LIMA pria dan empat wanita setengah baya tergopoh-gopoh menghampiri speedboat yang merapat ke bibir pantai. Mereka menyongsong wisatawan yang menumpang perahu cepat itu dan mengelu-elukannya. Lalu seorang pria bertubuh besar mengabsen para pengunjung tersebut satu per satu. Kemudian barang-barang diangkat dan para pelancong diantar ke lobi resor. Begitulah aktivitas sehari-hari di Pulau Sipadan. Semuanya berjalan seperti biasa, tanpa perubahan sedikit pun.
Kenyataan bahwa pada Selasa, 17 Desember, ini Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda, akan mengumumkan keputusannya tentang status Pulau Sipadan—yang selama ini masih dipersengketakan antara Indonesia dan Malaysia—tidak berpengaruh terhadap kegiatan pariwisata di sana. Jumlah wisatawan yang melancong tak berkurang. Mereka datang berduyung-duyun ke pulau yang memiliki pemandangan bawah laut sangat menawan itu. Mereka tak ambil pusing siapa yang bakal menang dan berdaulat atas pulau indah yang statusnya belum jelas itu. "Saya tak peduli, saya cuma pelancong," kata Steven Cho, wisatawan asal Hong Kong.
Geliat Sipadan menjadi daerah tujuan wisata telah dimulai sejak 1988. Mengabaikan kesepakatan status quo—antara Indonesia dan Malaysia—yang mestinya dijunjung tinggi, pihak Malaysia telah membangun tempat-tempat peristirahatan dan penangkaran penyu di pulau itu. Perusahaan pertama yang diizinkan membangun pondok peristirahatan di sana adalah Sipadan Resort. Mereka membangun resor dengan kapasitas 110 kamar. Sejak saat itu, pelancong dari mancanegara ramai mendatangi kawasan tersebut.
Kini di atas pulau seluas 50 ribu meter persegi yang sebagian besar masih tertutup hutan hujan tropis itu, sedikitnya telah berdiri lima buah resor. Masing-masing adalah Sipadan Resort, Sipadan Dive Center, Abdillah Resort, Borneo Resort, dan Sipadan Lodge. Setiap resor rata-rata memiliki 30 rumah peristirahatan bergaya tradisional Dayak. Pekerja resor umumnya berasal dari Malaysia dan Filipina. Tak ada pekerja dari Indonesia.
Pemilik resor-resor itu adalah pemerintah Malaysia, pemerintah Negara Bagian Sabah, dan swasta—termasuk seorang kerabat dekat Perdana Menteri Mahathir Mohamad. Merasa yakin bahwa Malaysia bakal menang di Den Haag, mereka terus saja membangun pondok-pondok peristirahatan baru di Sipadan. Menurut pengamatan TEMPO, sedikitnya ada 20 pondok baru yang tengah dibangun. Sekitar enam perahu berukuran sedang terlihat keluar-masuk pulau mengangkut kayu-kayu untuk keperluan pembangunan pondok baru tersebut.
Pondok-pondok peristirahatan di Pulau Sipadan memiliki fasilitas dan tarif yang setara dengan hotel bintang lima. Tarif paling murah adalah 300 ringgit Malaysia atau Rp 750 ribu (dengan kurs Rp 2.500 per ringgit) semalam. Sedangkan tarif termahal 700 ringgit atau sekitar Rp 1,75 juta per malam. Ongkos itu sudah termasuk sarapan pagi. Wisatawan yang ingin menyelam atau ber-speedboat mengelilingi Pulau Sipadan harus menambah lagi 50 ringgit.
Semua pengelola resor dan Badan Pariwisata Malaysia aktif mempromosikan paket wisata bahari Pulau Sipadan ke berbagai penjuru dunia, baik secara langsung maupun lewat internet. Promosi besar-besaran juga berlangsung di dalam negeri. Di Bandar Udara Kinabalu terdapat beberapa gerai yang khusus menjual suvenir bermotif Sipadan, dari kaus, tas, hingga topi. Di depan pintu Bandar Udara Tawau terdapat sebuah papan iklan besar dengan gambar pemandangan Pulau Sipadan. Reklame yang sama terdapat di sejumlah tempat di Kota Semporna, kota daratan terdekat dengan pulau tersebut.
Minat wisatawan asing dan warga Malaysia untuk berwisata ke Sipadan cukup besar. Dalam sehari, kata seorang staf Sipadan Resort Agency, pelancong yang menginap di sana mencapai 75 hingga 100 orang. Menyambut tahun baru, sejak 20 Desember 2002 hingga 2 Januari 2003, semua kamar sudah habis dipesan. Kawasan itu biasanya juga akan penuh pada hari Tahun Baru Cina.
Minat berwisata ke Sipadan selalu tinggi, terutama karena pulau itu memiliki pantai yang indah, pasirnya putih, dan menjadi kawasan persinggahan penyu hijau. Pulau ini tergolong sebagai satu dari lima lokasi wisata selam tercantik di dunia. Di bawah lautnya bisa ditemukan terumbu karang yang indah dan aneka jenis ikan: barakuda, gorgona, kerapu, dan puluhan jenis ikan karang lainnya. Di sana juga terdapat ratusan jenis rumput laut. Yang paling indah adalah Christmas tree, rumput laut yang menyerupai pohon Natal. Singkat cerita, alam bawah laut di Sipadan benar-benar merupakan surga bagi para penyelam.
Di sebelah timur Pulau Sipadan masih ada satu daya tarik lain, yakni sejumlah gua di dasar laut. Di dalam gua-gua itu bisa dijumpai tulang-belulang ikan-ikan besar. "Ikan-ikan mati di gua itu," ujar Erwan, pegawai Sipadan Resort. Sejumlah wisatawan asing, kata Erwan, senang berlama-lama di dalam gua itu. Begitu kuatnya pesona pemandangan bawah laut, sehingga pada 1995 belasan wisatawan asing melangsungkan pernikahan massal di sana. Selain menyediakan wisata alam, Pulau Sipadan menawarkan hiburan seperti klub malam dan karaoke untuk para pelancong.
Selain membangun fasilitas, pihak Malaysia menetapkan jalan keluar-masuk Pulau Sipadan harus melalui wilayah Malaysia. Pelancong yang masuk bukan dari wilayah Malaysia akan dianggap sebagai pendatang haram. Mereka akan ditangkap oleh polisi laut dan marinir Malaysia, yang kini makin ketat berpatroli di sekitar Sipadan.
Wisatawan asing yang ingin menikmati keindahan Pulau Sipadan mesti terbang dari Kuala Lumpur ke Kota Kinabalu. Dari sana terbang lagi ke Tawau, kota terdekat yang memiliki bandar udara. Dari Tawau, para wisatawan harus melalui jalan darat ke Semporna selama dua setengah jam, selanjutnya dari Semporna menggunakan speedboat selama satu setengah jam menuju Pulau Sipadan. Mulusnya jalur menuju Sipadan dari wilayah Malaysia bisa membuat iri orang Indonesia. Bandingkan saja dengan Tarakan, wilayah Indonesia yang terdekat dengan pulau itu, yang sama sekali tak memiliki jalur ke sana.
Tidak sia-sia membenamkan banyak ringgit untuk membangun resor wisata di Sipadan. Sebab, tanpa menunggu terlalu lama, pengusaha Malaysia sudah bisa memetik hasilnya. Sejak 1988, diperkirakan telah jutaan ringgit mengalir ke kocek pemerintah dari wisatawan yang berkunjung ke pulau tersebut. Tak aneh bila Malaysia sangat berharap pihaknyalah yang mendapatkan status kepemilikan pulau itu di Den Haag. "Sudah sepuluh tahun kami di sini dan banyak membangun, baik taman laut, kawasan wisata, maupun sejumlah hotel, manalah bisa diserahkan ke Indonesia," ujar Ahmad Tjin, pegawai Sipadan Resort.
Harapan yang sama terlontar dari Jefry Tjin, penukar uang tak resmi di Kota Semporna. Tjin mengaku akan merasa bahagia jika Malaysia menang dalam sengketa ini. Dengan begitu, kotanya akan makin ramai. "Bisnis awak jadi ikut ramailah," ujarnya sembari tergelak. Menurut Tjin, dunia pariwisata di daerah Tawau sedang harap-harap cemas menunggu keputusan Mahkamah Internasional. Keputusan itu akan menentukan prospek parawisata di sini. Sebab, Sipadan adalah pulau indah yang layak dijual ke mancanegara.
Namun ada juga warga Malaysia yang lebih senang jika Indonesia yang menang di Den Haag. Mereka adalah pengelola agen perjalanan swasta menuju Pulau Sipadan. Soalnya, sudah lama tercium kabar bahwa pihak pemerintah dan kerabat dekat Mahathir ingin mengelola kawasan ini secara monopoli. Tapi niat itu terganjal status kepemilikan pulau yang masih menjadi ajang sengketa.
"Jika Malaysia menang, pemerintah dan keluarga Mahathir akan memakan habis Sipadan," ujar seorang pegawai agen perjalanan swasta yang tak mau disebut namanya. Dan mereka bakal tergusur. Karena itu, ia berharap Indonesia yang menang dan pihaknya bisa melanjutkan operasi dengan membayar sewa. Bak kata pemeo, "Ucapan tergantung pada kepentingan, rezeki tergantung pada majikan."
Nugroho Dewanto, Wenseslaus Manggut (Sipadan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini