TIGA hari sebelum Majelis Tinggi Jepang membicarakan RUU reformasi politik, pihak kejaksaan menahan Koreaki Hagihara dan Juichi Konishi. Dua pejabat eksekutif perusahaan konstruksi Obayashi yang masing-masing menjabat sebagai wakil presiden dan kepala cabang di Sendai itu ditahan dengan tuduhan menyuap sebesar 10 juta yen (sekitar Rp 180 juta) ke tangan Toru Ishii, Wali Kota Sendai. Diduga, uang pelicin itu untuk memenangkan proyek pembangunan tempat pembakaran sampah dan pembangunan kembali pusat kota yang terletak di kawasan utara Jepang, yang bernilai 8,2 miliar yen. Presiden Obayashi, Takao Tsumuro, membantah dengan lagu lama: dana itu "dana politik untuk membantu Toru Ishii memenangkan pemilu." Sementara itu, Toru Ishii, sang wali kota, yang ditangkap Juni 1993, di pengadilan mengaku bahwa ia menerima uang bernilai total 100 miliar yen dari empat perusahaan konstruksi raksasa lainnya. Entah mana yang benar, yang pasti pihak kejaksaan kini tengah mengincar empat orang pejabat tinggi Jepang yang terlibat dalam skandal suap ini. Di antaranya Seiroku Kajiyama, bekas Menteri MITI (Perdagangan Internasional dan Industri), bekas Menteri Kehakiman, dan bekas Sekjen Partai Demokratik Liberal. Tak hanya itu. Pemerintah PM Hosokawa juga mencanangkan kebijaksanaan baru di bidang konstruksi, yang direncanakan diberlakukan 1 April nanti. Yakni, memberlakukan sistem tender terbuka, yang menutup kemungkinan para kontraktor Jepang melakukan praktek dango, bersekongkol membagi tender di antara mereka secara bergiliran. Sejumlah penangkapan dan langkah drastis yang dilakukan pemerintahan PM Hosokawa itu, setidaknya, sekadar contoh betapa besar keinginan kelompok pembaru menegakkan etika politik dari permainan kotor yang senantiasa mewarnai pemerintahan terdahulu.DP
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini