Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Turut Malay atau Indon, Encik?

Malaysia rajin menanam ringgit, membangun resor. Jejak Republik cuma mercusuar dan dermaga kecil. Reportase TEMPO di Pulau Sipadan, pekan lalu.

8 Desember 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MILIK Malaysia! Itulah kesan yang terasa bila kita mengunjungi Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Hanya ada satu akses jika hendak masuk ke dua pulau itu: dari Malaysia. Jangan harap Anda bisa mencapainya dari Tarakan atau Nunukan, Kalimantan. Sebab, di tengah jalan, kapal Anda bisa ditenggelamkan oleh angkatan laut atau marine Malaysia. Kapal-kapal mereka aktif berpatroli di sekitar Nunukan dan Sipadan.

Sipadan Ligitan (dalam satu frasa berarti perbatasan Ligitan, dalam bahasa Malaysia) kini menjadi tambang emas pariwisata Malaysia dan terutama kawasan Sabah. Kantor Wisata Sabah (Sabah Tourism) dan Sri Pelancongan Sabah Sdn. Bhd. di Kinabalu memasang Sipadan sebagai tujuan wisata andalan. Ini sudah termasuk Ligitan, yang hanya berupa sebuah pulau karang kecil, yang tenggelam bila laut pasang.

Kedua pulau dinyatakan status quo pada 1969. Pada 1988, Malaysia "menyalip" dengan membangun fasilitas wisata selam. Total sekitar 200 ribu turis telah berkunjung ke sana. Mereka didatangkan lewat lima biro perjalanan wisata setempat. Konon, omzetnya mencapai miliaran rupiah per tahun. Padahal tenaga kerja yang terserap tak banyak, sekitar 100 orang. Mereka berasal dari Malaysia dan sebagian lagi dari Filipina. Tak ada satu pun tenaga kerja Indonesia di situ.

Orang Indonesia seperti terlarang melongok dua pulau itu. Wartawan TEMPO yang berkunjung ke sana harus rapi-jali menyembunyikan identitas wartawannya serta pandai-pandai mencari celah. "Maaf, Anda harus ada permit dari pusat," ujar seorang pegawai dari Sipadan Resort Agency di Tawau ketika TEMPO mencoba mendaftar. Sikap ramah yang sebelumnya ditunjukkan buyar ketika diketahui tamu yang dihadapinya adalah wartawan Indonesia. Begitu juga sikap atasannya di Kinabalu, ibu kota Sabah, ketika dicoba dihubungi. "Maaf, bilik sudah penuh," katanya.

Jalur masuk yang "agak" terbuka hanyalah dari kota pantai kecil Semporna, daerah terdekat ke Sipadan yang terletak di sebuah tanjung—hanya dua setengah jam perjalanan naik bus dari Tawau. Di sini banyak terdapat kantor biro wisata dan penyelaman ke Sipadan, yang berada dalam satu kawasan resort sea. Dengan berpura-pura sebagai pelancong, akhirnya TEMPO berhasil mendapat seat. Nasib baik!

Penjagaan di Semporna dan Sipadan sudah pasti amat ketat. Susah bagi orang Indonesia untuk bisa menembusnya. Selain harus mendaftar lewat biro wisata, mesti mendapat persetujuan petugas marine, yang posnya persis di depan kawasan resort sea. "Kita juga tak pernah bisa ke Sipadan," kata Kepala Perwakilan Konsulat Indonesia di Tawau, Makdum Taher, kepada TEMPO. Beberapa pegawai konsulat pernah mencoba mendaftar, sekadar ingin melancong, tapi kena coret dari daftar. Minta jasa-antar nelayan lokal juga tak mungkin karena mereka dibatasi hanya boleh berlayar sampai Pulau Mabul, pulau kecil di utara Sipadan.

Di Sipadan ada sekitar 50 orang anggota marine dan puluhan polisi di pulau yang luasnya tak lebih besar dari kawasan Senayan, Jakarta, dan habis dikitari tak sampai satu jam dengan jalan kaki itu. Jumlah itu tentu bisa ditambah perkuatan satu pos marine yang sudah ditempatkan di Semporna. TEMPO sempat melihat tiga buah speedboat ukuran sedang bermesin besar dengan persenjataan ringan. Anggota pos satuan dibekali senapan modern Styer. Mereka bisa disebut menjaga pulau kosong yang sekarang dipenuhi sekitar 120 bangunan bilik.

Padahal bisa dipastikan tak bakal ada ancaman dari pangkalan angkatan laut kita di Tarakan yang sepi. Satu-satunya ancaman nyata sebenarnya cuma para lanun atau bajak laut, yang kerap datang dari perairan Filipina. Tapi apakah karena itu para pelacong tak boleh keluar kamar di atas pukul 21.00 di pulau yang dihiasi hutan tipis itu atau karena "suasana kritis" menjelang vonis Mahkamah Internasional? Wallahualam.

Tak semua orang merasa senang berada di bawah bendera Malaysia. Beberapa perusahaan wisata justru cemas seandainya palu mahkamah Den Haag berpihak ke Kuala Lumpur. "Jika Malaysia menang, kerajaan makan habislah itu Sipadan," kata seorang pegawai agen wisata di Sipadan. Agen wisata yang murni swasta bakal tergusur. Mereka malah senang bila palu hakim menguntungkan Jakarta. "Kite cukup bayar tax atau sewa operasi saje," katanya.

Dari lima resor di Sipadan, ada yang dimiliki swasta murni, tapi ada juga milik kalangan dekat petinggi negara bagian dan federal. Abdillah Resort, misalnya, dimiliki oleh keluarga Sultan Sabah. Kalangan keluarga dekat Perdana Menteri Mahathir Mohamad konon juga punya andil di sana. Ada kabar, keluarga dua bos besar berniat memonopoli jasa wisata di Sipadan. Karang laut Sipadan—termasuk dalam lima besar lokasi penyelaman terindah di dunia—dan pantainya yang menjadi tempat bertelur penyu hijau memang menjanjikan keuntungan menggiurkan. Resor-resor itu selalu fully-booked oleh para turis asing, bahkan sudah dipesan sampai tahun 2003.

Lingkaran kerajaan yang empunya bisnis wisata tentu saja memilih Malaysia. "Kite sudah lame di pulau ni," kata seorang pengelola biro wisata milik "kerabat" Sultan Sabah. Indonesia, katanya, bakal menghancurkan bisnis mereka saja. "Sudah tak ade money, tak ade pula lobi antara bangse," katanya ketus. Malaysia memang terlihat yakin bakal memenangi vonis Mahkamah. Ada sekitar 20 resor baru tengah dibuat. Perahu-perahu berukuran sedang terus hilir-mudik mengangkut kayu untuk bahan bangunan.

Sikap cuek juga tampak dari "penguasa" di perbatasan Indonesia-Malaysia. "Kalau nanti kita menang, baru kita uruslah," kata Kasmir Foret, Wakil Bupati Nunukan, kepada TEMPO. Indonesia memang terlihat kurang serius mengurusi pulau tersebut. Setelah tiga tahun Kabupaten Nunukan berdiri, tak ada satu rupiah pun anggaran untuk "merawat" Sipadan dan Ligitan dalam APBD kabupaten yang sedang dihajar problem tenaga kerja ilegal itu. Jauh sebelumnya, ketika masih berada dalam wilayah Kabupaten Bulungan, hal yang sama terjadi.

Padahal Pulau Sipadan konon adalah wilayah suku Dayak Lundaya yang berasal dari daerah Krayan di Pulau Nunukan. Selain di Krayan, warga suku ini tersebar di daerah Malinau, Kalimantan Timur, dan sebagian kecil ada di Malaysia. Namun pulau itu sudah lama ditinggalkan. TEMPO, yang berkunjung ke Sipadan, sudah tak melihat bekas perkampungan di pulau tersebut. Tim intelijen Markas Besar TNI yang datang awal 1990-an ke pulau itu juga tak mendapati ada bekas perkampungan Dayak. Satu-satunya bangunan "milik" Indonesia yang berdiri adalah mercusuar buatan Belanda di Pulau Ligitan. Juga sebuah dermaga kecil untuk keperluan suar dan nelayan.

Ahli waris takhta Sultan Bulungan Datu Ma'mun bin Muhammad Djalaludin sangat menyayangkan bila Sipadan dan Ligitan jatuh ke tangan Malaysia. "Wilayah itu sepenuhnya milik Indonesia," katanya ketika ditemui TEMPO. Wilayah Kesultanan Bulungan sebenarnya tersebar dari Tidung, Tarakan, Bulungan, bahkan hingga sebagian wilayah Sabah sekarang, seperti Tawau dan Sandakan.

Kesultanan Bulungan menyatakan diri bergabung dengan Indonesia pada 1949, atas inisiatif almarhum Sultan Maulana Muhammad Djalaludin, ayah Datu Ma'mun. Hingga wafatnya, Sultan Djalaludin tidak pernah menyepakati perjanjian perbatasan yang dibuat oleh Inggris dan Belanda pada 1891—karena dinilai memecah-belah wilayahnya—meski pada 17 September 1946 Belanda mencoba membujuknya dengan memberikan hadiah pangkat tituler letnan kolonel dalam tentara Hindia Belanda.

Jika Sipadan atau Ligitan lepas dari genggaman Indonesia, barangkali itulah harga sejarah yang harus dibayar negara ini. Pada 18 Juli 1964, Istana Bulungan di Tanjung Palas dibakar dan dirusak total oleh Komando Distrik Militer Bulungan. Anggota kerajaan dituduh terlibat komunis Kalimantan atau Paraku. Keluarga sultan tercerai-berai dan sebagian dibunuh. Seluruh harta kerajaan dan arsip penting kerajaan musnah, termasuk arsip soal Sipadan-Ligitan. Kelemahan ini lalu dijadikan argumen Malaysia dalam sidang Mahkamah Internasional: Indonesia tak punya bukti kuat kedua pulau itu milik Sultan Bulungan.

Arif A. Kuswardono, Wenseslaus Manggut (Sipadan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus