DARI balik jendela sebuah rumah di Ramallah, tampak peluru kendali (rudal) itu meluncur secepat kilat. Leila Daas, 10 tahun, terkesiap. Gadis kecil warga negara Amerika Serikat keturunan Palestina ini menyaksikan langsung dari jendela kamar tidurnya sebuah rudal melabrak jendela persis di bawah apartemen keluarga ayahnya. "Saya sangat ketakutan," ujar Leila. Ia tak pernah mengira bahwa kunjungan pertamanya ke tanah leluhur Ramallah bakal disambut dengan ledakan rudal yang meluncur dari helikopter Apache Israel, Senin pekan lalu.
Ayahnya, Abdul Daas, 40 tahun, memiliki jaringan restoran di Washington. Menurut Daas, anggota Senat dan Kongres AS gemar berkunjung dan menikmati menu makan malam di salah satu restorannya di Washington. Tapi tentu saja yang membuat anggota Senat dan Kongres AS berang bukan urusan perut, melainkan, "Kami sangat terganggu ada penduduk sipil, termasuk 20 warga negara Amerika, di bangunan yang diserang," ujar Richard L. Boucher, juru bicara Departemen Luar Negeri AS.
Keprihatinan pemerintah AS memang hanya sebatas itu. Bahwa yang menjadi sasaran serangan Israel adalah tokoh garis keras Palestina, Mustafa Zubari, itu soal lain. Zubari atau lebih dikenal dengan nama Abu Ali Mustafa tewas seketika itu juga akibat serangan tersebut. Zubari, 60 tahun, adalah Sekretaris Jenderal Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina (PFLP) dan salah seorang pemimpin puncak PLO. Militer Israel, yang menjulukinya "sang ahli bom", menuduh Zubari sebagai dalang aksi bom bunuh diri. Tak aneh jika juru bicara pemerintah Israel, Raanan Gissin, menyatakan bahwa keputusan Israel menghantam Zubari adalah tindakan mem-bela diri. Pernyataan itu klop dengan kebijakan keras pemerintahan Ariel Sharon meng-hadapi Palestina.
Pembelaan Gissin bukannya tanpa alasan. Pemerintah Otoritas Palestina dan imigran Palestina di AS kini getol mempersoalkan mesin perang buatan AS yang digunakan oleh Israel untuk menyerbu wilayah Palestina. Undang-Undang Kontrol Ekspor Senjata hanya mengizinkan penggunaan senjata buatan AS untuk mempertahankan diri, bukan untuk agresi. Sementara itu, Israel malah menggunakan pesawat tempur F-16, helikopter, rudal, dan tank untuk menduduki wilayah Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza pekan lalu.
Serangan Israel ini adalah yang kedua kalinya dalam tahun ini. Maret silam, Israel menduduki dan menggempur markas polisi Palestina dan pasukan pengawal Yasser Arafat dengan menggunakan mesin perang AS. Saat itu, Menteri Luar Negeri Colin Powell hanya berharap Israel tak lagi menggunakan pesawat F-16 untuk menyerang Palestina. Tapi, ketika Israel mengulanginya, Powell diam seribu basa. Sikap lunak Washington dianggap sebagai lampu hijau bagi Israel untuk menyerang Palestina. Jadi, pantas Palestina meradang. "Amerika Serikat bersekutu dengan Israel melakukan agresi terhadap Palestina," kata Hasan Asfour, salah seorang menteri Palestina.
Pembelaan juga keluar dari mulut Wakil Presiden Dick Cheney pada awal Agustus silam. "Israel memiliki alasan pembenar membunuh aktivis garis keras Palestina untuk melindungi diri mereka," kata Cheney. Memang Gedung Putih segera mengoreksi pernyataan Cheney, tapi analis politik menilai Presiden Bush dan Menteri Colin Powell gamang menangani isu Israel-Palestina.
Semangat AS melindungi Israel sangat kontras ketika AS menghadapi Irak, Iran, dan Libya. AS menggunakan pengaruhnya di Dewan Keamanan PBB untuk melakukan aksi militer atau sanksi ekonomi terhadap tiga negara itu. Tapi, demi Israel, AS memblokir konflik Israel-Palestina dari agenda PBB. Sejak 1972, AS telah memveto 35 resolusi tentang konflik Arab-Israel untuk menghukum Israel, dan 23 di antaranya resolusi tentang isu Israel-Palestina. Semua veto itu demi melindungi Israel dari tindakan Dewan Keamanan PBB dan sekaligus menjauhkan konflik Israel-Palestina dari PBB.
Bak wasit, AS menggunakan standar ganda dalam menghadapi Palestina. Itulah sebabnya AS getol memimpin perjanjian damai Israel-Palestina. Celakanya, AS ogah menjaga implementasi hasil perjanjian. Tak mengherankan, hampir semua hasil perjanjian damai hanya macan kertas, yang membuat berang Yasser Arafat dan sekaligus mendorong garis keras Palestina bertindak keras di wilayah Israel.
Raihul Fadjri (Reuters, New York Times, CNN)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini