DEWA beras di Jepang tampaknya sedang marah besar. Sekalipun upacara suci untuk mereka dari Kaisar tetap dilangsungkan dengan khidmat dua pekan lalu, hasil panen tahun ini benar- benar buruk. Musim panas yang terlalu dingin membuat padi enggan tumbuh. Maka, pertengahan bulan ini, kapal Tanjung Pinang, yang mengangkut 7.000 ton beras dari Thailand, merapat di pelabuhan Yokohama. Padahal, sejak Jepang berhasil melakukan swasembada, di tahun 1960-an, ditabukan mengimpor beras. Maka, suka atau tak suka, protes keras pun muncul. ''Ini tak adil dan kurang ajar,'' kata Tokuju Shimada, petani yang punya lahan tiga hektare. Di Jepang, urusan beras memang perkara sensitif. Turun- temurun, beras sangat dekat dengan petani, sehingga menjadi komoditi keramat. Hingga kini, 75% dari seluruh petani, atau sekitar tiga juta kepala keluarga, masih mengandalkan hidup dari beras. Maka, siapa pun mengubah kebijakan tentang beras dan merugikan petani akan mendapatkan perlawanan telak. Maka, kebijakan pemerintahan koalisi tujuh partai yang dipimpin Perdana Menteri Morihiro Hosokawa tentang impor beras, jangan-jangan, bakal menjungkalkan Hosokawa. Pertama, karena koalisinya terancam pecah. Salah satu anggota koalisi, Partai Sosialis Jepang, dengan terbuka mengecam impor beras. Kedua, petani adalah pendukung setia Partai Demokratik Liberal yang dikalahkan oleh Hosokawa. Maka, Partai Demokratik Liberal, kini menjadi oposisi, tentu akan memanfaatkan situasi ini. Selasa dan Rabu pekan lalu, 10 anggota parlemen dari partai oposisi itu melakukan aksi duduk selama 48 jam di gedung parlemen. Bahkan kabarnya partai ini sudah merancang sebuah mosi tidak percaya untuk menjatuhkan Hosokawa. Dan celakanya, Hosokawa tampaknya tak punya pilihan lain. Selain panen yang memang buruk, tekanan Amerika melalui perundingan GATT (Kesepakatan Umum tentang Tarif dan Perdagangan) tampaknya tak tertahankan. Sudah lama masalah larangan impor komoditi pertanian di kalangan anggota GATT, termasuk Jepang, menjadi ganjalan yang membuat perundingan macet. Untuk memuluskan jalannya GATT, yang jika gagal bisa lebih menyulitkan perdagangan Jepang, konon Jepang membuat kesepakatan rahasia dengan Amerika. Larangan impor beras bakal dicabut. Kabar kesepakatan rahasia ini tampaknya menohok petani. Tak cuma di Jepang, tetapi para petani Korea Selatan dan Taiwan pun ikut-ikutan menggalang kekuatan untuk menghalangi pembukaan gerbang impor. Di Jepang persoalan lebih parah karena para petani merasa tertipu. Sejak tahun 1971 pemerintah Tokyo menjalankan program untuk mengurangi sawah yang ditanami padi. Alasannya, produksi padi begitu melimpah, mencapai 14,5 juta ton, jauh di atas kebutuhan yang berkisar hanya 12 juta ton. Program yang disebut Gentan ini terus diperluas. Tahun 1992 lalu, misalnya, tak kurang dari 670.000 hektare sawah digentankan. Dana untuk penggentanan ini pun tak tanggung-tanggung, sekitar Rp 2 triliun, sebagai ganti rugi pada petani. ''Kok kami disuruh mengurangi produksi selama 20 tahun dan sekarang terpaksa mengimpor. Sungguh saya merasa ditipu pemerintah,'' kata Shimada. Soal tipu-menipu ini memang ada dasarnya. Harga beras lokal sekarang ini berlipat-lipat jika dibandingkan dengan harga internasional. Untuk kualitas super yang digunakan sebagai makanan sehari-hari harganya mencapai Rp 8 juta per ton. Sedangkan beras impor dari Thailand, termasuk ongkos kapal dan asuransi, bisa sampai ke Jepang dengan harga hanya sekitar Rp 1,5 juta per ton. Jika impor dilakukan sesuai dengan rencana, pemerintah Jepang bakal mengantongi keuntungan tak kurang dari Rp 7,5 triliun, karena beras impor itu dijual dengan harga lokal agar tak merusak pasar. Sebagai pelipur lara bagi petani, pemerintah Jepang merencanakan akan memberi semacam subsidi, sebesar Rp 8,8 triliun. Tapi diduga, ini tak akan cukup melegakan petani Jepang yang amat bergantung pada proteksi. Secara ekonomis pertanian di Jepang sebenarnya sangat jauh dari efisien. Harga tanah yang begitu tinggi dan tenaga kerja yang amat mahal membuat beras Jepang sangat tidak kompetitif dibandingkan dengan beras impor. Namun, menghapuskannya begitu saja juga mustahil. Tidaklah mudah menciptakan pekerjaan baru bagi kaum petani yang jumlahnya mencapai 3,7 juta kepala keluarga. (Sebagai bandingan, petani Amerika Serikat yang memproduksi beras jumlahnya hanya 11 ribu jiwa.) Lebih repot lagi, sekitar 60% dari tenaga kerja yang bergulat di sektor pertanian Jepang berusia lebih dari 55 tahun. Artinya, sulit bagi mereka memulai pekerjaan baru. Selain itu, beras adalah komoditi strategis yang dianggap simbol kemandirian Jepang. Jika keran impor dibuka, diperkirakan dua pertiga pasar beras Jepang bakal didominasi oleh beras asing, terutama beras bermutu menengah ke bawah yang banyak digunakan oleh industri sake dan makanan olahan lainnya. Jika itu terjadi, seperti diperkirakan oleh kelompok studi Profesor Morishima Masaru dari Universitas Tokyo, periuk nasi Jepang benar-benar bergantung pada produsen di luar negeri. Hal yang amat sulit diterima oleh seluruh rakyat Jepang dari lapisan mana pun. Itu sebabnya Hosokawa sebenarnya tak akan membuka impor begitu saja. Memang betul tak ada lagi larangan impor, tetapi tarif untuk beras bakal digenjot tinggi-tinggi sehingga beras impor tak kompetitif. Menggunakan tarif sebagai penghalang juga tak bertentangan dengan perundingan GATT sekalipun dengan syarat dalam waktu enam tahun tarif terebut harus sedikit demi sedikit diturunkan. Namun, persoalan saat ini bukanlah hitungan sederhana tarif versus harga lokal. Isu beras sudah berkembang, dan dimanfaatkan dengan baik oleh musuh-musuh Hosokawa.Yopie Hidayat (Jakarta) & Seiichi Okawa (Tokyo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini