Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SERANGAN itu terjadi mendadak. Tentara Arab Saudi sama sekali tak menduga. Pasukan Houthi, yang memberontak terhadap pemerintah Yaman, menggempur pos militer strategis Al-Alib di kawasan Najran, wilayah barat daya Saudi yang berbatasan dengan Yaman. Sempat berlangsung pertempuran sengit. Tapi, dengan dukungan Pengawal Republik Yaman, unit elite dari tentara Yaman yang setia kepada mantan presiden Ali Abdullah Saleh, pasukan Houthi berhasil merebut pangkalan itu.
Sebuah video yang diklaim berasal dari media resmi Hizbullah, yang merekam serangan pada Selasa pekan lalu itu, memperlihatkan pasukan Houthi berjalan di tengah gurun. Mereka lalu mengendap-endap mendekati sebuah bangunan. Tak lama kemudian tembak-menembak terdengar. Hizbullah adalah kelompok Islam Syiah yang berbasis di Libanon.
Menurut Al Masdar News, yang mempublikasikan video sepanjang 20-an menit itu, pasukan Houthi kini "sudah sangat dekat dengan jalan masuk ke Najran dari arah selatan". Situasi ini mendorong tentara Saudi semakin bersiaga dan memperkuat penjagaan.
Setelah gencatan senjata di Yaman berakhir pada tengah malam Sabtu dua pekan lalu, perang di negara termiskin di Semenanjung Arab itu memang kembali berkobar. Mengabaikan seruan Perserikatan Bangsa-Bangsa, kedua pihak yang berhadap-hadapan tak membuang-buang waktu untuk kembali melancarkan operasi militer. Koalisi yang dipimpin Saudi bahkan meningkatkan gempuran udara terhadap posisi lawannya yang didukung Iran.
Gerakan pasukan Houthi menerobos wilayah Saudi pada Selasa pekan lalu itu sebetulnya bukan yang pertama. Mereka sudah melakukannya beberapa kali sejak Saudi memutuskan membantu langsung sekutunya, Presiden Abd Rabbuh Mansour Hadi, memerangi Houthi. Mereka menembakkan roket, menyergap iring-iringan kendaraan Saudi, bahkan pernah menghancurkan tiga tank Saudi. Tapi, setiap kali mereka beraksi, setiap kali itu pula upaya mereka kandas.
Belum bisa segera diketahui apakah mereka sanggup bertahan di pos militer di Najran itu atau apakah mereka masuk lebih dalam ke pusat kota Najran. Yang pasti, perang bukan hanya belum akan berhenti, tapi juga berpeluang makin menggila, habis-habisan, yang secara terbuka bakal menyeret negara lain, termasuk Amerika Serikat.
MENURUT laporan Al Monitor, eskalasi militer di Yaman sebetulnya sudah berlangsung sejak perundingan damai di Kuwait pada Agustus lalu gagal. Pembahasan alot selama tiga bulan telah menjadikan gamblang betapa terbelahnya kedua pihak yang bersengketa. Akibatnya kedua pihak memilih tekanan politik dan militer sebagai cara memperbaiki posisi jika perundingan digelar lagi.
Houthi, yang di medan perang dalam kondisi dikeroyok, bersama sekutunya, mantan presiden Ali Abdullah Saleh dan tentara pendukungnya, mengumumkan pembentukan dewan politik untuk menjalankan pemerintahan di wilayah-wilayah yang mereka kuasai. Waktu itu perundingan memasuki pekan-pekan terakhir. Pada 5 Oktober, menyusul dibentuknya pemerintah penyelamatan nasional.
Sementara Saudi dan anggota koalisinya sedikit demi sedikit kehilangan kredibilitas di mata internasional dan regional karena tindakan-tindakannya yang bahkan dituding melakukan kejahatan perang, Houthi justru memperlihatkan kemampuan bertahan yang tak diduga lawannya. Dukungan Amerika, yang belakangan makin terang-terangan, lebih dari sekadar pasokan logistik persenjataan, tak membuat Saudi sanggup mempersingkat perang.
Houthi yang Syiah memang tak sendiri; sejak awal, diakui atau tidak, ada Iran di belakang mereka—inilah, di antaranya, yang menyebabkan Saudi memutuskan memerangi Houthi. Dan dukungan itu tak terbendung. Belakangan, setelah perang berlangsung setahun lebih, Iran bahkan dikabarkan meningkatkan pengiriman senjata untuk Houthi. Laporan kantor berita Reuters tentang hal ini mengutip sumber-sumber di kalangan diplomat dan pejabat Amerika, Barat, dan Iran.
Mengutip laporan intelijen, sumber-sumber itu mengungkapkan penyelundupan senjata akhir-akhir ini dilakukan melalui Oman, yang bertetangga dengan Yaman. Mereka mengatakan bukan hanya jalur laut yang dipilih, tapi juga jalan darat, memanfaatkan perbatasan yang penjagaannya lemah. Senjata yang diselundupkan termasuk rudal.
"Kami prihatin atas arus senjata belakangan ini dari Iran ke Yaman dan telah menyampaikannya kepada mereka yang masih berhubungan dengan Houthi, termasuk pemerintah Oman," kata seorang pejabat senior Amerika.
Dalam wawancara dengan Okaz—koran Saudi—Menteri Luar Negeri Oman Yousef bin Alwi membantah adanya penyelundupan itu. "Tidak ada yang benar dalam hal ini. Tidak ada senjata yang melintasi perbatasan kami dan kami siap menjernihkan setiap kecurigaan yang timbul," ujarnya.
Tak persis menepis bantahan Menteri Alwi, para pejabat senior Yaman dan kawasan mengakui warga Oman memang tak terlibat aktif dalam kegiatan pemindahan senjata itu, tapi mereka menutup mata dan gagal membendungnya melalui penegakan hukum.
Masih ada yang sangsi akan akurasi laporan intelijen tentang hal itu, sebenarnya, terutama berkaitan dengan skalanya. Yang jelas, sejak perang pecah, Houthi baru sekali saja memperoleh senjata dalam jumlah besar, yakni ketika semua divisi tentara yang mendukung mantan presiden Ali Abdullah Saleh berpihak kepada mereka. Para pejabat senior Amerika, Barat, dan Iran menyebutkan arus penyelundupan mulai meningkat pada Mei lalu.
HOUTHI ataupun rezim yang berkuasa tak bebas dari dosa karena kekejian yang mereka lakukan, meski sebagian besar, semuanya warga sipil, tewas karena gelombang pengeboman oleh Saudi. Akibat perang, menurut World Food Program, hampir 1,4 juta orang kini terancam kelaparan dan 2,8 juta lainnya menjadi tunawisma.
Menurut laporan The Guardian, pada 2015 ada 101 serangan terhadap sekolah dan rumah sakit. Setelah dua rumah sakit yang dioperasikan Dokter Tanpa Batas dibom dan menewaskan 20 orang, kelompok kemanusiaan ini terpaksa menarik diri dari enam rumah sakit di Yaman utara. Kini ada kabar sedang terjadi wabah kolera.
Dengan jumlah korban mencapai 10 ribu orang, perang di Yaman memang "kecil" dibandingkan dengan bahala di Suriah, yang selama lima tahun terakhir mencabut nyawa hampir setengah juta orang. Perhatian media juga tak sebesar terhadap Suriah. Tapi Yaman bagaimanapun tak bisa diabaikan; apa yang terjadi di sana, lebih dari sekadar bencana kemanusiaan, berpotensi menimbulkan ancaman terhadap keamanan global.
Yang dikhawatirkan, termasuk oleh Amerika, adalah menguatnya cabang Al-Qaidah di sana, apalagi jika situasi kian tak terkendali. Pada April 2015, kelompok ekstrem ini sempat menguasai Al-Mukalla, pelabuhan utama dan ibu kota Provinsi Hadhramaut. Dalam kenyataannya, sejauh ini, seperti dikatakan Graham Griffiths kepada Bloomberg, seorang analis dari Control Risk di Dubai, Yaman tetap merupakan "tempat perlindungan yang aman bagi kelompok seperti Al-Qaidah dan Negara Islam (ISIS)".
Semua fakta itu semestinya sudah cukup menjadi alasan untuk secara sungguh-sungguh mencari cara mengakhiri konflik. Yang merisaukan, kata Griffiths, "Sangat mungkin Yaman tetap menjadi item lapis kedua dalam agenda Amerika dan negara-negara lain."
Purwanto Setiadi (Al Masdar News, Al Monitor, The Guardian, Middle East Eye, Bloomberg, Reuters)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo