Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Perempuan Pembangkang dari Fangshan

Presiden Taiwan Tsai Ing-wen menolak usul “satu negara dua sistem” dari Cina.

12 Januari 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Tsai Ing-wen di Taipei, Januari 2016./REUTERS/Pichi Chuang

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Presiden Taiwan Tsai Ing-wen mengawali pidato tahun barunya, Selasa dua pekan lalu, dengan topik yang sangat sensitif: hubungan Taiwan dengan Cina daratan. Presiden perempuan pertama Taiwan itu tahu betul bahwa Beijing ingin Taiwan bersatu dengan Cina dan bahkan bila perlu dengan cara kekerasan. Tsai menolaknya. “Cina harus menghormati kebebasan dan demokrasi 23 juta orang Taiwan,” katanya.

Pidato Tsai seakan-akan mengantisipasi pidato Presiden Cina Xi Jinping esoknya. Xi berpidato di Balai Agung Rakyat di Lapangan Tiananmen, Beijing, dalam peringatan 40 tahun “Pesan untuk Rekan Sebangsa di Taiwan”, pernyataan penting Cina mengenai Taiwan. Xi mengatakan tidak ada kekuatan yang dapat mengubah fakta bahwa Taiwan adalah bagian dari Cina. Xi meminta Taipei memulai pembicaraan tentang penyatuan serta mengadopsi “satu negara dua sistem” seperti Hong Kong dan Makau.

Taiwan dan Cina terpisah setelah perang sipil di negeri itu berakhir dengan kemenangan Partai Komunis Cina pimpinan Mao Zedong dan kekalahan partai Kuomintang pimpinan Chiang Kai-shek pada 1949. Kuomintang mundur ke Pulau Taiwan dan mendirikan pemerintah sendiri. Beijing melakukan pengeboman terakhir ke negara pulau itu pada 1 Januari 1979 dan mengirim pesan ajakan agar Taiwan bersatu kembali. Setelah itu, sebagian besar hubungan kedua pemerintah dipenuhi ketegangan.

Presiden Xi Jinping ingin masalah yang sudah berusia 70 tahun itu selesai dan tidak terus-menerus diwariskan dari satu pemerintah ke pemerintah lain. Dalam pidatonya, Xi menyatakan tidak akan menyerang sesama orang Cina dan berusaha keras melakukan penyatuan dengan damai. Tapi, dia menambahkan, Beijing tidak berjanji meninggalkan penggunaan kekerasan dan mencadangkan pilihan lain untuk mencegah kemerdekaan Taiwan.

Sikap Xi itu menuai reaksi keras Taiwan. Beberapa jam kemudian, Presiden Tsai menggelar jumpa pers dan secara terbuka menolak usul serta ancaman Beijing. “Saya harus menegaskan di sini bahwa Taiwan tidak akan pernah menerima ’satu negara dua sistem’ dan pendapat mayoritas di Taiwan pun menentangnya,” ujarnya. Ihwal penyatuan kedua negara, dia melanjutkan, hanya akan melalui pembicaraan tingkat pemerintah.


Apa yang menjadi kekhawatiran Beijing menjadi kenyataan. Saat dilantik pada 20 Mei 2016, Tsai tidak menyebutkan prinsip “satu Cina” dalam pidatonya. Ia hanya menyatakan menghormati “pengakuan dan pengertian bersama” yang dicapai kedua pihak dalam pertemuan 1992. Tsai tidak menyinggung secara eksplisit konsep bahwa Taiwan adalah bagian dari Cina dan justru menyerukan agar Taipei dan Beijing “mengesampingkan beban sejarah serta terlibat dalam dialog positif untuk kepentingan rakyat di kedua sisi”.


Reaksi spontan dan menantang politikus Partai Demokrat Progresif itu tak sepenuhnya mengejutkan mengingat hubungan kedua negara tidak hangat sejak ia menjadi Presiden Taiwan pada 2016. Partainya memang mendukung kemerdekaan Taiwan dari Cina dan ia punya rekam jejak cukup panjang soal sikapnya yang ingin Taiwan tidak di bawah kendali Negeri Tirai Bambu.

TSAI-Ing wen lahir di Kota Taipei, 31 Agustus 1956, tapi asal-muasal keluarganya dari Kota Praja Fangshan, Pingtung, di Taiwan selatan. Menurut situs kepresidenan Taiwan, ia besar di sebuah toko reparasi mobil yang dijalankan orang tuanya. Tsai mendapat gelar sarjana hukum dari National Taiwan University di Taipei pada 1978. Dia kemudian meraih gelar master hukum dari Cornell University, Amerika Serikat, pada 1980 dan PhD bidang hukum dari London School of Economics, Inggris, pada 1984.

Tsai terlibat dalam politik pada awal 1990-an, ketika dia ditunjuk sebagai penasihat kebijakan perdagangan dalam pemerintah Presiden Lee Teng-hui, politikus Kuomintang. Saat Chen Shui-bian dari Partai Demokrat Progresif (DPP) menjadi Presiden Taiwan pada 2000-2002, Tsai mendapat tugas sebagai Ketua Dewan Urusan Daratan. Dewan ini bertanggung jawab atas hubungan Taiwan-Cina dan menghadapi tantangan penting karena Chen kerap bersitegang dengan Cina lantaran membela ide kemerdekaan Taiwan.

Tsai bergabung dengan DPP pada 2004 dan terpilih sebagai anggota badan legislatif nasional Taiwan. Dia mundur dari kursi parlemen pada awal 2006 saat diangkat menjadi wakil perdana menteri. Setahun kemudian, ketika terpilih perdana menteri baru, Tsai mundur dan kembali ke partai. Pada 2008, Tsai terpilih sebagai perempuan pertama yang memimpin partai tersebut.

Pada Mei 2010, Tsai membuat pernyataan yang membuat Beijing gusar. Dia menyatakan Republik Rakyat Cina adalah pemerintah di pengasingan yang mengendalikan Taiwan, tempat otoritarianisme dan “kesadaran Cina” mendominasi pemikiran, budaya, serta bahasa Taiwan selama enam dekade terakhir. Pernyataan itu diprotes Presiden Ma Ying-jeou, yang meminta dia menarik pernyataannya. Ma adalah politikus Kuomintang yang dekat dengan Beijing.

Tsai maju sebagai calon presiden pada Pemilihan Umum 2011. Sikapnya mengenai kemerdekaan Taiwan terlihat pada masa kampanye. Dalam sebuah kampanye, ia menyatakan ketidaksetujuannya atas penggunaan “Konsensus 1992” sebagai dasar negosiasi dalam penyelesaian masalah kedua negara.

Konsensus 1992 merupakan hasil pertemuan antara perwakilan tidak resmi Beijing pada masa pemerintahan Yang Shangkun (1988-1993) dan Taipei ketika dipimpin presiden dari Kuomintang, Lee Teng-hui (1988-2000). Pertemuan itu menghasilkan pemahaman bahwa hanya ada “satu Cina”, tapi setiap pihak akan memiliki tafsir sendiri atas arti prinsip tersebut. Tsai mengklaim tidak ada konsensus seperti itu “karena mayoritas masyarakat Taiwan tidak serta-merta setuju” terhadap kesepakatan tersebut.

Pada pemilihan presiden 2011, Tsai kalah melawan inkumben Ma Ying-jeou. Tsai lantas mundur dari jabatan Ketua DPP. Namun salah urus dan kasus korupsi yang mendera periode kedua pemerintahan Ma memberikan peluang besar kepada kandidat dari DPP dalam pemilihan presiden 2016. Tsai kembali maju sebagai calon presiden dan menghadapi kandidat dari Kuomintang, Eric Chu.

Kali ini Tsai menang dan menjadi presiden perempuan pertama Taiwan. Dia juga menjadi orang kedua yang bukan dari Kuomintang yang memenangi kursi kepresidenan. Presiden Taiwan pertama dari DPP adalah Chen Shui-bian (2000-2008). Terpilihnya Tsai, seperti halnya Chen Shui-bian, merisaukan Beijing karena DPP dikenal sebagai pendukung kemerdekaan Taiwan.

Apa yang menjadi kekhawatiran Beijing menjadi kenyataan. Saat dilantik pada 20 Mei 2016, Tsai tidak menyebutkan prinsip “satu Cina” dalam pidatonya. Ia hanya menyatakan menghormati “pengakuan dan pengertian bersama” yang dicapai kedua pihak dalam pertemuan 1992. Tsai tidak menyinggung secara eksplisit konsep bahwa Taiwan adalah bagian dari Cina dan justru menyerukan agar Taipei dan Beijing “mengesampingkan beban sejarah serta terlibat dalam dialog positif untuk kepentingan rakyat di kedua sisi”.

Cina tak puas dengan sikap Tsai. Ia juga diserang secara personal melalui sebuah artikel karena statusnya yang masih lajang. Artikel yang mengkritik Tsai itu sempat diterbitkan kantor berita resmi Cina, Xinhua, meski akhirnya dihapus. Tak lama kemudian, Beijing memutus kontak dengan pemerintah baru di Taipei, meningkatkan latihan militer di selat yang memisahkan dua daerah, dan berupaya meningkatkan isolasi diplomatik terhadap Taiwan. Beijing mengancam akan menyerang jika Taiwan mengumumkan kemerdekaan secara formal atau menunda pembicaraan tentang unifikasi.

Sejak Tsai menjadi presiden tiga tahun lalu, pemerintah Cina dan Taiwan terlibat dalam perang retorika.  Setelah DPP kalah oleh Kuomintang dalam pemilihan umum lokal 12 November 2018, Tsai mundur dari jabatan ketua partai. Ma Xiaoguang, juru bicara Kantor Urusan Taiwan pemerintah Cina, menyatakan hasil pemilu itu mencerminkan adanya keinginan hubungan yang lebih baik di antara kedua pemerintah.

Tekanan terhadap Tsai juga datang dari dalam. Dua tokoh DPP memintanya tidak maju pada pemilihan presiden 2020. Namun sikap Tsai, yang menolak tawaran Beijing, mendapat dukungan publik. Hasil jajak pendapat oleh lembaga riset Cross-Strait Policy Association di Taipei menunjukkan lebih dari 80 persen responden orang Taiwan menolak model “satu negara dua sistem”.

ABDUL MANAN (REUTERS, SOUTH CHINA MORNING POST, NBC NEWS, TAIPEI TIMES)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Abdul Manan

Abdul Manan

Meliput isu-isu internasional. Meraih Penghargaan Karya Jurnalistik 2009 Dewan Pers-UNESCO kategori Kebebasan Pers, lalu Anugerah Swara Sarasvati Award 2010, mengikuti Kassel Summer School 2010 di Jerman dan International Visitor Leadership Program (IVLP) Amerika Serikat 2015. Lulusan jurnalisme dari kampus Stikosa-AWS Surabaya ini menjabat Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Indonesia 2017-2021.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus