Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

<font size=2 color=navy>Menteri Kesehatan Nila Moeloek: </font><br />Program Ini Akan Jalan Terus

31 Oktober 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENOLAKAN terhadap program pendidikan dokter layanan primer terus bergulir. Senin pekan lalu, sekitar seribu dokter yang tergabung dalam Ikatan Dokter Indonesia (IDI) berunjuk rasa di depan Istana Merdeka, menentang pemberlakuan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran. Menurut undang-undang tersebut, untuk melayani pasien di fasilitas kesehatan tingkat pertama, dokter harus mengikuti pendidikan tambahan.

Pada Juli lalu, pengurus IDI sudah bertandang ke Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat meminta Undang-Undang Pendidikan Kedokteran direvisi. Tapi, sejauh ini, Kementerian Kesehatan berkukuh menjalankan program tersebut. Alasannya, menurut Menteri Kesehatan Nila Moeloek, "Ini perintah undang-undang." Saat berkunjung ke kantor Tempo pada Kamis dua pekan lalu, Nila menjelaskan panjang-lebar kebijakan ini.

Banyak dokter yang memprotes kebijakan ini. Kenapa pemerintah bergeming?

Payung hukum kami ini undang-undang. Kalau saya tidak menjalankan, artinya saya membangkang. Ya, keluar saja, jangan duduk di Kementerian Kesehatan.

Organisasi profesi juga menentang program ini. Anda yakin bisa berjalan?

Kami jalan terus. Artinya tetap mempersiapkan. Kami bekerja sama dengan pendidikan tinggi. Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi sudah setuju.

IDI bahkan sampai turun ke jalan untuk memprotes program ini.

Tidak apa-apa. Saya juga anggota IDI, apa saya ikut demo? Jadi saya rasa tidak boleh mengatasnamakan IDI.

Kebijakan ini ide pemerintah?

Ini ide IDI juga. Ini yang aneh. Ada sesuatu yang kami tidak mengerti.

Tapi, sejauh ini, infrastruktur juga belum siap.

Dokter yang baru atau belum lulus kalau mau menempuh program ini sudah ada tempatnya. Bisa masuk universitas yang akreditasinya A. Misalnya Universitas Padjadjaran, yang sudah siap.

Bagaimana dengan dokter yang sudah lama bekerja?

Ini masa transisi. Nanti dia tidak perlu bersekolah dua tahun lagi untuk menjadi dokter layanan primer. Misalnya, ada dokter yang sudah sepuluh tahun di puskesmas, dinilai saja, butuh modul apa. Nanti diakui sebagai dokter layanan primer. Istilahnya pemutihan.

Sudah ada dokter yang mendaftar untuk ikut program ini?

Sudah banyak, yang transisi (dokter lama) pun sudah.

Kenapa pemerintah menganggap pendidikan layanan primer ini penting?

Dulu puskesmas, ketika era Presiden Soeharto, untuk dokter yang baru lulus. Jarang dokter yang masuk puskesmas, karena konotasinya tempat ini hanya untuk berobat orang yang tidak mampu. Padahal puskesmas ini ujung tombak. Inilah yang akan kami kuatkan.

Apa kelebihan program ini?

Dokter layanan primer ini nanti akan setara dengan dokter spesialis. Sekarang kondisinya masih njomplang. Misalnya, kalau mata Anda sakit, belekan sebut saja, siapa dokter yang dicari? Dokter mata tentu saja. Dengan program ini, dokter umumnya bisa setara seperti itu. Jadi kompetensinya ditingkatkan.

Ini pasti menjamin pelayanan ke masyarakat meningkat?

Dokter nantinya akan mengawasi keluarga. Saat ini, cara kerja dokter di puskesmas hanya memberikan resep. Nanti dokter juga harus aktif, mendatangi rumahnya, lihat jendelanya, tempat tidurnya. Kalau bapaknya batuk, istri dan anaknya pasti terkena. Nanti ada tim dari kesehatan masyarakat, puskesmas, dan kesehatan lingkungan. Di Belanda, ada yang namanya dokter keluarga. Dia bisa ditempatkan di puskesmas, di klinik. Di sana, 90 persen masalah kesehatan sudah terlayani di layanan primer, 10 persen di rumah sakit. Di Indonesia justru sebaliknya. Rumah sakit menjadi pilihan utama ketimbang puskesmas. Persepsi ini yang mesti diubah. Kami ingin mengembalikan harkat dan martabat dokter.

Apa ini ada hubungannya dengan defisit anggaran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial karena peserta banyak yang memilih berobat ke rumah sakit?

Kami diancam BPJS, juga pimpinan, karena duitnya bocor terus. Hancur negara kita kalau uangnya buat kesehatan saja. Mau sampai kapan terus-terusan begini? Apa kita mau diam saja?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus