BARU kali ini Arab Saudi membatalkan, setidaknya menunda, pembelian peralatan militer yang sudah direncanakan. Pembelian itu sedianya seharga sekitar US$ 25 miliar, yang antara lain meliputi pembelian 150 buah tank buatan General Dynamics. Bahkan, utang Arab Saudi senilai US$ 10 miliar, harga pembelian senjata tahun-tahun lalu, oleh AS dibolehkan dicicil dalam dua tahun mendatang. Seharusnya, utang itu sudah harus dibayar seluruhnya tahun ini. Dari Prancis pun ada kabar, kontrak pembelian peluncur rudal senilai US$ 3 miliar oleh Arab Saudi dibatalkan. Dan rencana pembelian 48 pesawat Tornado dari Inggris belum ketentuan nasibnya -- kemungkinan besar juga digagalkan. Adakah Arab Saudi, yang pada tahun 1991 dijadikan basis tentara Amerika dan sekutunya untuk melawan Irak, tak lagi memerlukan persenjataan militer? Tampaknya, pertimbangan pembatalan belanja militer itu tak harus ditinjau hanya dari sektor keamanan dan pertahanan. Menurut majalah The Middle East nomor Januari 1994, harga minyak yang belakangan anjlok menjadi hanya sekitar US$ 13 per barel membuat negeri yang sebagian besar pendapatannya dari minyak ini mesti berhemat. Akibat jatuhnya harga itu, misalnya, diduga untuk tahun anggaran 1993 Arab Saudi mengalami defisit sampai US$ 7,5 miliar. Ini akibat estimasi terlampau optimistis dalam menyusun anggaran tersebut, pendapatan dari minyak di bulan-bulan akhir tahun 1993 akan naik 6%. Pengalaman pahit itu menyebabkan pemerintah Riyadh menurunkan anggaran belanjanya tahun ini sekitar 20%. Langkah penghematan itu, setidaknya, mengubah sejumlah kebijaksanaan ekonomi Arab Saudi. Misalnya, penundaan peremajaan sejumlah kilang minyak yang menelan biaya tak kurang dari US$ 3 miliar. Juga, meninjau kembali proyek kerja sama Aramchem (Perusahaan Kimia Amerika- Arab) untuk membangun pabrik petrokimia yang sudah disepakati Agustus lalu. Proyek kerja sama ini melibatkan Mobil Oil dengan sekelompok pengusaha swasta, yang dananya disuplai pemerintah Arab Saudi melalui Dana Pembangunan Industri Saudi, badan yang dibentuk untuk meningkatkan peranan swasta Arab Saudi, sesuai dengan kebijaksanaan ekonomi pemerintah. Bahkan, kini sudah dijajaki kemungkinan bahwa sejumlah sektor sosial yang selama ini disubsidi negara akan diulurkan ke pihak swasta. Sektor itu antara lain pendidikan, kesehatan masyarakat, dan pembangunan perumahan. Selama ini subsidi sosial itu menelan lebih dari 7% anggaran. Menurut analisa Middle East, langkah "swastanisasi" itu memang diperlukan, betapapun menyakitkannya. Sebab, penduduk Arab Saudi, yang jumlahnya sekitar 16,9 juta jiwa itu, setengahnya berusia di bawah 15 tahun. Bila kebijaksanaan subsidi diteruskan, dalam tahun-tahun mendatang beban pemerintah Riyadh akan semakin berat. Belum lagi dugaan bahwa pertumbuhan penduduk negeri itu tinggi. Kini pemerintah Riyadh akan terpaksa menjalankan anggaran berimbang, hingga utang luar negeri yang sejak tahun 1983 menumpuk sebesar US$ 55 miliar bisa dibayar. Dan ini berat karena dalam beberapa tahun ke depan tampaknya pendapatan nonminyak belum bisa diandalkan. Maka, pemerintah Arab Saudi akan terpaksa melakukan skala prioritas pada pengeluarannya selama ini. Mungkin, yang akan sangat dipertimbangkan adalah itu tadi, bujet untuk militer dan subsidi sosial tersebut. Tentu, pertimbangan politis akan juga dipikirkan karena kelompok garis keras Arab Saudi, konon, makin kritis. Memang, ketika surat kabar New York Times menerbitkan tulisan tentang krisis keuangan di Arab Saudi, Mohammad Ali Abalkhail menulis surat panjang pada surat kabar tersebut. Penulis surat pembaca itu membantah soal krisis, dan mengatakan bahwa utang luar negeri Arab Saudi membengkak menjadi US$ 55 miliar gara- gara Perang Teluk tiga tahun lalu itu. Tapi masalahnya bukan mengapa utang membengkak, melainkan bagaimana membayar utang itu. Dan melihat faktor jumlah penduduk serta sumber pendapatan negara, mau tak mau pemerintah Riyadh harus meninjau kembali kebijaksanaan ekonominya selama ini bila tak mau menanggung defisit terus-menerus. Bila itu benar, di sektor politik tentu juga harus ada perubahan. Dan itu tampaknya sedang dirintis. Setidaknya, ada tanda-tanda pemerintah Riyadh siap melakukan keterbukaan politik. Oktober lalu, pemerintah Arab Saudi mencapai kesepakatan dengan sejumlah pembangkang Syiah di luar negeri. Mereka yang melarikan diri karena mendukung Revolusi Iran itu diizinkan kembali ke Arab Saudi asalkan tak lagi melakukan kegiatan politik di luar negeri. Kemudian, Majelis Syura, yang tertunda-tunda pembentukannya sejak didekritkan Raja Fahd tahun 1992 lalu, akhirnya dilantik akhir Desember 1993. Majelis beranggotakan 60 orang yang langsung ditunjuk oleh Raja Fahd ini diketuai oleh Putra Mahkota Abdullah. Tak hanya itu. Raja Fahd juga menunjuk 210 orang menjadi anggota dewan regional. Mereka yang terdiri atas para kepala suku berpengaruh dan kerabat dekat para pedagang ternama Arab Saudi ini diangkat sebagai anggota di 13 dewan regional di seluruh Arab Saudi. Para anggota dewan, kata Pangeran Abdullah, diharapkan memainkan peranan lebih besar. Meski dewan-dewan itu masih terbatas fungsinya karena keputusan akhir tetap berada di tangan Raja Fahd, langkah tersebut dinilai sebagai sebuah kemajuan. Dan sebenarnya, pemotongan anggaran sampai 20% di awal tahun ini, kabarnya, diusulkan oleh Majelis Syura itu. Bagaimanapun, ini sebuah kemajuan pada saat kesulitan.DP (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini