Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Mau Bikin Seniman?

Seminar dalam rangka mewujudkan pembaharuan pendidikan tinggi seni rupa nasional, diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia Asri. (pdk)

10 Februari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH sejak lama ada pelajaran menggambar di TVRI oleh Tino Sidin, itu seniman yang selalu memakai baret hitam berkuncir. Pelajaran menggambar di sekolah, sejak Taman Kanak-kanak sampai Sekolah Lanjutan Atas, bukan hal asing. Jadi pendidikan kesenian memang bukan sesuatu yang baru di negeri ini. Tapi kalau kemudian ada sekolah khusus kesenian, apalagi kalau tingkatnya perguruan tinggi, ternyata menimbulkan beberapa soal juga. Di Yogya, 27 Januari sampai 1 Pebruari lalu, ada Seminar Seni Rupa 1978/1979, dalam rangka mewujudkan pembaharuan Pendidikan Tinggi Seni Rupa Nasional. Diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia Asri, dan mengundang pembicara dari Bandung dan Jakarta. Tak kurang dari Menteri P & K sendiri membuka seminar yang menelan biaya Rp 4,5 juta itu. "Selama ini pendidikan tinggi seni rupa tak berbeda jauh dengan sistim sanggar. Di situ ketrampilan lebih dipentingkan, terrnasuk ekspresi dalam karya. Padahal perguruan tinggi kesenian itu tingkatnya sama juga dengan universitas. Iari situ memang jadi perlu untuk pendidikan tinggi seni rupa tidak hanya mementingkan rasa. Tapi perlu adanya imbangan penalaran," kata Daoed Joesoef membuka seminar tersebut. Agaknya soal penalaran dan soal rasa itu jadi fokus perhatian --tidak saja dalam seminar itu, tapi juga di kalangan mereka yang berkecimpung dalam pendidikan kesenian. Dua hal tersebut pada umumnya diakui sama pentingnya. Hanya soal pelaksanaannya bagaimana, itu yang menimbulkan perdebatan. Achmad Sadali, pelukis dan dosen Seni Rupa ITB, mengatakan: "Bila yang ditempuh hanya bahasan teori semata, tidak didampingi oleh 'merasakan' di dalam kerja studio, akan menjadi sulit memahami keseniannya itu sendiri." Sadali menunjuk, bahwa yang penting guna menunjang pendidikan kesenian adalah "bagaimana seni rupa hidup dan dihidupi di luar sanggar dan lembaga pendidikan, di tempat pementasan dan museum, di pasar dan jalanan, di kota dan desa." Dengan lebih terbatas Wiyoso, dosen Seni Rupa ITB, IKIP Negeri Bandung dan Ketua Akademi Seni Rupa Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta, mengatakan: "Tercapainya cita-cita pendidikan seni rupa ialah apabila dimulai sejak sekolah dasar dan erus berkesinambungan." Wiyoso yang dalam seminar itu khusus menanggapi Sadali kurang lebih menginginkan adanya pengenalan keseriian sejak kecil, guna membentuk masyarakat yang apresiatif terhadap seni. Agaknya penekanan perhatian pada segi ilmiahnya itu, seperti yang ditunjukkan oleh Edhie Kartasubarna, Kepala Proyek Pengembangan Institut Kesenian Indonesia, salah satunya bersumber pada Tridharma Perguruan Tinggi pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Juga menurut Doddy Tisna Amidjaja, Dirjen Pendidikan Tinggi kepada TEMPO: "Sudah ada sekolah menengah kesenian. Karena itu yang perguruan tinggi akan lebih ditekankan pada aspek penelitiannya, aspek ilmiahnya." Malas Semua itu masih ide, masih gagasan. Masalahnya, apakah pendidikan kesenian bisa diperlakukan seperti itu -- dengan hanya menekankan segi ilmiahnya saja? Bagaimana bila seorang memang hanya berbakat bekerja menciptakan karya dengan kreatif, tapi tak bisa berbahasa lisan maupun tulisan untuk mempertanggungjawabkan apa yang dibuatnya? Adakah orang-orang ini harus terbuang dari pendidikan tinggi kesenian? Sidharta, dosen Seni Rupa ITB dan Kepala Biro Penelitian dan Pengembangan Pendidikan di LPKJ, punya kecenderungan menolak penekanan pada ilmiahnya saja. "Ada orang yang dilahirkan dengan kemampuan mengutarakan dengan tepat apa yang dimauinya dari diperbuatnya. Tapi ada pula yang hanya berbakat intuitif." Maksudnya dengan "berbakat intuitif" yang hanya mampu berkarya dengan baik, tanpa bisa menguraikan sebab-musabab kenapa karyanya jadi demikian. Keduanya memang harus diberi perhatian. Dan kenyataan yang dikemukakan oleh Soedarsono, Direktur Akademi Seni Tari Indonesia Yogyakarta menarik: "Untuk menjadi sarjana rata-rata anak didik saya malas baca buku. Tapi untuk menciptakan tari dan mempelajarinya mereka aktif." Memang kemudian menimbulkan pertanyaan: lalu apa gunanya pendidikan tinggi kesenian? Apa tidak cukup dengan sekolah menengahnya saja? Meski akademi kesenian sudah ada sejak 1950, tapi itu memang masih jadi pertanyaan yang belum terjawab. Kata Doddy: "Masih saya mintakan dalam waktu dekat ada seminar atau loka karya tentang pola pendidikan tinggi kesenian. Misalnya membicarakan sampaimana pendidikan tinggi kesenian, sampai mana pula pendidikan yang menengah. Dan bagaimana hubungan antara yang menengah dan tinggi itu. Juga harus dipikirkan hubungannya dengan IKIP. Mereka juga punya jurusan keguruan seni. Pokoknya masih banyak konsep yang harus diperjelas dahulu." Ini dikatakannya sehubungan akan diwujudkannya IKI. Sementara itu satu perbandingan yang jelas bisa dilihat di Yogyakarta. Di sana ada Sekolah Tinggi Seni Rupa. Ada juga Sekolah Seni Rupa Indonesia. Dalam soal yang berhubungan dengan teori, memang yang dari STSRI lebih mempunyai bekal. Misalnya tentang sejarah kesenian, teori komposisi, filsafat kesenian. Namun bukan berarti dalam soal karya, perbandingan itu pun berlaku. Mahasiswa STSRI yang datang dari sekolah menengah umum belum tentu bisa menang -- kalau tidak selalu kalah dalam hal karya dibanding dengan siswasiswa SSRI. Maka apa yang dikatakan Wiyoso dalam kertas kerjanya terasa lebih realistis daripada kertas kerja yang lain. Tulisnya: "Bagi saya takaran bobot kesenimanan itulah yang sebenarnya tidak ada sangkut-pautnya dengan pengalaman studi akademik atau tidak. Sebaliknya bobot kesarjanaan mungkin dituntut keterlibatannya dengan kegiatan di luar profesi kesenimanan." Namun tak urung Wiyoso menjawab: "Ingin menghasilkan seniman," ketika ditanya LPKJ sebetulnya mau menghasilkan apa. Barangkali letak kekacauan itu pada istilah "seniman". Sudjoko, dosen Seni Rupa ITB, pernah menyodorkan ide: bagaimana kalau istilah seniman itu dihilangkan saja, diganti dengan yang lebih jelas, lebih menunjuk pada profesi pelukis, pematung, penari, musikus dan sebagainya. Sulitnya, justru perkembangan kesenian kini makin membaur. Cabang-cabang kesenian makin saling mempengaruhi, dan seseorang tak terbatas lagi menggunakan hanya satu media ekspresi. Ambil saja nama Danarto. Dia ini dulu melukis, sekarang masih mengajar melukis dan masih sering ikut pameran, dia juga menulis cerita pendek, naskah drama dan baru saja menyutradarai satu pementasan drama. Barangkali juga karena pengertian "seniman" sampai kini tak jelas yang bagaimana. Apalagi kini ada satu lagi 'seniman' yang merupakan gelar atau predikat saja. Akademi Seni Karawitan Indonesia Solo memberikan gelar 'Seniman Karawitan'. "Itu cuma gelar, seperti dokter atau doktorandus. Kalau berbicara tentang prestasi kesenimanannya, toh, dokter yang baru lulus itu juga belum mempunyai prestasi di masyarakat," kata Sedyono Humardani, direktur ASKI. Yang kurang mendapat perhatian dalam seminar itu, tapi di luar cukup menjadi pemikiran banyak orang, ialah tentang pembagian antara pendidikan scni murni dan seni pakai dalam pendidikan seni rupa. Yang tidak begitu setuju pada pembagian itu menunjuk, bahwa kenyataannya mereka yang belajar pada jurusan melukis atau mematung (seni murni) kebanyakan akhirnya bekerja juga dalam bidang seni pakai. Mereka bekerja di biro reklame, di biro arsitek, di majalah dan sebagainya. Kenapa tidak disatukan saja? Lagipula pembagian itu akan membatasi kemampuan seseorang, sementara dia belum tahu mana sebetulnya yang paling cocok untuk dirinya, atau mana sebetulnya yang menjadi kebutuhan masyarakat. Kata Sidharta memberikan alasan perlunya penyatuan itu, karena penyidikan tak lain dan tak bukan hanyalah "memberikan dasar sejauh mungkin, memberikan orientasi seluas mungkin." Memang, pendidikan yang terbatas waktunya itu tentulah tak bisa dengan pasti mengarahkan orang mau jadi apa. Dalam masyarakat semua itu akan diuji lagi dan lebih nyata. Lingkungan Sendiri Agaknya, akademi kesenian kita hanyalah meniru apa yang sudah ada di Barat. Pada abad XVIII, di Eropa memang ada pembagian antara seni murni dan seni pakai. Sementara tradisi seni rupa kita tidaklah terbagi dalam dua jenis itu. Arca-arca, lukisan-lukisan, keramik, anyaman, ukiran semua itu indah dan sekaligus digunakan. Dan lagi, orientasi pendidikan seni rupa kita -- dan juga seni musik -- praktis Barat. Itu memang tak ada salahnya. Hanya terasa kurang memberikan alternatif. Kata Wiyoso "Pendidikan tinggi seni rupa sudah waktunya membuka diri. Konvensi-konvensi akademik jangan sampai menutup kemungkinan pendidikan berorientasi pada lingkungan budaya sendiri." Dengan bahasa Jim Supangkat, alumnus Seni Rupa ITB yang kini mengajar di LPKJ "Yang kita butuhkan bagaimana lulusan pendidikan tinggi itu bisa bekerja realistis. Bikin asbak, bikin patung kecil-kecil, bikin keramik untuk dipasarkan. Sehingga dia bisa hidup tanpa menggantungkan orang lain. Tentu saja yang lain, jurusan seni murni itu juga dibina terus. Ini 'kan sudah menjadi kenyataan. Apa kita mau menutup Balai Seni Rupa Jakarta, 'kan tidak." Si Jim itu mungkin memang agak ekstrim. Dia menghendaki supaya lulusan pendidikan seni rupa jangan lari ke lain bidang, misalnya jadi pemborong rumah. Juga dengan kemampuannya, agar dihasilkan barang-barang praktls yang juga punya nilai artistik. Itu gunanya, pendidikan seni rupa atau kesenian pada umumnya, bagi dia. Walhasil, pendidikan kesenian memang tidaklah harus menghasilkan seniman. Kesenimanan tak ada hubungannya dengan pengalaman studi akademik. Yang diperlukan sebagai hasil akademi kesenian adalah orang-orang yang kemudian mempunyai bekal pengertian-pengertian dasar kesenian, yang kemudian bisa menggerakkan dan mengembangkan kesenian yang sudah dan mungkin berkembang di sekitarnya. Orang itu pun perlu mempunyai kelapangan dada untuk memahami dan menghargai baik seni pakai maupun seni murni, atau juga seni yang dipelihara di museum-museum atau hanya dijajakan di pinggir jalan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus