Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Perdana Menteri Itu Hilang Di Teluk

Iran oleh AS disebut "sebuah pulau stabilitas". Dengan jatuhnya shah Iran sekarang dan berkumandangnya suara anti Amerika dibawah pimpinan Ayatullah Khomeini, cukup mengguncangkan AS. (ln)

10 Februari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TELUK itu adalah teluk yang tegang. Kapal-kapal tangki besar dengan hati-hati lalu-lalang tiap hari di sini. Di sisi selatannya berjajar pantai negeri Kuwait, sepotong Arab Saudi, negeri kecil Qatar, deretan wilayah Persatuan Emirat Arab dan sebuah tanjung milik kesultanan Oman. Di teluk itu pula terletak pulau Bahrain - sebuah Singapura di Timur Tengah. Dengan deretan nama-nama itu (lihat peta), jadi jelas betapa suatu gangguan di Teluk Parsi akan mengancam dunia yang haus minyak bumi. Di sisi utara teluk itulah Iran terletak. Di bawah Shah, negeri ini menunjukkan ambisinya untuk jadi polisi penjaga seantero wilayah. Iran misalnya membantu kesultanan Oman ketika negeri berpenduduk sekitar satu juta itu diancam pemberontakan kiri, yang menyebut diri Front Rakyat Pembebasan Oman. Sebanyak 3000 tentara Iran dikirim ke sana. Negeri tetangganya yang lebih kiri, Iraq, mula-mula menentang. Iraq adalah penyokong Front Rakyat. Namun dengan segera baik Iran maupun Oman sendiri melakukan langkah diplomatik. Akhir Januari 1976, hubungan berlangsung antara Oman dengan Iraq -- yang juga telah berbaikan dengan Iran. Hasilnya kehadiran Iran di Oman tak akan diganggu. Kini, dengan jatuhnya Shah, apa yang akan terjadi? Kesultanan Oman merasa terancam. Para pemberontak di propinsi Dhofar, yang terletak di barat daya, dibantu oleh Republik Rakyat Yemen Selatan -- tetangganya. Antara Yemen Selatan dengan Oman ketegangan tetap berlangsung. Agustus 1976, Sultan Oman, Qabus Ibn Sa'id, meminta agar pasukan Iran tetap di negerinya. Hal itu kini nampak mustahil. Jatuhnya Shah dan menangnya Ayatullah Khomeini praktis akan menghentikan peranan penting militer Iran. Dan dengan serta merta berkembanglah semacam teori domino Arab di Teluk Persia sekarang. Sebab jika Front Rakyat yang dibantu Yemen Selatan itu bererak lagi, dan kesultanan Oman runtuh, maka Persatuan Emirat Arab harus bersiap-siap menghadapi revolusi pula -- dan begitulah seterusnya Bahrain, Kuwait .... Dengan mudah sosok Uni Soviet nampak kian menakutkan di wilayah ini, apalagi setelah naiknya pengaruh negeri besar komunis itu di Ethiopia dan Yemen Selatan. Yang paling terpukul adalah Amerika Serikat. Seperti dikatakan bekas Menteri Luar Negeri Kissinger dalam wawancaranya dengan majalah Time pertengahan Januari yang lalu, wilayah di sekitar Iran dulu "merupakan rintangan bagi ekspansi Soviet." Beberapa negara di sana, Iran, Pakistan, Arab Saudi, dulu berpolitik luar negeri yang jelas anti-Soviet. Kini "ada bahaya", menurut Kissinger, bahwa sikap itu bertambah samar-samar, dan wilayah itu pun menjadi "wilayah ketidak-pastian yang besar." Jaman memang berubah cepat, dan sering tak terduga. Setahun yang lalu, siapa menduga bahwa Shah Iran akan rontok begitu cepat? Ia telah berhasil memberikan kesan ke dunia luar seakan-akan dia bagian yang berakar kuat dalam sejarah Iran. Ia menghubungkan diri dengan raja-raja kuno, 2000 tahun yang lalu, dengan suatu perayaan besar di reruntuhan Persepolis yang dibangun Raja Cyrus sebelum Masehi. Ia bahkan memberi nama putera mahkotanya "Cyrus Reza". Begitu rupa kesan yang mekar, hingga menjelang kejatuhannya, orang Barat berbicara tentang akan berakhirnya monarki yang sudah 20 abad. Padahal, Shah Iran adalah produk kekalutan politik dan campur tangan negara-negara besar di abad ke-20. Ayahnya seorang perwira Iran yang dengan hantuan Inggeris bergerak merebut kekuasaan dari dinasti Qajar. Di tahun 1925, Reza menobatkan diri jadi Raja -- dan menyatakan diri pendiri dinasti baru, dinasti Pahlevi. Di tahun 1941, setelah ia mencoba bersikap tidak mau jadi boneka Inggeris dan bermanis-manis dengan Hitler, ia dijatuhkan. Pasukan Inggeris bersama Rusia masuk Iran. Kemudian negara-negara besar ini yang menobatkan Shah yang sekarang. Reza, sang ayah, dibiarkan meninggal di pembuangan di Afrika Selatan. Anak muda yang baru berumur 21 tahun itu, yang konon lembik hatinya, agak ketakutan ketika memasuki Teheran. Memang siapa dia sebenarnya waktu itu -- kecuali anak seorang prajurit tua yang cuma 16 tahun lamanya jadi raja? Iran sementara itu praktis di bawah kekuasaan Sekutu, terutama Inggeris. Tentara Iran sendiri, tempat bertopangnya kekuasaan Reza dulu, tak punya bobot lagi setelah kalah menghadapi serbuan Sekutu. Sementara itu di kalangan masyarakat tumbuh kekuatan-kekuatan politik yang tidak bersahabat dengan Shah yang dipasang kekuatan asing itu. Mereka bergabung dalam Front Nasional yang nasionalis dan Partai Tudeh yang komunis. Sekutu, terutama Inggeris dan AS, dengan segera awas. Mereka melihat kedua kekuatan politik itu sebagai ancaman bagi kepentingan Barat. Terutama yang menyangkut minyak. Maka Inggeris, dan kemudian AS, mulai bekerja sama dengan golongan militer Iran serta para pendukung Shah yang lain. Klimaksnya terjadi di tabun 1951. Shah waktu itu cuma kepala negara yang tak memerintah -- sesuai dengan konstitusi. Negara diatur oleh kabinet. Di tahun 1951 itu seorang tokoh nasionalis, Mossadegh, jadi perdana menteri. Dengan segera ia mengambil alih kepentingan Inggeris di bidang perminyakan. Nasionalisasi minyak Iran itu sudah tentu memberangkan Inggeris -- yang waktu itu masih terbiasa jadi negara besar yang menguasai pelbagai sudut dunia. Persekongkolan menjatuhkan Mossadegh pun disusun, di awal Agustus 1953. Saudara kembar Shah, Ashraf seorang wanita yang bersemangat, terbang ke Swiss untuk mengadakan pertemuan dengan kepala CIA Allen Dulles. Di saat yang sama agen-agen CIA masuk ke Iran buat mengatur suatu kup. Salah seorang operatornya ialah Kermit Roosevelt. Menurut cerita Fred Halliday, pengarang buku Iran Dictatorship and Development, Kermit yang cucu presiden Theodore Roosevelt ini membawa $ 10 juta, lalu mengadakan kontak dengan kalangan"hitam" di bagian penduduk miskin di selatan kota Teheran. Di sana hidup seorang tokoh penjahat yang berpengaruh, Shaaban "Bimogh" atau Shaaban Yang Tak Punya Otak. Tokoh inilah yang dengan dibayar mengerahkan demonstrasi mendukung Shah Iran. Di kalangan militer, rencana diatur antara Jenderal Fazlollah Zahedi dengan Kol. Norman Schwartzkopf, pejabat FBI. Lalu di pertengahan Agustus operasi pun berjalan. Shah mengirim Jerderal Nassiri (kemudian jadi ketua badan intel Iran AVAK yang ditakuti) ke hadapan Mossadegh untuk mengatakan bahwa sang Perdana Menteri dipecat. Mossadegh tentu saja menolak. Nassiri bahkan ditangkap. Shah setelah itu bersama isterinya, Soraya. mengasingkan diri ke luar negeri. Menurut Halliday, itu cuma pura-pura. Tiga hari kemudian Shaaban Yang Tak Punya Otak pun bergerak dengan para demonstrannya. Mereka berteriak, "Hidup Shah!". Dengan alasan menyambut suara rakyat ini, Jenderal Zahedi menggerakkan tank dan pasukannya. ossadegh dan para pengikutnya ditaan. Mossadegh kemudian ditahan di rumah sampai ia meninggal. Shah pun menang. Ia mulai mengukuhkan gengamannya kepada kekuasaan di Iran. Dan makin kukuh pula genggaman pertaliannya dengan Barat, terutama S. Investasi asing di Iran, menurut sebuah sumber, yang paling besar adalah ari Jepang (AS$ 800 juta, sementara Jerman Barat AS$ 220 juta, Inggeris AS$ 170 juta dan Perancis AS$ 150 juta). Namun AS agaknya yang paling unggul dari segi perdagangan senjata. Selama 5 tahun terakhir, Iran adalah langganan terbesar industri senjata AS. Jatuhnya Shah Iran sekarang, serta berkumandangnya suara "Anti-Amerika" di Iran yang dibawa Ayatullah Khomeini, tak ayal lagi mengguncangkan AS - dengan begitu banyak hal yang dipertaruhkannya di sana (lihat tabel di atas). Lebih dari kecemasan akan uang yang hilang, AS takut bila rahasia persenjataan mereka terbongkar oleh tangan-tangan yang tak bersahabat -- dan akhirnya jatuh ke Uni Soviet. Yang mendebarkan adalah pesawat tempur F-14. Pesawat tempur ini dianggap yang paling terkemuka di dunia. Ia dapat membawa missil Phoenix dan mampu menembak sebuah sasaran jauh dalam jarak 320 Km - sebelum pesawat F-14 itu terlihat oleh radar musuh. Uni Soviet diduga belum punya persenjataan sehebat ini. AS sendiri masih akan memakainya buat 5 sampai 10 tahun mendatang. Memang, selalu ada risiko bahwa persenjataan yang dijual kepada sebuah negara yang bersahabat bisa kemudian jatuh ke tangan lawan. Persahabatan bisa dengan mendadak berubah dalam politik internasional. Uni Soviet sendiri pernah mengalami sesuatu yang pahit ketika Presiden Mesir Anwar Sadat di tahun 1972 mengusir 20.000 personil militer Kremlin -- yang terpaksa meninggalkan peralatan mereka. Dan ketika Somalia yang dibantu persenjataan oleh Uni Soviet tiba-tiba berbalik gagang memihak AS, Kremlin kena pukul juga AS juga rugi: Ethiopia yang semula dibantu AS berbalik memihak Kremlin. Namun kerugian AS di Iran dibayang-bayangi kejadian tahun 1975: jatuhnya persenjataan ke tangan lawan secara mentah-mentah di Vietnam. Menangnya Vietnam Utara atas Vietnam Selatan waktu itu juga begitu cepat, hingga milyaran dollar senjata yang masih utuh terlepas dengan mudah ke tangan musuh. Persenjataan ini yang sekarang dipakai Vietnam dalam perang di Kamboja. Maka ketakutan yang terbit di kalangan Kongres dan pemerintah AS ialah bila hal serupa terjadi. "Kita tak perlu, juga keamanan kita tak akan mampu, menghadapi kejadian seperti Vietnam lagi," kata Senator William Proxmire, anggota Komite Pertahanan Senat AS. Dengan demikian, ketakutan bocornya rahasia persenjataan ditambah dengan ketakutan lain. Pemerintahan Iran yang baru nanti belum tentu, menunjukkan sikap bersahabat kepada negara-negara sahabat AS di Teluk Parsi . Bagaimana kalau Iran yang tak bersahabat itu -- dengan kekuatan militernya yang sudah terlanjur sedemikian rupa -- suatu ketika memandang Arab Saudi dan Kuwait dengan sikap bermusuhan? Washington, meskipun belum pulih dari sikap kedodorannya menghadapi krisis Iran, cepat bertindak. Ke Arab Saudi dikirimkan suatu skuadron pesawat F-15 yang telah lama dinanti-nanti oleh Raja Khalid. Arab Saudi kini praktis tinggal satu-satunya teman AS yang terkuat di Teluk yang amat penting ini. Apalagi persediaan minyak AS banyak tergantung dari hubungan baiknya dengan Riyadh. Ketika di tengah kekacauan dan pemogokan produksi minyak Iran yang 5 juta barrel tiap hari berhenti, Arab Saudi meningkatkan produksi minyaknya. Tak heran bila pekan lalu IEA (International Energ Agency) yang berkedudukan di Paris memperkirakan tak ada pengaruh nyata dari krisis Iran terhadap pengadaan minyak sampai Maret. Namun perubahan sikap mulai nampak dari Ryadh -- menurut penilaian kepentingan Washington. Arab Saudi ternyata tidak begitu gembira memandang hasil perundingan Camp David antara Mesir dengan Israel. Harapan AS bahwa Saudi yang moderat akan mendukung sikap Anwar Sadat ternyata tak terpenuhi. Bahkan antara Anwar Sadat dengan para penguasa Saudi, terutama dengan putera mahkota Pangeran Fahd, timbul kerenggangan. Arab Saudi pun kemudian nampak ikut dalam konferensi Bagdad, di antara negara-negara Arab yang menolak Camp David. Itu tak berarti Saudi akan melepaskan pertaliannya dengan AS. Kehadirannya di Bagdad juga tidak dimaksudkannya untuk ikut memencilkan Mesir yang didukung Gedung Putih. Berita tentang kemungkinan dibukanya hubungan diplomatik dengan Uni Soviet juga belum terbukti. Sikapnya dalam pertemuan OPEC Desember 1978, yang menyetujui kenaikan harga minyak sampai 14,5% menjelang akhir tahun 1979, juga mungkin karena harus menghadapi keadaan ekonomi internasional -- bukan buat memukul AS. Pertalian Arab Saudi dengan AS memang cukup kuat. Itu karena sikap Ryadh yang anti-komunis. Juga karena antara mereka ada saling ketergantungan di bidang minyak dan teknologinya, di sampin kepentingan investasi Arab yang kian bertambah di Barat. Lemahnya pertahanan Saudi dalam hal jumlah tentara juga menyebabkan Saudi butuh AS: kecilnya tentara perlu diimbangi dengan persenjataan yang modern. Namun kemungkinan perselisihan antara Ryadh dan Washington bukannya tak ada sama sekali. Yang pertama adalah masalah sikap terhadap Israel. Yang lain adalah masalah harga minyak, yang kini ditambah dengan terjadinya inflasi pada mata uang dollar. Menurut sebuah laporan dari Timur Tengah, jatuhnya nilai dollar dianggap "sengaja dibikin" oleh AS untuk mengurangi kekuatan cadangan devisa negeri-negeri Arab di bank luar negeri. Dan sumber lain kesalah-fahaman yang bisa terjadi dapat ditarik dari pengalaman Iran sejauh mana Washington sebenarnya tahu betul kenyataan di Teluk Parsi? Di akhir Desember 1977, Presiden Carter menyebut Iran sebagai "sebuah pulau stabilitas". Ia memuji Shah atas "rasa hormat, rasa kagum dan rasa cinta" yang ditunjukkan rakyat Iran kepada rajanya. Tapi di akhir 1978, apa yang ditunjukkan rakyat Iran justru sebaliknya. Carter kemudian menyalahkan ClA yang tak memberi informasi yang akurat tentang keadaan Iran. CIA, yang sudah banyak berkurang kekuatannya setelah Vietnam dan skandal Watergate, memang kebobolan. Tapi suara salah-menyalahkan yang kini seru di Washington justru kian menunjukkan kelemahan AS sendiri dalam mengikuti perkembangan. Dan bergembiralah Uni Soviet. Siaran-siaran resmi negeri itu kian jelas mendukung kaum oposisi yang dipimpin Ayatullah Khomeini yang anti-Amerika. Di Jerman Timur, seorang pemimpin Partai Tudeh yang hidup di pengasingan, sejak partai komunis itu dilarang di Iran, dengan tegas menyatakan dukungannya kepada rencana Republik Islam. Dan dari wilayah Uni Soviet yang berdekatan dengan Iran hari-hari ini gencar terdengar siaran anti-Amerika dalam bahasa Parsi. Apa boleh buat. Seperti dikatakan oleh majalah The Middle East terbitan Pebruari ini, Amerika Serikat telah kehilangan perdana menterinya dalam permainan catur di Timur Tengah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus