DENGAN dua tongkat yang menyangga tubuhnya yang kurus, Mario da Costa berjalan tertatih-tatih melintasi kota. Matahari pagi baru saja memancarkan semburat merah dari balik laut Teluk Ombai yang mengkilap seperti mangkuk minyak raksasa di tepian Kota Dili. Hawa pagi membuat Da Costa tiba-tiba dipenuhi semangat hidup. Ia menolak bantuan beberapa orang yang iba melihat kakinya yang buntung. ”Mobil milisi Aitarak melindas kaki saya,” ujarnya.
Pria berusia 35 tahun ini akhirnya tiba di tempat pemungutan suara Escola Santo Paulus. Di sana, ia memberikan suara dalam pemilu pertama Timor Loro Sa’e, yang berlangsung Kamis pekan silam. Bersama Da Costa, ribuan warga Timor Loro Sa’e di Dili ataupun di distrik-distrik lain memberikan suara mereka di 248 tempat pemungutan suara (TPS) yang tersebar di seluruh pulau.
Bagi rakyat di negeri kecil itu, pesta demokrasi pertama ini memiliki arti historis yang penting. Lepas dari Indonesia pada 30 Agustus 1999, mereka akhirnya bisa melaksanakan apa yang sudah menjadi suara hati hampir seluruh masyarakat Timor Loro Sa’e: menjadi negara merdeka. Sebuah referendum yang diprakarsai Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ketika itu mengantarkan Timor Loro Sa’e menjadi sebuah masyarakat merdeka—hanya 22 persen suara (94 orang) yang memilih opsi otonomi khusus yang ditawarkan Jakarta.
Maka, pemilu pekan silam tidak saja menegaskan kembali berakhirnya pendudukan Indonesia di Timor Timur (sebelum menjadi Timor Loro Sa’e), tapi juga mewujudkan elemen-elemen demokrasi yang menjadi bagian dari hakikat sebuah negara merdeka: pemilu ini akan melahirkan Dewan Konstituante, yang akan menentukan arah, bentuk, dan kebijakan negeri ini di masa depan. Dan tentu saja seorang pemimpin—boleh jadi dalam wujud seorang presiden.
Presiden? Betul sekali. Kendati Dewan Konstituante belum lagi terbentuk—ataupun merumuskan sistem pemerintahan bekas koloni Portugis ini—Xanana Gusmao, mantan pemimpin gerilyawan Fretilin, sudah digadang-gadang rakyat di seluruh negeri untuk menjadi presiden (lihat wawancara dengan Xanana Gusmao). Pemimpin Timor Loro Sa’e yang sedang sibuk menekuni fotografi itu tidak cuma mencatatkan sejarah perjuangan panjang di penjara Indonesia atau hutan-hutan pegunungan tempat ia bergerilya. Kembali ke tanah kelahirannya, ia juga mendulang popularitas melalui cara hidup yang tak banyak berjarak dengan orang-orang kebanyakan.
Rumahnya, yang terletak di sebuah gang di Jalan Audian, Dili, jauh dari kemewahan fisik, bahkan terkesan ”berantakan”. Pintu pagarnya terbuat dari terpal plastik berwarna biru langit. Setiap tamu harus menyibakkan terpal plastik itu sebelum melangkah ke halaman rumah berukuran 10 x 8 meter tersebut. Perabot rumahnya tak jauh beda dengan rumah para tetangga. Keistimewaaan rumah Xanana barangkali terletak pada parit selebar 75 sentimeter yang membelah gang selebar 3 meter—jalan masuk sepanjang 150 m menuju kediaman calon presiden tersebut. Keistimewaan lain adalah beberapa penjaga bersenjata yang selalu mengitari rumah tersebut.
Toh, sepanjang pekan pemilu, rumah sederhana yang pagarnya dililit kawat berduri itu menjadi pusat perhatian ratusan wartawan luar negeri yang memenuhi Dili. Menjelang dan selama hari pemilihan, para wartawan juga bisa menyaksikan Xanana memberikan suaranya dalam pemilu pertama yang masih diwarnai kekurangan di sana-sini itu. Dari sekitar 425 ribu rakyat yang memiliki hak suara, baru 409 ribu yang telah tercatat dalam daftar pemilih. Sekitar 16 ribu rakyat kehilangan kesempatan memberikan suara. ”Saya sudah antre satu jam, tapi tidak bisa ikut memilih,” keluh Aleida Sarmento, seorang ibu di TPS Lapangan Demokrasi, Dili.
Toh, secara umum, ”pesta rakyat” yang menelan dana US$ 2 juta (sekitar Rp 18 miliar pada kurs Rp 9.000) ini bisa dibilang berhasil. Komisi Pemilihan Independen mencatat tingkat partisipasi rakyat mencapai 93 persen. Komisi ini dibentuk oleh UNTAET—Pemerintahan Transisi PBB di Timor Loro Sa’e—untuk melaksanakan pemilu. Sedangkan keamanan selama pemilu berada di bawah pengawasan sekitar 1.500 civpol (polisi PBB), 1.500 polisia (polisi Timor Loro Sa’e), dan 8.300 anggota Pasukan Perdamaian PBB.
Kehadiran 819 pemantau dari 49 negara juga turut meramaikan peristiwa yang menentukan masa depan bangsa ini, karena hasil pemilu akan menentukan komposisi Dewan Konstituante Timor Loro Sa’e. Dewan yang beranggotakan 88 orang ini terdiri atas 75 wakil dari 16 partai politik. Kelompok independen (mereka yang tak punya partai tapi boleh men-calonkan diri) serta semua distrik mendapat jatah 13 kursi. Hasil pemilu akan diumumkan pada 10 September, disusul peresmian Dewan Konstituante beberapa hari kemudian.
Dewan ini mengemban tugas yang amat penting. Selama 90 hari, mereka akan menyusun Undang-Undang Dasar Timor Loro Sa’e. Dari sini, bentuk negara baru itu akan terlihat dengan jelas. Lalu, apa tugas dewan ini jika perangkat-perangkat dasar negara itu sudah jadi? Para pemimpin partai politik cenderung langsung mengubah Dewan Konstituante menjadi parlemen. Soalnya, menyelenggarakan pemilu susulan guna membentuk parlemen bukanlah pekerjaan mudah. ”Bagi saya, lebih baik kalau Dewan Konstituante hasil pemilu ini kelak menjadi parlemen,” kata Xanana Gusmao.
Salah satu isu menarik yang dibahas para elite politik setempat pada pekan-pekan ini adalah sistem pemerintahan yang akan diterapkan di Timor Loro Sa’e. Pilihannya? Sistem presidensial, tempat presiden akan menjadi kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, atau sistem semipresidensial, yang menempatkan presiden sebagai kepala negara simbolis saja. Sementara itu, pemerintahan sehari-hari akan dipegang oleh seorang perdana menteri.
Apa pun bentuk pemerintahan yang di-putuskan nanti, semua kalangan di Timor Loro Sa’e seolah sepakat bahwa Kay Rala Xanana Gusmao akan menduduki kursi pemimpin. Ia dianggap sebagai profil pemimpin yang kuat, yang bisa memandu negara muda itu melewati tahap-tahap awal yang kritis. Beberapa partai besar (lihat tabel Tiga Besar yang Punya Peluang) juga telah merencanakan agendanya sendiri. ”Fretilin dan PSD ingin mendapat kursi perdana menteri,” kata Sekretaris Jenderal Partido Democratico, Mariano Sabuno Lopes.
Pekerjaan rumah lain yang mendesak setelah pemilu adalah pembentukan kabinet. Selama ini, kabinet yang menjalankan roda pemerintahan di Timor Loro Sa’e sehari-hari dikoordinasikan oleh UNTAET, terdiri dari lima menteri asal Timor Loro Sa’e dan empat menteri asing dari perwakilan UNTAET. Kabinet transisi akan terbentuk pada September ini. Kepada TEMPO, Xanana menegaskan bahwa kabinet baru nanti semuanya terdiri dari orang Timor Loro Sa’e. Dalam melaksanakan tugasnya, mereka tetap bertanggung jawab kepada UNTAET hingga Timor Loro Sa’e lepas dari pengawasan PBB.
Lepasnya pengawasan PBB akan menjadi tera yang mengesahkan terbentuknya negara Timor Loro Sa’e yang merdeka secara de facto ataupun de jure. Tapi, sebelum melangkah ke arah itu, Timor Loro Sa’e harus menghadapi sejumlah realitas yang memerlukan kepala dingin dan tangan yang terampil: dari perebutan jabatan oleh partai-partai politik, problem ekonomi dan pengangguran, hingga ancaman milisi di Timor Barat
Xanana Gusmao dan para pemimpin politik di negeri tampaknya tak akan punya banyak waktu untuk berleha-leha selepas pemilu. Apalagi, ribuan rakyat Timor Loro Sa’e di seluruh penjuru pulau bukan hanya memberikan suaranya pada Kamis silam, tapi juga kepercayaan. Seperti yang dilakukan Mario da Costa, laki-laki berkaki buntung itu. Kepada TEMPO, ia mengatakan percaya bahwa para pemimpinnya akan memberi perhatian kepada orang-orang kecil seperti dirinya. ”Asalkan kita bisa makan, itu sudah cukup,” katanya
Setiyardi (Timor Loro Sa’e)
Tiga Besar yang Punya Peluang
Frente Revolucionara do Timor Leste Independente (Fretilin)
Berdiri: Mei 1974
Ketua: Lu Olo (57 tahun)
Anggota: 380 ribu orang
Ideologi cenderung kiri dan sejak dulu menganut haluan keras.
Punya pasukan perang Falintil dengan 5.000 tentara.
Memproklamasikan kemerdekaan Timor Loro Sa’e pada 28 November 1975. Sejak itu, partai ini menganggap Timor Loro Sa’e negara yang merdeka dan berdaulat.
Partido Democratico (PD)
Berdiri: Januari 2001
Fernando Araujo (40 tahun)
Ideologi demokratik.
Mengutamakan jalan diplomasi dalam berpolitik.
Mengakui persamaan hak antara semua komponen masyarakat—termasuk mereka yang pernah prointegrasi.
Anggota terbesar adalah pelajar dan mahasiswa Timor Loro Sa’e di dalam ataupun di luar negeri.
Sekitar 80 persen dari bekas pengurus CNRT (Dewan Nasional Rakyat Timor Leste) di tingkat sub-distrik saat ini menjadi pengurus PD di tingkat akar rumput.
Partido Social Democrata (PSD)
Berdiri: September 2000
Ketua: Mario Viegas Carrascalao (64 tahun)
Anggota: 150 ribu orang
Ideologi sosial demokratik dan berhaluan moderat
Yakin akan memenangi 30 kursi dalam Dewan Konstituante.
Berniat memperjuangkan ”persatuan nasional” dari semua kekuatan di Timor Loro Sa’e
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini