"SIAPA musuh Iran yang terbesar?" tanya Oriana Fallaci,
wartawati Italia, kepada Syah Mohammad Reza Pahlevi waktu masih
berkuasa. "Irak," jawab Syah.
Syah benar. Permusuhan kedua negara itu memang tak pernah reda.
Akhir-akhir ini bahkan sering terjadi clash bersenjata di
perbatasan bagian selatan kedua negara.
Kantor Berita Irak (INA), pekan lalu, melaporkan bahwa sebuah
pesawat tempur Iran telah ditembak jatuh. Ketika melakukan
serangan udara ke wilayah Irak. Dua orang tentara Iran
dikabarkan terbunuh .
Iran membantah. Radio Teheran yang mengutip keterangan Komando
Operasi Gabungan menyatakan tak ada seorang pun jatuh korban
dalam pertempuran yang berlangsungdi wilayah Qash E.Shirin,
Musian dan Ilam itu. Tapi PM Iran Mohammad Ali Rajai dan
beberapa pejabat tinggi militer mendadak muncul di Majlis dan
melaporkan perkembangan situasi di perbatasan yang semakin
gawat.
Kepada Majlis, juga dilaporkan Rajai pengumuman Presiden Irak
Saddam Hussein tentang pembatalan perjanjian perbatasan yang
dibuat di Aljir tahun 1975 dan tuntutan atas perairan Shatt Al
Arab. Perairan itu selama ini merupakan jalur lalu lintas tanker
yang menghubungkan Teluk Persia dengan kompleks perminyakan Iran
di Abadan.
Reaksi Teheran? "Ini merupakan pengumuman perang," kata juru
bicara Presiden Abolhassan Bani Sadr. "Bagaimana pun Iran akan
mempertahankannya dengan seluruh kekuatan angkatan bersenjata
yang ada."
Menghadapi situasi yang semakin gawat, Presiden Bani Sadr selaku
Panglima tertinggi Angkatan Bersenjata Iran mengumumkan
berlakunya mobilisasi umum bagi seluruh pasukan cadangan. Dalam
pengumumannya, minggu lalu, Bani Sadr memerintahkan kepada
prajurit dan perwira yang dibebastugaskan pada tahun 1977-1978
unluk melaporkan diri sebelum 3 Oktober.
Memburuknya hubungan Iran-lrak ini bermula dari seruan Ayatullah
Khomeini kepada rakyat Irak untuk menggulingkan Presiden Saddam
Hussein. Itu terjadi tahun lalu. Himbauan itu tentu saja
merisaukan penguasa Irak yang umumnya penganut Islam Sunni.
Sedang di Iran mayoritasnya adalah Islam Syiah.
Semasa almarhum Syah Iran berkuasa, ketegangan di perbatasan
sebetulnya juga sering terjadi. Akhir 1974 berulang kali tentara
kedua negara terlibat clash bersenjata. Pertikaian mereda
setelah Pemerintah Aljazair mengambil prakarsa dilangsungkannya
suatu pertemuan antara Syah Iran dengan Saddam Hussein, waktu
itu masih wakil presiden, di Aljir, 1975. Sejak itu ditetapkan
batas baru kedua negara Perairan Shatt Al Arab secara resmi
diakui Irak sebagai wilayah Iran. Sebagai gantinya Iran
menghentikan bantuannya kepada pemberontak Kurdi yang dipimpin
Mustafa Al Barzani, yang menjadi duri bagi Irak.
Kini Presiden Saddam Hussein bersumpah akan merebut kembali
wilayahnya yang diduduki Iran itu. Presiden Bani Sadr dalam
wawancaranya dengan AFP mengatakan bahwa ia percaya Irak akan
melakukan serangan besar-besaran. Menurut Bani Sadr, Irak
sekarang sudah menempatkan 2 divisi pasukan meriam di sepanjang
perbatasan.
Perang terbuka? Sulit diduga. Tapi Pemimpin PLO Yasser Arafat
tampak berusaha untuk mendamaikan. Sumber PLO mengungkapkan
bahwa Arafat sudah mengirim dua utusan masing-masing, ke Baghdad
dan Teheran. Mendesak kedua negara itu untuk menghentikan
permusuhannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini