DOR! Dua letusan pistol otomatis menembus kaca mobil Dursun
Aksoy. Peluru bersarang di dada dan di leher diplomat Turki di
Brusels itu. Ia tewas seketika. Dan esoknya pembantaian lebih
dahsyat terjadi di bandar udara Orly, Paris. Bom yang ditanamkan
di loket Turki, Jumat 15 Juli, meledak keras. Tujuh tewas, dan
55 orang luka-luka. Korban, sebagian besar, orang Turki juga.
Penelepon dari Paris dan Athena mengaku bahwa Tentara Rahasia
Pembebasan Armenia (ASALA) bertanggung jawab untuk pengeboman
tersebut.
Setelah mereda 12 hari, aksi kekerasan Armenia tiba-tiba
menjalar ke Lisbon, ibu kota Portugal. Sasaran ASALA, duta besar
Turki di sana. Tapi korban yang jatuh istri kuasa usaha dan
seorang polisi Portugis. Lima orang Armenia dari apa yang
disebut "barisan berani mati", harus menebus semua itu dengan
nyawa mereka.
Tapi nyali orang-orang Armenia itu tak ciut lantaran pembalasan
polisi. Selang beberapa jam setelah rekan-rekan mereka terbunuh
di Lisbon, ancaman baru langsung dilontarkan. Kedutaan Prancis
di Teheran akan diroket, begitulah bunyi ancaman itu kecuali
jika Pemerintah Prancis membebaskan 21 orang Armenia yang
ditahan (akibat ledakan Orly) dalam tempo 48 jam.
Perbuatan nekat ASALA dan kelompok teroris Armenia lainnya mulai
mengejutkan dunia sejak 8 tahun berselang. Sasaran mereka
umumnya para diplomat Turki yang ditempatkan di negara-negara
Eropa. Tercatat 39 diplomat Turki yang jatuh berguguran di
delapan penjuru angin. Menteri Luar Negeri Turki Ilter Turkmen,
Kamis pekan silam, mengimbau negara-negara Barat agar sedia
bekerja sama menumpas teroris Armenia yang disebut-sebut
tergabung dalam organisasi teroris internasional. "Sudah
terbukti bahwa dalam menghadapi teroris Armenia, sikap yang
tepat ialah tidak memberikan konsesi apa pun juga pada mereka,"
tandas Turkmen.
Antara orang Armenia dan pemerintah di Ankara sudah lama tak
akur. Dan tentang ini agak panjang riwayatnya. Alkisah,
tersebutlah bangsa Hay (Hayq), nenek moyang bangsa Armenia
sekarang, yang sejak dunia terbentang sudah menghuni kawasan
timur laut Turki. Kawasan ini mereka beri nama "Hayastan".
Bangsa ini dikenal berkebudayaan tinggi. Dan mereka telah
memeluk agama Kristen sejak abad I Masehi.
Orang Armenia pernah mengalami masa jaya di abad ke-14. Tapi
bangsa yang jumlahnya sedikit ini (sekarang tiga juta orang
terpaksa tunduk pada kekuasaan Turki, dan kemudian jatuh ke
tangan Rusia. Tanah air mereka pun akhirnya terpecah dua:
sebagian besar masuk wilayah Turki, sebagian kecil wilayah Uni
Soviet. Di negara yang disebut terakhir ini, Armenia resmi
disebut sebagai Republik Sosialis Soviet Armenia. Penduduknya
dua juta. Sisanya satu juta bermukim di wilayah Turki tapi
sebagian besar bertebaran dan terpencar ke tiga puluh negara di
dunia.
Bagaimana nasib malang itu bisa terjadi? Berabad-abad merasa
tertindas, semangat nasionalisme Armenia berkobar awal abad ini,
dikipas oleh para penulis dan seniman mereka. Kekejaman Dinasti
Ottoman di masa lalu kembali diungkit-ungkit. Tatkala Perang
Dunia I berkecamuk di daratan Eropa, Pemerintahan Ottoman dengan
gencar mengusir bangsa Armenia ke luar perbatasan. Dalam tragedi
berdarah yang terjadi tahun 1915 itu tercatat 1 3/4 juta jiwa
bertemperasan ke Suriah, Irak, dan Rusia -- sepertiganya
terbunuh atau mati tersiksa sepanjang jalan. Operasi penumpasan
Armenia di tahun 1915 itu merupakan tindakan biadab yang -- apa
hendak dikata -- luput dari perhatian dunia. Peristiwa yang
merendahkan martabat manusia ini, terjadi hampir 20 tahun
sebelum pemerintah Nazi Jerman melancarkan pembantaian yang
mengerikan terhadap orang Yahudi di Eropa.
Sekarang, sudah lewat 2 generasi. Bangsa Armenia berusaha
bangkit kembali seraya membalas dendam. Mereka menuntut agar
Turki masa kini mengakui dosa akibat perbuatan biadab di tahun
1915 itu. Kabinet Turki jatuh bangun, tapi pengakuan yang
dituntut Armenia tak kunjung diberikan. Sebab tuntutan mereka
sangat prinsipil: ganti rugi untuk pembantaian 1915, dan peluang
ke arah terbentuknya negara Armenia -- hal yang nampaknya tidak
akan ditolerir oleh rezim mana pun di Ankara.
Menghadapi jalan buntu di bidang diplomasi, orang Armenia lalu
mencari jalan lain. Mereka menggalang persatuan, terutama lewat
gereja. Adapun kesatuan politis buat memperjuangkan tanah air,
seperti PLO untuk bangsa Palestina, belum berhasil mereka
bentuk.
Tapi prakarsa ke arah itu bukan tak ada. Misalnya, kegiatan yang
ditempuh James Karnusian, seorang pendeta Protestan, keturunan
Armenia-Swiss. Dialah yang punya gagasan membentuk ASALA setelah
mengutarakan tanpa darah dan pembunuhan, perjuangan Armenia
tidak bakal diacuhkan dunia. Padahal, sokongan dunia, khususnya
PBB, bisa dimanfaatkan sebagai senjata ampuh. Lalu pada tahun
1975, ASALA pun mulai mengejutkan dunia dengan aksi terornya
yang pertama. Mereka mampu berbuat begitu sesudah dilatih PLO di
kamp-kamp pengungsian mereka di Libanon, tempat bermukim ¬ juta
orang Armenia.
Agaknya juga masih dalam upaya merampas perhatian dunia,
orang-orang Armenia itu menyelenggarakan pertemuan Lausanne,
Swiss. Tujuannya pengakuan internasional yang kemudian
ditingkatkan ke pembentukan negara Armenia. Tapi harus diakui,
peluang ke arah itu tipis sekali. Sebab teror ASALA menimbulkan
antipati di kalangan negara Barat. Amerika serikat bisa
dipastikan tidak akan menukar persahabatannya dengan Turki untuk
sebuah Armenia yang hampir hilang dari peta. Sementara Uni
Soviet tentu saja akan mengutamakan Republik Armenia-nya, yang
biarpun kecil bermanfaat sebagai bemper terhadap Turki --
anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Jalan menuju
negara merdeka bagi orang-orang Armenia tampak masih teramat
panjang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini