilda Gaviria Escobar, ibu kandung Escobar, yang segera tiba di tempat kejadian, meramalkan bakal terjadi peristiwa yang lebih buruk dalam waktu dekat. Karena itulah, pemerintah Kolombia segera menerjunkan 500 pasukan bersenjata ke beberapa tempat penting di Bogota dan Medellin, dua kota besar yang sering menjadi ajang pertempuran sesama mafia narkotik, juga antara mafia dan pemerintah, menghadapi pembalasan dendam yang mungkin dilancarkan kelompok Kartel Medellin, pimpinan Escobar. Pemerintah Kolombia rupanya tak mau ambil risiko. Mafia narkotik, terutama kelompok Medellin, bukan rahasia lagi, menilai pemerintah Kolombia tak lebih dari sebiji jempol kaki. Presiden Gaviria pernah dibuat jengkel oleh Escobar, ketika sayembara penangkapan atas diri Escobar berhadiah US$ 400.000 ditandingi oleh Escobar dengan mengumumkan imbalan US$ 2.000 untuk satu nyawa polisi Kolombia, tahun lalu. Betapa besar, teratur, dan penuh disiplin Kartel Medellin terbukti ketika Escobar menyerahkan diri dan dipenjarakan di penjara Envigado, dua tahun lalu. Ternyata, sang raja narkotik tetap mengendalikan bisnis haramnya dari ruang tahanannya yang mewah berlapis keramik merah, lengkap dengan kebun, kolam renang, televisi, dan saluran telepon itu. Dan begitu mudah kisah lolosnya dari Envigado, ketika desakan dari Amerika makin gencar agar Escobar diekstradisikan ke AS, Agustus 1992. Dan bagaimana kemudian ia lolos dari ribuan pasukan khusus yang segera didatangkan untuk mengepung kawasan Envigado membuktikan bagaimana Escobar memiliki jaringan yang rapi dan meliputi seluruh Kolombia. Tapi pemerintah Kolombia, yang dibantu oleh Amerika Serikat yang merupakan lahan perdagangan gelap narkotik terbesar di dunia, terus menekan jaringan sang mafioso itu. Satu per satu benteng yang melapisi Escobar diruntuhkan: pasukan khusus yang dibentuk oleh presiden Kolombia berhasil menewaskan beberapa pembantu dekat Escobar, akhir tahun lalu. Rupanya, situasi ini juga dimanfaatkan oleh sejumlah anggota Kartel Medellin untuk mengail di air keruh banyak anggota yang mulai berani tak memberi uang setoran. Mereka tentunya berpikir, bos besar tak akan bisa menindaknya karena terus- menerus diburu oleh pasukan khusus. Toh, Galeano dan Moncada, dua anggota Kartel Medellin yang mencoba membelot, tewas. Konon, mereka menunggak setoran sampai US$ 100 juta. Ini pun membuktikan, Escobar, meski terus ditekan, masih punya gigi dan ruang gerak mengendalikan organisasinya. Tapi, berbeda dengan perang pemerintah Kolombia sebelumnya, kali ini tampaknya Presiden Cesar Gaviria maju terus pantang mundur, apa pun yang terjadi. Selama itu sudah puluhan jaksa Kolombia tewas dibantai mafia narkotik. Pemerintah Kolombia kemudian diuntungkan oleh saingan Escobar, Kartel Cali, yang mengambil kesempatan bergerak memukul Kartel Medellin selagi bos besarnya terus-menerus ditekan oleh pasukan khusus. Akhirnya Escobar, yang memulai kariernya sebagai alap-alap mobil dan pencuri batu nisan itu, kehabisan napas juga. Situasi itu rupanya memberanikan orang-orang yang menjadi korban Escobar membentuk organisasi, Februari lalu, bernama ''Pepes'', yang artinya, ''Orang-orang yang Terpukul oleh Pablo Escobar''. Tujuan organisasi ini jelas: menyingkirkan Escobar bersama keluarganya. Munculnya gelombang yang semuanya menyerang ke arah Escobar itulah agaknya yang menyebabkan anak-istrinya mencoba mencari suaka ke Jerman. Tapi pemerintah Jerman rupanya tak mau negaranya dijadikan arena baku tembak mafia narkotik Kolombia: permintaan itu ditolak. Lalu, apakah perdagangan narkotik dunia bakal menurun dengan tewasnya Escobar? Tampaknya tidak. Masih ada Kartel Cali. Hanya, barangkali, cara melawan mafia satu ini harus berbeda dengan cara melawan Escobar. Presiden Cesar Gaviria perlu menyusun taktik baru. Sebab, kabarnya, permainan Cali lebih halus, tak sebagaimana permainan Kartel Medellin yang melibatkan rakyat banyak, dan menyebabkan banyak korban tewas di jalanan. Kartel Cali konon lebih bermain di atas, memberi upeti kepada para hakim, hadiah pada para kepala polisi, dan dana untuk para politikus. Mereka kabarnya baru membunuh bila sangat diperlukan. Kartel Cali kabarnya menguasai 70% pasar narkotik di AS dan 90% pasar Eropa. Di bawah pimpinan Jose Santacruz Londono, 49 tahun, dan Gilberto Rodriguez Orejuela, 54 tahun, kartel ini dikemudikan dari markas besarnya di sebuah istana marmer yang berdiri megah dikelilingi perkebunan tebu, di tepi Kota Cali, Kolombia. Tak banyak diketahui profil dua pemimpin Cali yang sebentar lagi menjadi raja narkotik dunia menggantikan Pablo Escobar yang dikuburkan Jumat pekan lalu itu. Tampaknya, belum waktunya Presiden Gaviria mengendurkan perangnya. Didi Prambadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini