Hak atas Pulau Sipadan dan Ligitan di Kalimantan ternyata amat ditentukan oleh peta imperium kolonial Inggris dan Belanda. Berikut ini perjalanan sengketa kedua pulau itu hingga ke Mahkamah Internasional di Den Haag.
1890
Sultan Sulu menyewakan Pulau Sipadan (10,4 ha) dan Ligitan (7,9 ha) di dekat Sabah kepada perusahaan Austria, Den&Overbeck. Sabah bergabung dengan Malaysia pada tahun 1963—tanpa menyertakan Sipadan dan Ligitan.
20 Juni 1891
Inggris dan Belanda (penguasa kolonial atas Malaysia dan Indonesia) meneken konvensi. Isinya antara lain: wilayah di utara garis 4 derajat dan 10 menit lintang utara, yakni bagian utara Pulau Sebatik, adalah milik Inggris. Yang berada di selatan garis itu milik Belanda. Sipadan-Ligitan berada di selatan garis.
9-22 September 1969
Sengketa Sipadan-Ligitan muncul pertama kali dalam perundingan tentang batas landas kontinen antara Indonesia dan Malaysia di Kuala Lumpur. Pada pertemuan tersebut, kedua pihak bersepakat tidak melakukan kegiatan di kedua pulau itu.
1980
Malaysia mengingkari status quo dengan membangun sekitar 150 rumah peristirahatan di Sipadan, serta memasukkan kedua pulau itu ke peta mereka.
1982
Perserikatan Bangsa-Bangsa mengesahkan Konvensi Hukum Laut (UNCLOS), tempat batas wilayah laut suatu negara harus diukur dari tinggi muka laut terendah. Konvensi itu membuat luas Pulau Ligitan bertambah jika air surut.
1983
Malaysia mengeluarkan undang-undang yang menyatakan Sipadan dan Ligitan masuk ke wilayah kedaulatan Malaysia.
31 Mei 1997
Indonesia dan Malaysia mengajukan secara resmi kasus sengketa Sipadan-Ligitan ke Mahkamah Internasional di Den Haag.
2 November 1998
Mahkamah Internasional mengagendakan pembahasan kasus Sipadan-Ligitan dalam persidangan periode Juni 2002.
13 Maret 2001
Pemerintah Filipina mengajukan permohonan intervensi dalam Sipadan-Ligitan. Intervensi tersebut dilakukan untuk melindungi hak-hak hukum dan historis dari klaim Filipina terhadap wilayah Borneo Utara (Sabah). Mereka khawatir keputusan Mahkamah Internasional akan berdampak negatif terhadap tuntutan Filipina atas wilayah Sabah.
23 Oktober 2001
Sidang Mahkamah Internasional menolak permohonan intervensi Filipina.
3-12 Juni 2002
Mahkamah Internasional menggelar argumentasi lisan (oral hearing) antara Malaysia dan Indonesia. Menteri Luar Negeri Indonesia, Hassan Wirajuda, menjelaskan bahwa Indonesia mengajukan permintaan kedaulatan secara terpisah atas Sipadan dan Ligitan. Hal itu dilakukan untuk mematahkan argumentasi Malaysia yang mengatakan kedua pulau itu berasal dari gugus yang sama.
10 Juni 2002
Malaysia dan Indonesia mempresentasikan 15 peta—dari total 77 peta yang masuk pengadilan. Tiga di antaranya adalah peta internasional keluaran Belanda, Inggris, dan Amerika Serikat. Malaysia menyiapkan 10 peta yang jelas-jelas mengakui garis 4 derajat 10 menit lintang utara yang disepakati dalam Konvensi 1891. Menurut tim Indonesia, peta yang dibuat Amerika Serikat, Spanyol, Inggris, dan Belanda—antara tahun 1891 dan 1978—tidak memasukkan Sipadan dan Ligitan ke wilayah Malaysia.
17 Desember 2002
Mahkamah Internasional di Den Haag akan mengeluarkan keputusan siapa pemilik Pulau Sipadan dan Ligitan sekaligus menetapkan hal ini: apakah kedua pulau itu akan dikuasai oleh satu negara, atau Indonesia dan Malaysia memiliki kedaulatan di pulau yang berbeda.
I G.G. Maha Adi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini