TELUK itu adalah teluk yang tegang. Kapal-kapal tangki besar
dengan hati-hati lalu-lalang tiap hari di sini. Di sisi
selatannya berjajar pantai negeri Kuwait, sepotong Arab Saudi,
negeri kecil Qatar, deretan wilayah Persatuan Emirat Arab dan
sebuah tanjung milik kesultanan Oman. Di teluk itu pula terletak
pulau Bahrain - sebuah Singapura di Timur Tengah. Dengan deretan
nama-nama itu (lihat peta), jadi jelas betapa suatu gangguan di
Teluk Parsi akan mengancam dunia yang haus minyak bumi.
Di sisi utara teluk itulah Iran terletak. Di bawah Shah, negeri
ini menunjukkan ambisinya untuk jadi polisi penjaga seantero
wilayah. Iran misalnya membantu kesultanan Oman ketika negeri
berpenduduk sekitar satu juta itu diancam pemberontakan kiri,
yang menyebut diri Front Rakyat Pembebasan Oman. Sebanyak 3000
tentara Iran dikirim ke sana.
Negeri tetangganya yang lebih kiri, Iraq, mula-mula menentang.
Iraq adalah penyokong Front Rakyat. Namun dengan segera baik
Iran maupun Oman sendiri melakukan langkah diplomatik.
Akhir Januari 1976, hubungan berlangsung antara Oman dengan Iraq
-- yang juga telah berbaikan dengan Iran. Hasilnya kehadiran
Iran di Oman tak akan diganggu.
Kini, dengan jatuhnya Shah, apa yang akan terjadi? Kesultanan
Oman merasa terancam. Para pemberontak di propinsi Dhofar, yang
terletak di barat daya, dibantu oleh Republik Rakyat Yemen
Selatan -- tetangganya. Antara Yemen Selatan dengan Oman
ketegangan tetap berlangsung. Agustus 1976, Sultan Oman, Qabus
Ibn Sa'id, meminta agar pasukan Iran tetap di negerinya.
Hal itu kini nampak mustahil. Jatuhnya Shah dan menangnya
Ayatullah Khomeini praktis akan menghentikan peranan penting
militer Iran. Dan dengan serta merta berkembanglah semacam teori
domino Arab di Teluk Persia sekarang.
Sebab jika Front Rakyat yang dibantu Yemen Selatan itu bererak
lagi, dan kesultanan Oman runtuh, maka Persatuan Emirat Arab
harus bersiap-siap menghadapi revolusi pula -- dan begitulah
seterusnya Bahrain, Kuwait ....
Dengan mudah sosok Uni Soviet nampak kian menakutkan di wilayah
ini, apalagi setelah naiknya pengaruh negeri besar komunis itu
di Ethiopia dan Yemen Selatan. Yang paling terpukul adalah
Amerika Serikat. Seperti dikatakan bekas Menteri Luar Negeri
Kissinger dalam wawancaranya dengan majalah Time pertengahan
Januari yang lalu, wilayah di sekitar Iran dulu "merupakan
rintangan bagi ekspansi Soviet." Beberapa negara di sana, Iran,
Pakistan, Arab Saudi, dulu berpolitik luar negeri yang jelas
anti-Soviet. Kini "ada bahaya", menurut Kissinger, bahwa sikap
itu bertambah samar-samar, dan wilayah itu pun menjadi "wilayah
ketidak-pastian yang besar."
Jaman memang berubah cepat, dan sering tak terduga. Setahun
yang lalu, siapa menduga bahwa Shah Iran akan rontok begitu
cepat? Ia telah berhasil memberikan kesan ke dunia luar
seakan-akan dia bagian yang berakar kuat dalam sejarah Iran. Ia
menghubungkan diri dengan raja-raja kuno, 2000 tahun yang lalu,
dengan suatu perayaan besar di reruntuhan Persepolis yang
dibangun Raja Cyrus sebelum Masehi. Ia bahkan memberi nama
putera mahkotanya "Cyrus Reza". Begitu rupa kesan yang mekar,
hingga menjelang kejatuhannya, orang Barat berbicara tentang
akan berakhirnya monarki yang sudah 20 abad.
Padahal, Shah Iran adalah produk kekalutan politik dan campur
tangan negara-negara besar di abad ke-20. Ayahnya seorang
perwira Iran yang dengan hantuan Inggeris bergerak merebut
kekuasaan dari dinasti Qajar.
Di tahun 1925, Reza menobatkan diri jadi Raja -- dan menyatakan
diri pendiri dinasti baru, dinasti Pahlevi. Di tahun 1941,
setelah ia mencoba bersikap tidak mau jadi boneka Inggeris dan
bermanis-manis dengan Hitler, ia dijatuhkan. Pasukan Inggeris
bersama Rusia masuk Iran. Kemudian negara-negara besar ini yang
menobatkan Shah yang sekarang. Reza, sang ayah, dibiarkan
meninggal di pembuangan di Afrika Selatan.
Anak muda yang baru berumur 21 tahun itu, yang konon lembik
hatinya, agak ketakutan ketika memasuki Teheran. Memang siapa
dia sebenarnya waktu itu -- kecuali anak seorang prajurit tua
yang cuma 16 tahun lamanya jadi raja? Iran sementara itu praktis
di bawah kekuasaan Sekutu, terutama Inggeris. Tentara Iran
sendiri, tempat bertopangnya kekuasaan Reza dulu, tak punya
bobot lagi setelah kalah menghadapi serbuan Sekutu. Sementara
itu di kalangan masyarakat tumbuh kekuatan-kekuatan politik yang
tidak bersahabat dengan Shah yang dipasang kekuatan asing itu.
Mereka bergabung dalam Front Nasional yang nasionalis dan Partai
Tudeh yang komunis.
Sekutu, terutama Inggeris dan AS, dengan segera awas. Mereka
melihat kedua kekuatan politik itu sebagai ancaman bagi
kepentingan Barat. Terutama yang menyangkut minyak. Maka
Inggeris, dan kemudian AS, mulai bekerja sama dengan golongan
militer Iran serta para pendukung Shah yang lain.
Klimaksnya terjadi di tabun 1951. Shah waktu itu cuma kepala
negara yang tak memerintah -- sesuai dengan konstitusi. Negara
diatur oleh kabinet. Di tahun 1951 itu seorang tokoh nasionalis,
Mossadegh, jadi perdana menteri. Dengan segera ia mengambil alih
kepentingan Inggeris di bidang perminyakan. Nasionalisasi minyak
Iran itu sudah tentu memberangkan Inggeris -- yang waktu itu
masih terbiasa jadi negara besar yang menguasai pelbagai sudut
dunia.
Persekongkolan menjatuhkan Mossadegh pun disusun, di awal
Agustus 1953. Saudara kembar Shah, Ashraf seorang wanita yang
bersemangat, terbang ke Swiss untuk mengadakan pertemuan dengan
kepala CIA Allen Dulles. Di saat yang sama agen-agen CIA masuk
ke Iran buat mengatur suatu kup.
Salah seorang operatornya ialah Kermit Roosevelt. Menurut cerita
Fred Halliday, pengarang buku Iran Dictatorship and Development,
Kermit yang cucu presiden Theodore Roosevelt ini membawa $ 10
juta, lalu mengadakan kontak dengan kalangan"hitam" di bagian
penduduk miskin di selatan kota Teheran. Di sana hidup seorang
tokoh penjahat yang berpengaruh, Shaaban "Bimogh" atau Shaaban
Yang Tak Punya Otak. Tokoh inilah yang dengan dibayar
mengerahkan demonstrasi mendukung Shah Iran.
Di kalangan militer, rencana diatur antara Jenderal Fazlollah
Zahedi dengan Kol. Norman Schwartzkopf, pejabat FBI. Lalu di
pertengahan Agustus operasi pun berjalan. Shah mengirim
Jerderal Nassiri (kemudian jadi ketua badan intel Iran AVAK
yang ditakuti) ke hadapan Mossadegh untuk mengatakan bahwa sang
Perdana Menteri dipecat. Mossadegh tentu saja menolak. Nassiri
bahkan ditangkap. Shah setelah itu bersama isterinya, Soraya.
mengasingkan diri ke luar negeri. Menurut Halliday, itu cuma
pura-pura.
Tiga hari kemudian Shaaban Yang Tak Punya Otak pun bergerak
dengan para demonstrannya. Mereka berteriak, "Hidup Shah!".
Dengan alasan menyambut suara rakyat ini, Jenderal Zahedi
menggerakkan tank dan pasukannya. ossadegh dan para pengikutnya
ditaan. Mossadegh kemudian ditahan di rumah sampai ia
meninggal. Shah pun menang. Ia mulai mengukuhkan gengamannya
kepada kekuasaan di Iran.
Dan makin kukuh pula genggaman pertaliannya dengan Barat,
terutama S. Investasi asing di Iran, menurut sebuah sumber,
yang paling besar adalah ari Jepang (AS$ 800 juta, sementara
Jerman Barat AS$ 220 juta, Inggeris AS$ 170 juta dan Perancis
AS$ 150 juta). Namun AS agaknya yang paling unggul dari segi
perdagangan senjata. Selama 5 tahun terakhir, Iran adalah
langganan terbesar industri senjata AS.
Jatuhnya Shah Iran sekarang, serta berkumandangnya suara
"Anti-Amerika" di Iran yang dibawa Ayatullah Khomeini, tak ayal
lagi mengguncangkan AS - dengan begitu banyak hal yang
dipertaruhkannya di sana (lihat tabel di atas).
Lebih dari kecemasan akan uang yang hilang, AS takut bila
rahasia persenjataan mereka terbongkar oleh tangan-tangan yang
tak bersahabat -- dan akhirnya jatuh ke Uni Soviet. Yang
mendebarkan adalah pesawat tempur F-14. Pesawat tempur ini
dianggap yang paling terkemuka di dunia. Ia dapat membawa missil
Phoenix dan mampu menembak sebuah sasaran jauh dalam jarak 320
Km - sebelum pesawat F-14 itu terlihat oleh radar musuh. Uni
Soviet diduga belum punya persenjataan sehebat ini. AS sendiri
masih akan memakainya buat 5 sampai 10 tahun mendatang.
Memang, selalu ada risiko bahwa persenjataan yang dijual kepada
sebuah negara yang bersahabat bisa kemudian jatuh ke tangan
lawan. Persahabatan bisa dengan mendadak berubah dalam politik
internasional. Uni Soviet sendiri pernah mengalami sesuatu yang
pahit ketika Presiden Mesir Anwar Sadat di tahun 1972 mengusir
20.000 personil militer Kremlin -- yang terpaksa meninggalkan
peralatan mereka. Dan ketika Somalia yang dibantu persenjataan
oleh Uni Soviet tiba-tiba berbalik gagang memihak AS, Kremlin
kena pukul juga AS juga rugi: Ethiopia yang semula dibantu AS
berbalik memihak Kremlin.
Namun kerugian AS di Iran dibayang-bayangi kejadian tahun 1975:
jatuhnya persenjataan ke tangan lawan secara mentah-mentah di
Vietnam. Menangnya Vietnam Utara atas Vietnam Selatan waktu itu
juga begitu cepat, hingga milyaran dollar senjata yang masih
utuh terlepas dengan mudah ke tangan musuh. Persenjataan ini
yang sekarang dipakai Vietnam dalam perang di Kamboja. Maka
ketakutan yang terbit di kalangan Kongres dan pemerintah AS
ialah bila hal serupa terjadi. "Kita tak perlu, juga keamanan
kita tak akan mampu, menghadapi kejadian seperti Vietnam lagi,"
kata Senator William Proxmire, anggota Komite Pertahanan Senat
AS.
Dengan demikian, ketakutan bocornya rahasia persenjataan
ditambah dengan ketakutan lain. Pemerintahan Iran yang baru
nanti belum tentu, menunjukkan sikap bersahabat kepada
negara-negara sahabat AS di Teluk Parsi . Bagaimana kalau Iran
yang tak bersahabat itu -- dengan kekuatan militernya yang sudah
terlanjur sedemikian rupa -- suatu ketika memandang Arab Saudi
dan Kuwait dengan sikap bermusuhan?
Washington, meskipun belum pulih dari sikap kedodorannya
menghadapi krisis Iran, cepat bertindak. Ke Arab Saudi
dikirimkan suatu skuadron pesawat F-15 yang telah lama
dinanti-nanti oleh Raja Khalid. Arab Saudi kini praktis tinggal
satu-satunya teman AS yang terkuat di Teluk yang amat penting
ini.
Apalagi persediaan minyak AS banyak tergantung dari hubungan
baiknya dengan Riyadh. Ketika di tengah kekacauan dan pemogokan
produksi minyak Iran yang 5 juta barrel tiap hari berhenti, Arab
Saudi meningkatkan produksi minyaknya. Tak heran bila pekan lalu
IEA (International Energ Agency) yang berkedudukan di Paris
memperkirakan tak ada pengaruh nyata dari krisis Iran terhadap
pengadaan minyak sampai Maret.
Namun perubahan sikap mulai nampak dari Ryadh -- menurut
penilaian kepentingan Washington. Arab Saudi ternyata tidak
begitu gembira memandang hasil perundingan Camp David antara
Mesir dengan Israel. Harapan AS bahwa Saudi yang moderat akan
mendukung sikap Anwar Sadat ternyata tak terpenuhi. Bahkan
antara Anwar Sadat dengan para penguasa Saudi, terutama dengan
putera mahkota Pangeran Fahd, timbul kerenggangan. Arab Saudi
pun kemudian nampak ikut dalam konferensi Bagdad, di antara
negara-negara Arab yang menolak Camp David.
Itu tak berarti Saudi akan melepaskan pertaliannya dengan AS.
Kehadirannya di Bagdad juga tidak dimaksudkannya untuk ikut
memencilkan Mesir yang didukung Gedung Putih. Berita tentang
kemungkinan dibukanya hubungan diplomatik dengan Uni Soviet juga
belum terbukti. Sikapnya dalam pertemuan OPEC Desember 1978,
yang menyetujui kenaikan harga minyak sampai 14,5% menjelang
akhir tahun 1979, juga mungkin karena harus menghadapi keadaan
ekonomi internasional -- bukan buat memukul AS.
Pertalian Arab Saudi dengan AS memang cukup kuat. Itu karena
sikap Ryadh yang anti-komunis. Juga karena antara mereka ada
saling ketergantungan di bidang minyak dan teknologinya, di
sampin kepentingan investasi Arab yang kian bertambah di
Barat. Lemahnya pertahanan Saudi dalam hal jumlah tentara juga
menyebabkan Saudi butuh AS: kecilnya tentara perlu diimbangi
dengan persenjataan yang modern. Namun kemungkinan perselisihan
antara Ryadh dan Washington bukannya tak ada sama sekali.
Yang pertama adalah masalah sikap terhadap Israel. Yang lain
adalah masalah harga minyak, yang kini ditambah dengan
terjadinya inflasi pada mata uang dollar. Menurut sebuah laporan
dari Timur Tengah, jatuhnya nilai dollar dianggap "sengaja
dibikin" oleh AS untuk mengurangi kekuatan cadangan devisa
negeri-negeri Arab di bank luar negeri. Dan sumber lain
kesalah-fahaman yang bisa terjadi dapat ditarik dari pengalaman
Iran sejauh mana Washington sebenarnya tahu betul kenyataan di
Teluk Parsi?
Di akhir Desember 1977, Presiden Carter menyebut Iran sebagai
"sebuah pulau stabilitas". Ia memuji Shah atas "rasa hormat,
rasa kagum dan rasa cinta" yang ditunjukkan rakyat Iran kepada
rajanya. Tapi di akhir 1978, apa yang ditunjukkan rakyat Iran
justru sebaliknya. Carter kemudian menyalahkan ClA yang tak
memberi informasi yang akurat tentang keadaan Iran. CIA, yang
sudah banyak berkurang kekuatannya setelah Vietnam dan skandal
Watergate, memang kebobolan. Tapi suara salah-menyalahkan yang
kini seru di Washington justru kian menunjukkan kelemahan AS
sendiri dalam mengikuti perkembangan.
Dan bergembiralah Uni Soviet. Siaran-siaran resmi negeri itu
kian jelas mendukung kaum oposisi yang dipimpin Ayatullah
Khomeini yang anti-Amerika. Di Jerman Timur, seorang pemimpin
Partai Tudeh yang hidup di pengasingan, sejak partai komunis itu
dilarang di Iran, dengan tegas menyatakan dukungannya kepada
rencana Republik Islam. Dan dari wilayah Uni Soviet yang
berdekatan dengan Iran hari-hari ini gencar terdengar siaran
anti-Amerika dalam bahasa Parsi.
Apa boleh buat. Seperti dikatakan oleh majalah The Middle East
terbitan Pebruari ini, Amerika Serikat telah kehilangan perdana
menterinya dalam permainan catur di Timur Tengah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini