BAGI Irina Sheleykova, seorang pembersih kantor di Moskow, ada pemilu atau tidak di negaranya pekan ini, itu sama saja. Perhatian ibu dua anak ini sepenuhnya tersedot pada masalah ekonomi rumah tangganya. ''Harga naik terus, hidup saya susah terus,'' katanya. Ahad pekan ini, sebuah peristiwa bersejarah akan dilangsungkan di Moskow. Itulah pemilu pertama untuk memilih parlemen, dan pemungutan suara untuk menentukan apakah rencana konstitusi baru disetujui oleh rakyat. Dengan parlemen dan konstitusi baru itulah demokrasi di Rusia bakal dijamin, termasuk terjaminnya kedudukan dan kekuasaan presiden. Dan bila semuanya berlangsung dengan baik, inilah pertama kalinya seorang presiden Rusia memiliki dasar hukum untuk berkuasa. Selama ini, seperti yang terjadi belum lama lalu, kekuasaan presiden dan parlemen rancu sehingga berbagai kebijaksanaan tak berjalan. Tapi pentingnya peristiwa pada Ahad pekan ini tersebut mungkin tak banyak dipahami oleh warga Moskow sendiri. Atau, seperti halnya Sheleykova, mereka sudah terlalu putus asa diimpit kesulitan ekonomi. Toh sejumlah reformis belum mau menyerah. ''Dalam waktu yang singkat ini, kami akan mengampanyekan pentingnya undang-undang itu,'' kata Sergei Yushenkov, salah seorang ketua gerakan reformasi. Tapi, hanya punya waktu sekitar enam hari, kampanye itu dampaknya mungkin tak bisa diharapkan. Dengar saja kata Sheleykova. Dengan diubahnya sistem ekonomi sentral ke pasar bebas, ia sangat dirugikan. Memang, kata Sheleykova pula, rakyat Rusia kini bebas berbicara, bebas berusaha tanpa diatur dan diawasi pemerintah. Dan hasilnya memang nyata. Sejak berlakunya deregulasi dua tahun silam, mobil-mobil impor, termasuk mobil mewah seperti Rolls Royce, berkeliaran di jalanan Moskow sehingga hari-hari ini lalu lintas sering macet. Lalu, toko-toko menjual berbagai barang mewah dari Paris dan New York. Bahkan, kios-kios di pinggir Jalan Raya Lenin, yang sebelumnya menjajakan rokok dan vodka lokal, kini penuh botol- botol minuman impor: Johnny Walker Black dan Chivas Regal, anggur dari Prancis dan Italia. Tapi, kata Sheleykova dengan sengit, buat dirinya, ''Gaji sebulan belum cukup untuk membeli baju Nina Ricci yang saya lihat di Arbatski.'' Arbatski, itulah kawasan perbelanjaan yang trendi di pusat Moskow, tempat restoran MacDonald's yang selalu penuh dengan pembeli. Sebenarnya, Sheleykova tidak mengidamkan barang mewah. Ia cuma kaget dengan konsekuensi pasar bebas, yang mau tak mau memunculkan perbedaan sosial, perbedaan kaya-miskin. Perbedaan yang bisa dilihat di muka pintu masuk MacDonald's: pengemis berkerumun, biasanya orang-orang tua. Para ekonom menduga, orang berpendapatan di bawah garis kemiskinan sudah mencapai 45%. Yang dirindukan Sheleykova adalah kembalinya berbagai subsidi pemerintah yang bisa meringankan beban hidupnya. Benar, gajinya dinaikkan 30% tiga bulan lalu. Tapi itu tak ada gunanya karena harga-harga melonjak hampir setiap minggu. Menurut Alexander Jedul, ekonom di kantor berita Novosti, satu keluarga dengan empat orang anggota minimal memerlukan 80 ribu rubel (sekitar Rp 160 ribu) untuk hidup layak. Sheleykova bersama suaminya, Alexei, tukang parkir mobil, hanya berpenghasilan total 70 ribu rubel. Maka, untuk bertahan hidup, Sheleykova terpaksa tinggal bersama mertuanya tentu suami dan dua anaknya ikut. Padahal, apartemen mertuanya itu hanya layak ditinggali dua orang. Mertua Sheleykova, usianya hampir 60 tahun, juga terpaksa bekerja untuk menambah uang pensiunnya. Tapi jangan salah paham. Sheleykova yang merindukan subsidi itu tak ingin komunisme kembali di Rusia. Komunisme, kata Sheleykova, menindas kebebasan. Sikap Sheleykova terhadap pemilu agaknya mewakili sikap kebanyakan orang Rusia. Padahal, dua pekan lalu, pemerintah menerbitkan 20 juta kopi, yang disebarluaskan ke masyarakat agar dipelajari umum. Melihat kecenderungan ini, Jedul, ekonom itu, menduga tak lebih dari 55% pemilih yang muncul di kotak- kotak suara nanti. Dugaan Jedul didukung oleh Victor Likkin, redaktur harian Pravda. ''Rakyat sudah apatis dengan ulah tokoh-tokoh politik, yang cuma memperhatikan kepentingan sendiri,'' katanya. Pravda memang koran oposisi. Belum lama ini, Pravda dibredel seminggu oleh Yeltsin karena laporan-laporannya yang mengkritik pemerintah, membela kelompok garis keras. Menurut Likkin, kekacauan di bidang sosial maupun ekonomi adalah akibat tidak adanya kepemimpinan yang tegas. ''Rusia lompat dari sistem ekonomi terkontrol ke sistem yang bebas sama sekali begitu saja tanpa transisi. Itu terlalu radikal,'' katanya. Yeltsin terlalu bergantung pada suatu kelompok ekonomi yang dijuluki the Chicago Boys, katanya, yakni pengikut kebijaksanaan moneter yang diajarkan oleh pakar ekonomi terkenal Milton Friedman. Setelah Perang Dingin usai, pengaruh Amerika, sang bekas musuh, terhadap masyarakat Rusia memang cukup kuat. Kartu kredit American Express, lambang pasar bebas Amerika, lebih diterima daripada uang rubel di berbagai restoran. Bioskop- bioskop tidak lagi menghidangkan produksi lokal, tapi film seperti Sleepless in Seattle dan The Fugitive. Papan di pinggir jalan mengiklankan rokok Marlboro, dengan si koboi dari Montana itu. Hal yang paling disesalkan orang seperti Likkin adalah pemahaman terhadap istilah pasar bebas. ''Kapitalisme oleh orang Rusia diterjemahkan sebagai kebebasan mencari duit, apa pun caranya,'' kata Likkin. Tapi situasi memang memaksa orang begitu kalau tak ingin mampus. Penghentian subsidi pemerintah memaksa setiap lembaga maupun perorangan mencari cara sendiri untuk bertahan. Akibatnya, apa saja diperdagangkan. Tak aneh jika Gubernur Bank Sentral, Viktor Gerashchenko, belum lama ini, dalam suatu pertemuan bankir asing, menggambarkan ekonomi Rusia sebagai suatu bardak atau rumah pelacuran. Banyak pegawai negeri dan wartawan yang melompat ke bidang usaha swasta tanpa berpikir dua kali. Dengan subsidi pemerintah semakin langka, kini sejumlah lembaga negara tak lagi menawarkan jasanya dengan gratis. Misalnya, kantor berita Novosti membuka pelayanan bagi wartawan asing dengan ongkos. Setiap wawancara yang diatur Novosti akan diperhitungkan, dan ada tagihan setelah masa penugasan wartawan asing itu selesai. Harga balas jasa mulai US$ 20 sampai US$ 50, tergantung penting-tidaknya tokoh atau pejabat itu. Mobil untuk karyawan Novosti sering disewakan untuk mengantarkan tamu-tamu karena kendaraan umum, seperti taksi, di Moskow masih kurang. Di jalanan, mobil pribadi sering berhenti menaikkan penumpang, menjadi omprengan. Karena orang harus mencari uang dengan segala cara, demam dagang melanda Moskow. Pinggir jalan-jalan besar di siang hari penuh dengan penjual bermacam barang: dari pakaian, buku, buah- buahan, sampai daging sapi dan ikan segar. Seorang pejabat pemerintah mengeluh, putrinya yang diharapkannya masuk universitas memilih berdagang perhiasan palsu di kawasan Arbatski bersama kawan-kawannya. ''Kalau nasib lagi baik, untungnya bisa 300 ribu sampai 500 ribu rubel (Rp 1 juta) sebulan,'' kata Alexander Olenin, pejabat itu. Di Rusia, para pedagang sambilan tak dipungut pajak. Dampak dari kapitalisme tak terkendali itu cukup merisaukan orang-orang Rusia yang nasionalistis. ''Lihat negeri saya ini. Kemiskinan, korupsi, dan kriminalitas di mana-mana. Saya malu betul,'' kata Boris, wartawan kantor berita Tass yang belum lama ini pulang dari penugasannya di luar negeri. Rusia sekarang ini suram, memang. Di samping mengalami keburukan ekonomi, negeri bekas superkuat itu kini tak memiliki parlemen ataupun undang-undang. Pemerintah menjunjung asas-asas demokrasi, tapi beberapa partai politik dilarang, sejumlah penerbitan dibredel, dan media elektronik diawasi terus. Likkin dan beberapa pengamat lain menilai Yeltsin telah menjadi pemimpin yang otoriter. ''Kekuasaan Yeltsin terlalu besar, tak ada yang mengimbanginya,'' kata Melor Sturua, kolumnis politik di Izvestia, koran terbesar di Rusia. Kekuasaan Yeltsin, katanya, sama dengan kekuasaan Presiden Amerika dan Perdana Menteri Inggris disatukan. Dan kekuasaan Yeltsin itu akan diperkuat dengan pengesahan konstitusi baru bila memang rakyat menyetujuinya konstitusi baru itu. Tapi suka atau tak suka kepada Yeltsin, rakyat Rusia agaknya tak punya pilihan lain. Dari 13 partai yang ikut dalam pemilu, tak satu pun menandingi kekuatan Vybor Rossii, Partai Pilihan Rusia. Meski, berdasarkan angket dua pekan lalu, Pilihan Rusia cuma didukung oleh hampir 26% responden. Adalah kelompok bernama Blok Yavlinsky yang muncul sebagai partai terkuat kedua. Lalu, dua partai sayap kiri, yakni Partai Komunis dan Partai Demokratik liberal. ''Suasana ini menunjukkan tak akan ada satu partai yang menang mutlak. Akibatnya, pemenang harus berkoalisi. Namun, menimbang sifat mereka yang mudah bertengkar, saya yakin koalisi itu tidak akan bertahan lama,'' kata Likkin. Tentang bukti soal bertengkar itu, Likkin punya contohnya. Di antara pendukung komunisme, terdapat 15 kelompok yang tak bisa bersatu. ''Mungkin kekuatan Yeltsin terletak pada kelemahan partai-partai,'' kata Likkin. Untuk pertama kalinya dalam 70 tahun, dilangsungkan pemilu multipartai di Rusia. Namun, bagaimana memilih salah satu di antaranya, membingungkan. Semua partai berkampanye dengan tema yang sama: memperbaiki ekonomi sebagai prioritas utama. Semua partai mengaku berasas demokrasi, dan tak satu pun bersedia kembali pada sistem lama, dan anehnya Partai Komunis pun demikian. ''Kami melawan sistem monopoli ekonomi oleh negara. Dan kami akan menerima modal asing,'' kata Gennady Zyuganov, Ketua Partai Komunis. ''Beda kami dengan partai lain, kami memperhatikan keadilan sosial.'' Ada satu hal lagi: Partai Komunis berjanji mempersatukan kembali negara-negara bagian menjadi Uni Soviet. Nah, pantas bila Irina Sheleykova dan kawan-kawannya tak tertarik ikut pemilu.A. Munir (Moskow)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini