Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Pindah barak, mengencangkan sabuk

Penarikan mundur tentara israel dari beirut. operasi galilea mandek. ekonomi terancam ambruk. (ln)

6 Agustus 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIGA belas bulan sejak Operasi Damai untuk Galilee dilancarkan, tentara Israel mundur dari Beirut dan Pegunungan Shouf ke Sungai Awali di selatan. Penarikan itu mengejutkan. Karena Israel sebelumnya ngotot tidak mau mundur, jika tentara Syria juga tidak menarik diri dari Lembah Bekaa. Tuntutan begini ternyata tidak dihiraukan Presiden Syria Hafez Assad. Ia malah memperkuat pertahanan di lembah itu dengan senjata-senjata paling mutakhir dari Uni Soviet. Operasi Galilee yang semula berjaya, kini mandek hampir di semua front. Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) memang bisa ditumpas di Beirut Barat. Tapi gerakan perlawanan itu, seperti bisa diduga, tidak seluruhnya dapat dipadamkan. Seiring menghebatnya bentrokan bersenjata antara kelompok Kristen Falangis melawan golongan Islam Druze di Libanon, gerilyawan PLO melancarkan serangan-serangan kilat merobohkan beberapa prajurit Israel. Sejak penyerbuan ke Libanon, Juni 1982, tercatat 155 tentara Israel tewas dan 2.600 cedera. Sementara itu di Israel suara-suara pun semakin santer mempersoalkan apakah penduduk Libanon perlu dipertahankan lebih lama. Biaya operasi militer yang menghabiskan US$ 1 juta per hari nampaknya bukan saja menggerogoti, tapi bisa mencabik-cabik ekonomi Israel. Kenyataan yang dihadapi Israel ini tidak luput dari pengamatan Washington (lihat: Mewah di Atas Utang). Belum habis keterkejutan atas pengunduran Israel, akhir pekan silam, tiba-tiba tentara Syria menarik diri pula. Mereka meninggalkan tujuh posisi penting di Tripoli, dan mundur ke bukit-bukit sekitarnya. Penarikan diri itu, menurut dugaan, dilakukan Syria karena tidak mau terlibat dalam bentrokan senjata antara pihak-pihak yang bermusuhan di Libanon. Tapi sebelum Tripoli aman, hiruk-pikuk lain meletus di banyak kampung di selatan. Penduduk ramai-ramai protes. Mereka menuntut Israel mencabut ultimatum yang mengharuskan kelompok Kristen Falangis menutup barak-baraknya. Tuntutan yang sama disampaikan oleh para Falangis ke pusat pemberitaan tentara Israel di Beirut. Dalam aksi protes itu penduduk membakar ban-ban mobil, memukul lonceng-lonceng gereja, dan berdemonstrasi. Dikabarkan inilah konflik Israel-Falangis terburuk sejak penyerbuan ke Libanon, tahun silam. Ada kecurigaan, kepentingan Israel dan Falangis bertabrakan di selatan. Soalnya Israel bertekad membersihkan wilayah itu dari kekuasaan pasukan sukarela Kristen untuk kemudian mempercayakannya pada pasukan Mayor Saad Hadad -- tentara Libanon yang terang-terangan membelot ke Israel. Di Tel Aviv, surat kabar Ma'ariv melaporkan Israel akan membangun garis pertahanan baru di sepanjang garis perbatasan Libanon selatan dalam tempo 10 hari. Biayanya diperkirakan US$ 40 juta. Jika selesai nanti garis pertahanan itu akan membentuk kerucut: bermula dari Sidon di pantai barat, menelusuri Sungai Awali, terus merentang ke timur sepanjang sisi Lembah Bekaa. Di kawasan ini, pasukan Israel akan berhadap-hadapan dengan tentara Syria. Khawatir akan nasib Libanon, yang sewaktu-waktu bisa terpecah-pecah karena dominasi Israei dan Syria, Washington pada mulanya tidak begitu antusias mendengar penarikan mundur sepihak anak-anak Menteri Pertahanan Israel Moshe Arens. Tapi sesudah Menteri Luar Negeri Yitzak Shamir, dalam kunjungannya ke Washington, menjelaskan bahwa gerakan tersebut merupakan tahap pertama dari penarikan total, maka Menteri Luar Negeri AS, George Shultz, akhirnya memberi dukungan. Tentang kemungkinan perpecahan Libanon, para pengamat menilainya sebagai hal yang tidak bisa dihindarkan. Kepada Presiden Amin Gemayel, Ronald Reagan menyetujui bantuan untuk Libanon sebesar US$ 150 juta. Namun bagaimana mempertahankan keutuhan negeri itu, tidak tersedia pemecahan yang tuntas. Sebab di Israel sendiri, situasi jauh dari menggembirakan. Perdana Menteri Menachem Begin yang dikabarkan sakit, diduga lantaran menderita tekanan mental, kehilangan semangat untuk mengambil keputusan. Pada saat yang sama ekonomi Israel terseret pula ke situasi yang runyam. Agaknya inilah harga pertama yang harus dibayar Israel untuk kemenangannya yang gemilang atas PLO tahun silam.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus