Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Pemburu Lebih Kejam dari Harimau

Harimau sumatra di ambang kepunahan, menyusul harimau bali dan jawa, yang lebih dulu habis. Perburuan liar penyebabnya.

2 September 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RAJA hutan itu mengendapendap mendekati santapannya, seekor babi hutan. Sekali terkam, babi yang pasrah itu tak berkutik dalam terkamannya. Ternyata, sang babi cuma umpan, kucing besar ini terjerat kawat baja persis di kakinya. Kawat langsung tertarik ke atas, harimau pun tergantung di udara. Pada tengah hari, setelah lebih dari delapan jam menunggu, para pemburu harimau sumatra itu mendekati tangkapannya yang mulai lemas tak berdaya. Sepucuk senapan diacungkan ke tengkuk sang raja hutan. Dor! Pelor menembus tengkuk, dan satu lagi hewan langka yang dilindungi undang-undang itu mati. Drama perburuan harimau sumatra (Panthera tigris sumatrae) terus berlangsung. Terakhir kali terjadi di Kotabaru, Kabupaten Kuantan Sengingi, Riau, pada Agustus 2001. Di sana seekor harimau terjerat ditemukan staf lapangan World Wide Fund for Nature (WWF Indonesia) dan PHKA (Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam). Data yang dikumpulkan WWF Indonesia pada 1998 menunjukkan bahwa selama dua tahun terakhir terbunuh 66 ekor harimau. Di Sumatra Barat terbunuh 9 ekor, di Jambi 5 ekor, di Riau 13 ekor, di Bengkulu 9 ekor, dan yang terbanyak di Lampung, 30 ekor. Populasi binatang langka ini, menurut data yang ada di PHKA pada 1993, diperkirakan maksimal 500 ekor dan minimal tinggal 400 ekor. Harimau ini tersebar di tujuh kawasan di Sumatra, yaitu Taman Nasional Gunung Leuser, Kerinciseblat, Berbak, Bukitbarisan Selatan, Waykambas, Cagar Alam Kerumutan, dan Cagar Alam Rimbang. "Kalau percepatan pembunuhannya seperti ini, 10-15 tahun ke depan harimau sumatra bisa punah," kata Chairul Saleh, staf spesies senior WWF Indonesia. Akankah harimau sumatra menyusul saudaranya, harimau bali, yang telah punah sekitar 1940-an, dan harimau jawa, yang habis tahun 1980-an? Sangat mungkin. Dan itu tragedi besar untuk pelestarian hewan langka. Soalnya, Indonesia memiliki tiga dari delapan subspesies binatang langka yang ada di dunia ini. Harimau yang tersisa, selain harimau sumatra, adalah harimau Siberia, harimau Cina Selatan, harimau Cina, dan harimau India. Sedangkan harimau Kaspia sudah punah seperti harimau jawa dan harimau bali. Hewan langka di Sumatra itu diburu lantaran tulangnya sangat mahal, sebagai bahan dasar obat-obatan tradisional Cina. Pada periode 1970 hingga 1993, Korea Selatan mengimpor 3.994 kilogram tulang harimau dari Indonesia. Pada 1984, Indonesia diketahui mengekspor tulang harimau 100 kilogram ke Taiwan. Dengan jumlah itu, Indonesia merupakan negara pengekspor tulang harimau terbesar di dunia dan menguasai 44,5 persen kebutuhan tulang harimau dunia untuk obat-obatan tradisional. Ancaman juga datang dari dalam negeri. Ada banyak orang yang percaya bahwa tulang layang—tulang harimau yang tidak menyatu dengan tulang lainnya—dianggap bisa membuat orang kebal dan menambah kewibawaan. Potongan kulit dahi harimau dipercaya memberi pamor bagi pembawanya. Taring, kumis, dan kuku harimau juga dianggap mempunyai pengaruh serupa. Kulit harimau lembaran atau berupa offset—berbentuk tubuh harimau utuh—sebagai hiasan juga dicari orang. Satu offset harimau ditawarkan di Plaza Gajah Mada, Jakarta, dengan harga sekitar Rp 25 juta. Sebuah kuku harimau sumatra yang diikat dengan emas sebagai liontin, yang dijual di toko-toko emas di Jambi, Pekanbaru, dan Medan, berharga Rp 450 ribu. Kulit Harimau masih basah—belum diapa-apakan—plus kepalanya dihargai sekitar Rp 8 juta. Semuanya ditawarkan terbuka, bahkan ada yang dimuat di iklan baris surat kabar! Maka, tak aneh jika nafsu memburu barang mahal itu kian gencar. Para pemburu biasanya orang setempat, atau pendatang dari kota besar seperti Jakarta. Satu kelompok biasanya terdiri dari tiga atau empat orang. Kelompok ini berpindah-pindah. Di satu daerah biasanya mereka menetap dua hingga tiga minggu. Di tempat itu mereka memasang jerat. "Sedikitnya di satu kawasan dipasang 20 jerat," kata seorang bekas pemburu yang ditemui TEMPO di Pekanbaru. Hasil buruan mereka dijual ke para penampung yang ada di desa atau kecamatan. Lalu dijual lagi ke pedagang tingkat provinsi, untuk kemudian dioper ke Jakarta atau ke luar negeri. Undang-undang yang melarang perburuan liar ini sudah ada, tapi siapa yang mengawasi pasukan bersenjata yang mengendap-enpap di hutan sana? Ardi Bramantyo, Jupernalis (Riau)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus