KOTA Den Haag pucat dalam angin bulan Desember. Suhu udara terus melorot hingga ke bawah titik beku, meski puncak dingin masih dua bulan lagi. Toh, kesibukan di gedung Mahkamah Internasional di Peace Palace, Den Haag, tak terhenti oleh rintangan cuaca. Dalam balutan mantol-mantol tebal musim dingin, para hakim meluncur masuk dengan langkah berdesis di atas ubin, melewati aula gedung yang dihiasi gambar Dewi Keadilan. Masuk ke bilik-bilik kerja, mereka melahap tumpukan kasus yang harus diputuskan pada hari-hari ini. Salah satu perkara yang akan diputus pada Selasa pekan ini adalah sengketa Sipadan-Ligitan, dua pulau kecil di timur Kalimantan yang sudah puluhan tahun dipertikaikan oleh Malaysia dan Indonesia.
Alhasil, palu vonis di Den Haag mestinya berdentam hingga ke Jakarta dan Kuala Lumpur. Sipadan dan Ligitan adalah perseteruan lama dari dua jiran serumpun. Terletak di sebelah timur Pulau Sebatik dalam wilayah Kalimantan Timur, Sipadan dan Ligitan—dari hitungan Indonesia—masuk wilayah Kabupaten Nunukan, setelah sebelumnya berada dalam area Kabupaten Bulungan. Bagaimana dengan Malaysia? Lebih dari sekadar "menghitung", pemerintahan Mahathir boleh dikata telah memasukkan wilayah kedua pulau itu ke dalam kedaulatan negerinya tanpa ragu-ragu.
Jangankan sekarang. Selusin tahun silam, dalam sebuah wawancara dengan TEMPO (edisi 6 Juli 1991), Deputi Perdana Menteri Malaysia Abdullah Badawi—ketika itu masih Menteri Luar Negeri Malaysia—telah menegaskan kepemilikan negerinya atas wilayah itu: "Sepatutnya tak ada lagi persetujuan untuk pulau itu karena kami menganggapnya sudah jelas hak milik Malaysia." Pernyataan ini tentu saja membuat ternganga khalayak yang mendengarnya—setidaknya mereka yang paham hukum internasional. Pasalnya, pada 1969, Malaysia dan Indonesia meneken kesepakatan yang memberlakukan kondisi status quo atas kedua pulau tersebut.
Begini ceritanya. Setelah silang sengketa yang diwarisi dari zaman kolonial (lihat Peta Kolonial Bikin Perkara), kedua negara ini membuat perjanjian pada 1969. Intinya kurang-lebih kedua jiran sama-sama setuju untuk tidak melakukan kegiatan di sana sebelum jelas putusan soal kepemilikan terhadap pulau tersebut.
Tapi Badawi sudah menjawab hal itu, sekali lagi, 12 tahun silam. "Yang berkaitan dengan kesepakatan status quoitu saya sama sekali tak menemukan dokumennya. Tapi, karena sudah berkali-kali dihebohkan, eloklah jika soal ini dibawa ke meja perundingan," ujarnya kepada TEMPO ketika itu.
Badawi tentu tidak sendirian. Dari apa yang terlihat di Sipadan hari ini, Badawi jelas membawa kebijakan pemerintah Malaysia. Resor-resor wisata telah didirikan para pengusaha Malaysia sejak bertahun silam. Alhasil, pelanggaran Malaysia terhadap status quo itu bisa terlihat seterang matahari yang mencorong di hutan-hutan Sipadan. Tentu saja bukan tanpa alasan kebijakan itu dibuat: Sipadan telah mampu mengalirkan jutaan ringgit ke kocek Malaysia (lihat Turis Menyelam dan Ringgit Mengalir di Sipadan).
Saat TEMPO mengunjungi Sipadan pekan lalu, tampak betul betapa Malaysia sudah mendahului keputusan Den Haag: puluhan resor dibangun di sana, lengkap dengan fasilitas pariwisata yang kinclong. Silakan masuk sebagai pelancong. Maka Anda akan diterima dengan senyum lebar dan ucapan selamat datang. Tapi bila Anda coba-coba masuk sebagai wartawan, senyum itu segera lenyap dari bibir petugas. Gantinya adalah ucapan ketus: "Bilik sudah penuh." Ini untuk mengatakan tak ada lagi tiket masuk ke Sipadan (lihat Turut Malay atau Indon, Encik?)—seperti yang dialami TEMPO pekan silam.
Bahwa Malaysia melanggar perjanjian 1969 dan mengelola pulau ini seakan wilayah yang sudah resmi milik mereka adalah satu hal. Tapi bagaimana negeri itu menyulap hutan belukar Sipadan menjadi suatu resor yang memikat wisatawan adalah hal lain yang layak dipujikan. Sikap agresif Malaysia dalam menyalip Indonesia boleh jadi sulit membuat marah hakim yang galak sekalipun: mereka mendirikan resor, mengoptimalkan daya pulau itu bagi kemajuan ekonomi, dan menyediakan lowongan tenaga kerja—sebuah citra yang layak diberi nilai biru oleh tuan-tuan di Den Haag sana.
Coba bandingkan dengan jawaban Wakil Bupati Nunukan, Kasmir Foret, saat dihubungi TEMPO soal Sipadan-Ligitan ini. "Kalau nanti menang, baru kita uruslah," ujarnya. Tapi Foret tampaknya memang tak punya banyak jawaban. Jangankan memikirkan urusan Sipadan, Nunukan yang babak-belur oleh problem tenaga kerja ilegal itu bahkan tak punya dana untuk memberi makan-minum para pengungsi tersebut.
Toh, juru bicara Departemen Luar Negeri, Marty Natalegawa, tampaknya masih optimistis terhadap hasil dari Den Haag. "Kans kita seimbang," ujarnya. Koresponden TEMPO di Belanda, Lea Pamungkas, melaporkan bahwa delegasi Malaysia di Belanda memperkirakan kans serupa.
Dari mana pertikaian ini berpangkal? Seperti apa wajah Sipadan dan Ligitan yang sudah jadi stori dari abad silam saat Indonesia dan Malaysia masih berstatus koloni Belanda dan Inggris itu? Semuanya berawal pada 1891. Saat itu, Belanda (yang menguasai Indonesia) dan Inggris (yang menguasai Malaysia) bersepakat meneken konvensi untuk mengatur batas antara Borneo (Kalimantan) dan Sabah. Konvensi itu dibuat berdasarkan peta seorang kartografer asal Inggris.
Pasal empat konvensi itu menyebutkan, batas koloni ditentukan dari posisi Pulau Sebatik, sebelah timur Kalimantan. Demi adilnya, Sebatik dibagi dua sama besar, sehingga menghasilkan batas pada garis 4 derajat dan 10 menit lintang utara. Sebelah utara milik Inggris, sedangkan sebelah selatan dikuasai Belanda. Perselisihan beres hingga Indonesia menyatakan konfrontasi dengan Malaysia berakhir pada 1967. Tiga tahun kemudian, saat dilangsungkan pertemuan tingkat tinggi di Kuala Lumpur, muncullah perkara Pulau Sipadan dan Ligitan. Malaysia tak sepakat dengan klaim Indonesia, begitu juga sebaliknya. Jalan keluar sementara adalah memberlakukan status quo atas kedua pulau tersebut.
Pulau-pulau yang dipersengketakan itu ukurannya kecil saja: 10,4 hektare untuk Sipadan dan 7,9 hektare untuk Ligitan. Saking kecilnya, dalam pelajaran ilmu bumi di sekolah, kedua pulau itu cuma bertanda titik dalam peta. Siaran pers Departemen Luar Negeri Indonesia menyatakan, jika dihitung dari jarak, Pulau Sipadan terletak sekitar 15 mil laut dari daratan Sabah (Malaysia) dan 40 mil laut dari timur Pulau Sebatik milik Indonesia dan Malaysia. Sedangkan Ligitan 21 mil laut dari Sabah dan 57,6 mil laut dari timur Pulau Sebatik. Tak ada penduduk, hanya ada karang dan pasir putih.
Tapi apa yang terjadi sekarang? Sipadan sudah dipenuhi sekitar 150 rumah peristirahatan. Di antaranya milik keluarga Kerajaan Sabah dan kerabat Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad. Wisatawan datang menikmati keindahan laut dan terumbu karang, yang konon salah satu yang terbaik di dunia. Tiap tahun sekitar Rp 35 miliar ditangguk Malaysia dari pulau itu. Adapun Ligitan hanyalah pulau pasir dan batu, yang tenggelam bila air laut pasang.
Indonesia, yang merasa harus menghormati status quo 1969, mengajukan protes terhadap sepak terjang Malaysia di kawasan itu. Dalam pidato tertulisnya menjelang sidang bulan Juni lalu, Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda menyatakan tindakan Malaysia menduduki dan mengelola kawasan itu tidak menunjukkan niat baik. Karena itu, Indonesia berpendapat semua kegiatan yang dilakukan Malaysia setelah tahun 1969 dianggap melanggar kesepakatan. Dengan demikian, hal itu tak bisa dijadikan argumen hukum dalam penentuan kedaulatan.
Perseteruan dua jiran serumpun ini berlanjut ke Mahkamah Internasional. Kedua pihak menyampaikan suatu persetujuan khusus kepada Mahkamah pada 2 November 1998 melalui notifikasi bersama. Masalah pokok yang dimintakan putusannya dari Mahkamah Internasional adalah apakah kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Ligitan, berdasarkan perjanjian yang ada, bukti, serta dokumen yang tersedia, merupakan milik Indonesia atau Malaysia.
Untuk membuktikan klaimnya, kedua pihak telah menyampaikan argumentasi tertulis pada akhir Maret 2000. Proses ini disusul dengan argumentasi lisan yang dilangsungkan pada Juni lalu. Kedua pihak menyampaikan argumentasi berupa sikap dan posisinya secara lisan, baik yang bersifat politis maupun yuridis. Setelah mempelajari argumentasi kedua belah pihak, Mahkamah akan menetapkan putusan pada 17 Desember ini.
Selama ini, Indonesia mendasarkan kepemilikannya atas Pulau Sipadan dan Ligitan pada konvensi 1891. Sedangkan Malaysia mengklaim dengan alasan adanya rangkaian transaksi dengan dua alur pewarisan, yaitu alur Sultan Sulu-Spanyol-Amerika Serikat-Inggris-Malaysia dan alur Sultan Sulu-Den & Overbeck-British North Borneo Company (BNBC)-Malaysia. Overbeck adalah perusahaan mirip kongsi VOC Belanda, milik seorang baron asal Austria yang menyewa Sipadan. Malaysia juga mengajukan argumen effectif—dari bahasa Prancis—untuk membuktikan siapa yang lebih dulu masuk ke kawasan itu. Menurut argumen itu, sejak 1878 terbukti Inggris sudah mengelola Sipadan.
Ada 77 peta yang mesti dicek pengadilan. Dan Indonesia mengatakan tidak ada argumentasi hukum yang meyakinkan tentang kepemilikan Sultan Sulu. Apalagi, dalam peta perjanjian Spanyol dengan Amerika, keduanya tidak dimasukkan. Juni lalu, ketika kedua negara mempresentasikan 15 peta, terlihat bahwa dalam sepuluh peta yang dikeluarkan Malaysia, ketentuan garis lintang utara itu diakui. Sedangkan dalam tujuh peta lain yang dibuat antara tahun 1891 dan 1978 oleh Amerika Serikat dan Inggris, bagian Sabah minus Sipadan dan Ligitan.
Tapi argumen kartografi dari konvensi itu ditolak oleh Malaysia dengan alasan adanya kata disclaimer pada peta, yang berarti peta itu tak otomatis menunjukkan status hukum wilayah. Dalam bahasa hukum, itu berarti, meskipun Sipadan dan Ligitan masuk kekuasaan Belanda, belum tentu sah secara hukum. Alasan lain yang digelar tim pembela Malaysia, dari 22 peta Indonesia dan Belanda—antara 1891 dan 1992—tak satu pun mencantumkan kedua pulau itu dalam peta Indonesia. Jadi, keduanya dianggap milik Kesultanan Sabah yang kelak bergabung dengan Malaysia.
Profesor Etty Agus, guru besar hukum laut dan hukum internasional dari Universitas Padjadjaran, Bandung, sekaligus anggota tim satuan tugas khusus Sipadan dan Ligitan, punya pendapat lain. Menurut dia, argumen effectif dari Malaysia kurang kuat karena Inggris hanya menetapkan pulau itu sebagai kawasan konservasi penyu awal abad ke-20. Tidak ada bukti mereka masuk atau mengelola kawasan itu. Kalaupun ada, itu cuma cerita dari pihak ketiga, misalnya nelayan yang sering beristirahat di Sipadan. Argumen alur pewarisan juga dinilainya lemah. Di sebuah pulau, katanya, berlaku hukum kedaulatan negara, sehingga tak bisa mengalihkan kepemilikan begitu saja kepada perusahaan Den & Overbeck hanya karena perjanjian sewa pakai. "Secara hukum tak mungkin dialihkan ke swasta," katanya.
Bagaimana dengan tudingan bahwa Indonesia belum memasukkan kedua pulau itu hingga tahun 1960? Yang dituding Malaysia adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia. Perpu itu memang dilampiri peta yang tak mencantumkan Sipadan dan Ligitan. Etty lantas membentuk tim untuk menyelidiki peta itu. Setelah meneliti koordinatnya, tim tersebut menemukan kejanggalan dalam penempatan koordinat peta, sehingga disimpulkan peta itu bukan hasil survei. Entah di mana Malaysia mendapatkan peta itu.
Dengan semua "peluru" itu, Etty yakin argumentasi Indonesia amat kuat. Apalagi hasil pemotretan dengan alat yang canggih, yakni Satelit Landsat-7, menurut Indroyono Soesilo dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, juga menguatkan argumentasi bahwa kawasan itu masuk wilayah Indonesia.
Kenapa Indonesia ngotot mempertahankan kedua pulau kecil itu? Menteri Hassan Wirajuda menjawabnya dalam sebuah pidato di depan Mahkamah pada Juni lalu: "Besar atau kecil, ini isu kedaulatan yang serius bagi setiap negara, tak terkecuali bagi kami." Palu keadilan akan diketukkan minggu ini. Tapi, baik Malaysia maupun Indonesia, tak ada yang mau sesumbar menang. Menurut Marty Natalegawa, Indonesia juga tak melakukan lobi khusus. "Kita serahkan kepada hakim," ujarnya kepada TEMPO.
Menurut Etty, Mahkamah bisa saja memutuskan membagi dua. Alasannya, para hakim memiliki kekuasaan untuk memutuskan keadilan versi mereka—tentu saja setelah mempertimbangkan semua bukti. Segala urusan ini membuat Indonesia, menurut hitungan Departemen Luar Negeri, telah menghabiskan Rp 16 miliar—sebagian besar untuk membayar pengacara internasional.
Bagaimana keadaan di Sipadan pada hari-hari ini? Umumnya mereka tampak tak risau dengan segala urusan sengketa ini. "Siapa saja yang dapat sama sajalah," ungkap Corina, pekerja resor asal Filipina. Namun aktivitas di Sipadan mencerminkan betul keyakinan Malaysia bahwa mereka akan mendapatkan pulau itu: selain masih mengundang investor masuk ke Sipadan, mereka terus membangun resor baru—seperti yang disaksikan TEMPO pekan lalu.
Pukul sepuluh pagi waktu Den Haag, Selasa pekan ini, palu yang menegakkan kedaulatan kedua negara ini akan diketuk. Tak ada proses naik banding, keputusan itu wajib disambut kedua belah pihak sebagai vonis yang seadil-adilnya.
I G.G. Maha Adi, Wenseslaus M. (Sipadan), Lea Pamungkas (Den Haag)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini