SEBUAH karung hanyut berbau busuk mengambang di Sungai Ciliwung
di Jakarta Utara, Kamis sore pekan lalu. Segera orang pun
berkerumun di pinggir kali di depan kompleks Akademi Ilmu
Pelayaran di dekat masjid. Bisik-bikik cepat menjalar: "Mayat
korban penembak misterius".
Polisi, yang mendapat laporan, segera tiba. Petugas dari Yayasan
Palang Hitam organisasi sosial yang mengurusi pemakaman --
didatangkan, lengkap dengan mobil jenazah. Kerumunan orang makin
membesar. Banyak yang menutup hidung, tidak tahan bau busuk yang
menyerang. Lalu lintas macet. Akhirnya karung yang mengeluarkan
bau yang dahsyat itu dibuka. Isinya: bangkai babi. Tak ayal,
gerutu dan caci-maki segera berlontaran. Kerumunan bubar.
Orang sekarang ini tampaknya seperti latah dengan berita "mayat
korban penembak misterius". Maklum: hampir setiap hari korban
memuat cerita -- dan foto -- korban, dengan tubuh berlubang oleh
sejumlah peluru. Terbuang.
Bahkan di Wonosobo, kota sepi di Pegunungan Dieng, Jawa Tengah,
dikabarkan sampai pekan lalu enam orang yang dikenal sebagai
penjahat ditemukan tewas tertembak. Tubuh mereka dihiasi rajah.
Hingga Rabu pekan lalu, di Pontianak, Kalimantan Barat, paling
tidak delapan korban penembak misterius telah ditemukan. Di
Samarinda, Kalimantan Timur, mayat Karim, yang dikenal sebagai
datok (pimpinan) penjahat setempat pekan lalu diketemukan
tergeletak di pinggir jalan Yos Sudarso.
Lalu di Jakarta dan Jawa Barat pun muncul istilah baru:
"petrus", kependekan dari penembak misterius. Salah satu korban
"petrus" di Jakarta yang terakhir, ditemukan Minggu pagi lalu di
pinggir jalan bebas hambatan Jagorawi. Sepuluh luka tembakan
dijumpai di tubuh pria berumur dua puluhan tahun. Tidak ada
identitas diri pada mayat itu. Bekas rajah di lengannya
tampaknya telah dicoba dihilangkan. Namun tato berwujud tulisan
di kaki kirinya "Aku rela demi kau," masih utuh.
Sepuluh lubang peluru yang mengkoyak habis tubuh korban,
ternyata bukan rekor. Dr. Abdul Mun'im Idries, Sekretaris
Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, mencatat seorang
korban penembakan misterius yang ditemukan 25 Juli di Jalan
Jagorawi dengan 11 lubang peluru malah ada yang "termakan" 12
peluru. "Kami juga pernah memeriksa mayat yang mempunyai lima
selongsong peluru di kepalanya," ujarnya. LKUI selama ini
menangani mayat korban kejahatan di Jakarta dan sekitarnya.
Belakangan ini ada lagi cara baru. EdiJoni, jeger (gali) Pasar
Johar, Karawang, 28 Juli pagi ditemukan tewas dipangkek
(dijerat) dengan tali plastik. Mayat Edi yang suka memeras sopir
dan pedagang itu ditemukan tersandar di sebuah kandang kambing
tak jauh dari rumahnya. Selain dijerat, kepalanya juga dibacok
dengan senjata tajam.
Menurut data yang tercatat di LKUI korban yang ditangani lembaga
tersebut sejak Mei sampai akhir Juli 1983 berjumlah 69. "Itu
kasus yang dilaporkan. Masih ada kasus-kasus lain yang tidak
dilaporkan," kata Mun'im.
Memang tidak semua korban penembakan misterius dilaporkan pada
yang berwajib. Sebabnya, ada rasa enggan masyarakat untuk
terlibat (Baca Box).
Karena itulah, jumlah korban penembak misterius hingga kini
tidak bisa diberi angka yang pasti. Selain tidak semua korban
dilaporkan, agaknya aparat kepolisian sendiri tidak mencatat
secara nasional angka tersebut. "Tidak ada korban penembakan
misterius yang masuk ke sini. Yang ada laporan laporan
ditemukannya mayat tak dikenal. Tetapi berapa jumlahnya hingga
kini perlu waktu untuk mentabulasinya," kata Kolonel (Pol) Sakir
Soebardi, Kepala Dinas Penerangan Mabak.
Hanya di beberapa daerah yang secara terbuka melakukan operasi
penumpasan kejahatan, jumlah korban ada catatannya. Menurut
Kapten (Pol) Tri Heru Wiyono, Dansatserse Kepolisian Komtabes 98
Semarang, sejak ... dilancarkan Februari lalu, tercatat sekitar
80 orang yang tewas. Sebagian besar tertembak karena, menurut
polisi, melarikan diri atau melawan petugas. Di Jawa Barat,
menurut Kopendak VIII Langlangbuana Letkol J.J. Manurip, "Yang
benar ada 89 mayat yang dilaporkan," katanya.
Tapi bila jumlah korban tampaknya akan tetap teka-teki, misteri
tersebar hingga kini tetap: siapa sebenarnya para penembak itu?
Banyak yang menuding pada aparat keamanan.
Ini terutama disimpulkan dari beberapa keterangan pejabat
sendiri. Di Bina Graha dua pekan lalu, misalnya, Wakil Ketua DPA
Ali Moertopo mengatakan penembakan misterius "dapat
dipertanggungjawabkan". Dan itu "justru menurut ketentuan yang
berlaku dalam pelaksanaan tugas hankam". Bagi bekas Menteri
Penerangan ini, sistem konvensional sudah tidak bisa mengatasi
masalah kriminal yang terjadi di Indonesia.
Indikasi lain timbul dari ucapan Ketua DPR/MPR Amirmachmud. Dua
pekan lalu secara pribadi ia menyatakan setuju pada adanya
penembak misterius dalam penumpasan kejahatan. Menurut
Amirmachmud pimpinan DPR setelah mengadakan rapat menilai usaha
pengamanan yang dilakukan pemerintah dianggap sukses: angka
kejahatan telah menurun sangat tajam.
Tentu saja, dukungan pada penembakan misterius itu mengundang
kecaman. "Pernyataan itu mencerminkan pikiran yang otoriter,"
kata Buyung Nasution, ketua Dewan Direktur Yayasan Lembaga
Bantuan Hukum (LBH). Menurut Buyung, LBH menganggap penembakan
misterius itu "tindakan pembunuhan berencana".
Seandainya prosedur pengadilan dianggap bertele-tele, kata
Buyung, "masih dapat dilakukan pengadilan kilat, yang masih
berada dalam jalur hukum".
Yang juga setuju dengan pengadilan kilat adalah bekas Wakil
Presiden Adam Malik. "Kita punya pengadilan. Bila perlu tangkap
pagi, sidangkan siang hari, dan sore hari kita tembak. Ini
berarti kematiannya karena keputusan pengadilan. Dan berarti
kita berjalan di atas landasan hukum," katanya.
Alasan keberatan yang berbeda dikemukakan oleh Mgr. Dr. Leo
Soekoto S.J. Uskup Agung Jakarta dan Sekretaris MAWI (Majelis
Agung Wali Gereja Indonesia). Ketidaksetujuannya terutama
didasarkan atas prinsip, bahwa hidup mati manusia tidak
ditentukan oleh manusia sendiri. "Ini menyangkut Sang Pencipta.
Ia sendiri adalah Juru Selamat bagi setiap manusia, dan ia
datang untuk menyelamatkan manusia. Yang jahat juga diberi
kesempatan untuk bertobat," katanya. Hukuman mati a la
pembunuhan misterius tidak memberikan kesempatan pada terhukum
untuk membela diri bertobat dan memperbaiki diri.
Di kalangan ulama Islam, rupanya masih ada perbedaan pandangan.
Bila Ketua MUI E.Z. Muttaqien tegas-tegas menentang pembunuhan
misterius, ada juga yang bersikap "bisa memahami". Misalnya,
yang diwakili Prof. K.H. Ibrahim Husen, ketua Komisi Fatwa MUI
dan Rektor Institut Ilmu Al Quran Jakarta.
Lulusan Universitas Al Azhar Kairo ini menilai para penjahat
yang selama ini keluar masuk penjara bukan makin insaf, tapi
makin merajalela kejahatannya. Akibatnya muncul fitnah dan hukum
yang tidak berwibawa. Fitnah hukumnya haram. Membunuh hukumnya
juga haram. "Tapi dalam Al Quran dijelaskan fitnah lebih keji
dari pembunuhan. Maka pembunuhan terhadap kejahatan itu
diperbolehkan dengan alasan akhaffu dlararain (memilih yang
lebih kecil risikonya)," kata Ibrahim Husen.
Ibrahim Husen juga menolak pendapat LBH. "Kalau LBH tidak
menyetujui hal-hal yang berbau kekerasan karena dianggapnya
tidak manusiawi, seharusnya LBH melihat pula bahwa apa yang
dilakukan para penjahat itu malah sudah jauh di luar kemanusiaan
yang paling rendah. Lalu hukuman yang berat apakah tidak
setimpal?" lanjut Husen.
Disimpulkannya: hukum penembakan misterius bisa dibenarkan pada
situasi yang sudah tidak memungkinkan lagi terciptanya keamanan
yang dikehendaki.
Sikap Ibrahim Husen agaknya sejalan dengan banyak kalangan Islam
yang menghendaki hukuman setimpal bagi kejahatan. Ini, misalnya,
tersimpul dari pendapat Almarhum Prof. Dr. Hazairin dalam buku
Tujuh Serangkai Tentang Hukum, yang menganggap Islam meneruskan
hukum Taurat: "jiwa dibalas dengan jiwa, mata dengan mata,
hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi,
dan luka dengan luka."
Menurut Hazairin, perampok, pencopet dan penodong, hukumannya
ialah dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kakinya,
atau dibuang ke tempat lain. Agaknya karena itulah hukum penggal
atau potong tangan seperti yang terjadi di Arab Saudi dianggap
sudah semestinya.
Namun suatu hal yang belum dibicarakan oleh Ibrahim Husen ialah
persoalan harus atau tidaknya hukuman dijatuhkan lewat sidang
mahkamah, yang kini tak terjadi pada para korban.
Tapi perlukah sidang mahkamah? Sebuah sumber TEMPO membantah
penembakan misterius ini dilaksanakan "asal saja" dan tanpa
prosedur. "Mereka sebetulnya sudah diadili secara in absentia,"
ujarnya. Calon korban bukan cuma residivis, tapi juga mereka
yang jelas telah melakukan kejahatan dan belum pernah ditahan.
Langkah pertama adalah menyusun daftar pelaku kejahatan yang
secara singkat dilengkapi dengan foto dan "daftar dosanya".
Proses terakhir adalah "menyidangkan" kasus kejahatan si
penjahat, tanpa kehadiran mereka. "Sidang" inilah yang
menetapkan apakah seseorang dieksekusi atau tidak.
Soalnya, tentu, dalam "sidang" seperti itu si terhukum tak
pernah bisa membela diri padahal ada kemungkinan mereka tak
bersalah. "Kebanyakan korban di Jakarta mempunyai badan yang
terawat bersih. Ini bisa dilihat dari kuku, gigi, dan perawatan
tubuhnya. Baju maupun celana mereka umumnya bagus," kata Abdul
Mun'im Idries. Petunjuk ini tentu belum menjamin mereka orang
baik-baik.
"Hampir 95 persen korban penembak misterius di Jakarta adalah
'lulusan' Lembaga Pemasyarakatan Cipinang," kata Hari Marzuki,
kepala LP Cipinang pekan lalu. Ia menyebut beberapa nama.
Sukartono, kepala Pembinaan LP ini, menambahkan "memang ada
mereka, yang satu atau dua hari setelah dibebaskan, dimuat di
surat kabar karena jadi korban penembak misterius."
Sekitar 20 orang tiap hari dibebaskan dari LP Cipinang yang saat
ini dihuni 1.500 narapidana. Kejadian belakangan ini tentu saja
membuat para narapidana yang akan bebas cemas. "Saya dan hampir
semua rekan memang sedikit takut dan resah," ujar Kikim, 25
tahun, yang pernah merampok bersama Johny Indo dan telah
menghuni LP Cipinang selama hampir 7 tahun.
Menurut Marzuki, belakangan ini mereka yang dibebaskan umumnya
langsung dijemput keluarganya dengan mobil dan segera
"diamankan" ke luar kota. Kabarnya di LP Bogor malahan ada
narapidana yang menulis surat kepada Kepala LP, meminta agar
bisa terus ditahan, walau masa hukumannya telah habis.
Alasannya: takut di-dor begitu ia melangkah keluar.
Yang juga menarik ialah taktik lain: dari beberapa daerah,
antara lain di Medan dan Surabaya, beberapa penjahat yang masih
bebas dikabarkan sengaja melakukan kejahatan ringan. Tujuan:
agar dibekuk petugas dan ditahan -- hingga bebas dari ancaman
penembak misterius.
Ketakutan seperti itu tentu akibat dipertontonkannya korban di
depan umum. Penembak misterius memang mencampakkan kebanyakan
korbannya begitu saja. Suatu sumber kepolisian menjelaskan, hal
ini sengaja dilakukan untuk menimbulkan dampak: masyarakat
merasa lega dan gembira karena kejahatan ditumpas, sedang
kalangan penjahat sendiri kecut dan ngeri. Untuk itu korban
sengaja dipilih mereka yang suka memeras dan mengancam
masyarakat, hingga keberanian masyarakat kembali timbul.
Tapi menurut sumber yang sama, tak semua korban penembak
misterius "diperagakan". Mereka yang dianggap "tak berguna",
atau kematiannya perlu dirahasiakan konon mayatnya dibuang di
tempat rahasia yang tak bisa ditemukan.
Tapi ternyata ada juga korban penembak misterius yang lolos. Ia
adalah Suwito, 37 tahun, di Sumatera Utara. Tanggal 26 Juli
siang, pemilik dua warung remang-remang di Lubuk Pakam (40 km
dari Medan) ini "dijemput" oleh lima orang yang mengatakan
memerlukan keterangannya. Tanpa curiga ia ikut naik ke mobil
Landrover putih penjemput. Dalam mobil, Suwito ditanya tentang
Usman Bais, pimpinan perampok terkenal dari Medan yang pernah
makan di warungnya. Suwito membantah punya hubungan dengan Usman
Bais. Ia juga menolak tuduhan bahwa modal usahanya berasal dari
hasil rampokan Usman dan kawan-kawan.
Menurut cerita Suwito, selama sekitar dua jam ia dibawa
berputar-putar di pinggiran Kota Medan dan sempat di foto dua
kali. Di Desa Hamparan Perak Medan yang sepi, ia dipaksa turun.
Bersama-sama dia, turun pula seorang penjemputnya. "Orangnya
sedang-sedang, tegap, tapi agak pincang," kata Suwito tentang
ciri-cirinya.
Begitu turun, si pincang mencabut pistolnya. "Tiga kali dor,
saya jatuh. Saya masih blsa mendengar salah seorang penjemput
menyuruh supaya kepala saya ditembak. Tapi orang yang diperintah
bilang saya sudah mati, setelah meraba perut saya," cerita
Suwito. Suwito memang menahan napas berpura-pura mati. "Mayat"
Suwito kemudian dilempar ke parit di pinggir jalan.
Setelah mendengar derum mobil pergi, Suwito merangkak keluar
parit, lalu berjalan kira-kira 200 meter menuju jalan raya.
Suatu truk yag mengangkut tebu disetopnya, yang kemudian
mengantarnya ke Puskesmas terdekat. Dari situ ia dijemput polisi
yang mengantarnya ke RSU Pirngadi, Medan. Di situ ia dioperasi.
Ada enam luka tembak di tubuh ayah dua orang anak ini.
Suwito lolos, tapi yang berwajib nampaknya tetap bisa
bergembira. Sebuah sumber di Kodak II Medan mengatakan, sejak
penembak misterius beroperasi di Medan pertengahan Juni lalu,
tindakan kejahatan dengan kekerasan "anjlok". Jumlah kejahatan
di Kota Medan tiap bulan antara 1.000-2.000 peristiwa, dan
sekitar 30% di antaranya dengan kekerasan. "Kini kejahatan
dengan kekerasan turun tinggal 10%," ujarnya.
Di Jakarta, Kadispen Mabak Kol. Sakir Soebardi juga mengatakan,
"Adanya penembakan misterius itu menyebabkan angka kriminalitas
menurun drastis." Sebagai contoh ia menyebut Yogyakarta, yang
jumlah kejahatan dengan kekerasan menurun dari 57 menjadi 20
kali sejak Januari sampai Juni. Sedang Semarang pada jangka
waktu yang sama dari 78 menjadi 50 kali.
Namun Jakarta tampaknya lain. Di Ibukota, munculnya penembak
misterius agaknya hanya berhasil membuat jerih para perampok.
Sampai akhir Juni 1983 jumlah perampokan yang terjadi 96 kasus,
jauh lebih rendah dibanding 685 (1982) dan 149 (1981). Namun
nyali penodong dan penjambret tampaknya tak menjadi ciut. Selama
setengah tahun 1983 ini, jumlah penodongan yang dilaporkan ada
2.010, dibanding 4.165 (1982) dan 2.116 (1981). Angka
penjambretan malah naik: selama 6 bulan pertama 1983 tercatat
1.941 kasus, dibanding 3.537 (1982) dan 2.266 (1981).
Mungkin tingginya angka kejahatan di Jakarta itu membuat warga
Ibukota mempunyai sikap yang lebih "keras". Ini tampak dari
suatu hasil pengumpulan pendapat TEMPO yang dipersiapkan untuk
menghadapi Hari Kemerdekaan mendatang. Poll ini mencakup sekitar
1 500 responden dari berbagai daerah dan lapisan masyarakat.
Hasil perhitungan sementara berasal dari 139 responden dari
Yogyakarta, Surabaya, Medan, Bandung, dan Jakarta. Menjawab
pertanyaan: Siapa saja yang pantas ditembak jawaban responden
adalah: koruptor kelas berat (25,64%), pengedar narkotik
(24,91%) dan perampok (20,51%). Namun bila dihitung tersendiri,
responden Jakarta menuding: perampok (28,41%), pengedar narkotik
(23,86%), dan pemeras (18,18%). Koruptor kelas berat cuma
memperoleh suara 14,77%.
Hasil sementara poll itu juga menunjukkan 64,75 persen dari
responden dapat membenarkan penembakan misterius, tapi dengan
catatan: asalkan yang ditembak mati itu mereka yang "benar-benar
terbukti melakukan kejahatan". Tidak jelas terungkap, apakah
pembuktian itu harus dilakukan lewat forum pengadilan atau
tidak.
Yang perlu dicatat ialah pengumpulan pendapat yang belum
seluruhnya dihitung itu dilakukan Juli yang lalu, di saat
penembakan misterius telah berlangsung beberapa bulan di
beberapa tempat. Faktor waktu ini perlu diperhitungkan, sebab
belakangan ini tampak gejala makin tumbuhnya kekhawatiran
terhadap berkepanjangannya tindakan keras ini. Agaknya mereka
yang di saat-saat awal mendukung penembakan misterius sebagai
terapi kejutan, kini mulai was-was.
Seperti kata Ketua Majelis Ulama Jawa Barat E.Z. Muttaqien:
"Ketika para penjahat ditumpas, masyarakat merasa lega. Tapi
rasa puas itu kini berbalik menjadi kekhawatiran jika tindakan
main hakim ini berlanjut. Saya khawatir pembunuhan yang dilarang
agama itu merembet ke soal-soal lain. Bisa kacau," katanya.
Toh di daerah lain sang "petrus" ternyata masih disambut
gembira. Di Ciamis, sewaktu pawai memperingati Hari Krida
Pertanian ke-II pekan lalu, beberapa peserta memerankan penjahat
yang dikarungan. Maksudnya: dibunuh dan kemudian dimasukkan
dalam karung. Sedang di Cianjur awal pekan lalu tiba-tiba muncul
selebaran gelap yang berbunyi "Selamat Datang di Cianjur Para
Penembak Misterius. Kami mendambakan Kehadiranmu."
Dukungan dari pejabat juga masih muncul. Sewaktu meresmikan
lapangan tenis di Manahan, Solo, Sabtu lalu, penjabat Gubernur
Jawa Tengah, Ismail, berkata: "Kalau masih ada gali di Solo
sini, jangan ragu, sikat saja. Telur-telur busuk itu mesti kita
pecahkan."
Ucapan itu disambut tepuk tangan meriah oleh hadirin. Tapi tepuk
tangan orang ramai nampaknya tak menyebabkan para cendekiawan
berhenti mempersoalkan. Seperti banyak suara lain dikalangan
ini, seorang ahli sosiologi hukum yang terkemuka, Pro. Dr.
Soerjono Soekanto, menganggap terjadinya pembunuhan misterius
ini suatu peringatan bahwa prosedur hukum di Indonesia tidak
berjalan dengan baik. "Ini berarti kita harus segera
membenahinya, karena pembunuhan misterius tidak akan dapat
menyelesaikan masalah."
Tapi sementara itu ada juga akibat penembakan misterius bagi
kehidupan sehari-hari. Silir, kompleks pelacuran yang beken di
Solo, kini menjadi sepi. Apakah kelengangan ini karena dulu
kebanyakan langganannya gali, atau sebab pengunjung ngeri pada
penembak misterius, tidak jelas benar.
Dolly, kompleks pelacuran kelas menengah di Surabaya, juga
tersodok penembak misterius. Sebelum penembak tanpa jejak itu
datang, biasanya paling tidak 40 sampai 50 kendaraan parkir tiap
hari. Sekarang rata-rata cuma 15 sampai 20 biji. "Ada penembak
misterius kok semakin sepi. Seharusnya kan makin ramai, sebab
sekarang aman," keluh tukang parkir di situ.
Para nelayan di berbagai daerah ikut tersikut. Di Indramayu,
Jawa Barat, misalnya, para konsumen mendadak hilang seleranya
menyantap ikan laut gara-gara berita adanya mayat korban
penembak misterius yang dihanyutkan ke laut. Yang memetik
keuntungan penghasil telur bebek. Jika sebelumnya harga per
butirnya sekitar Rp 70, setelah penembak misterius beraksi
harganya naik menjadi Rp 90.
Penembakan misterius telah pula membuat kebanyakan para pemilik
tubuh yang bertato pecah nyalinya. Gembar-gembor pemberitaan
koran bahwa sebagian besar korban adalah pemuda bertato membuat
banyak pemuda dengan berbagai cara berusaha menghilangkan rajah
mereka. Kebanyakan mereka tidak berhasil -- karena hanya dengan
operasi plastik rajah itu bisa diangkat.
Kasus salah tembak pernah juga terjadi. Menurut Syamsudin Manan
dari LBH Medan, sejak ada penembakan misterius, tujuh keluarga
korban mengadu ke kantornya. Sepekan sebelum Lebaran, satu dari
pengadu mencabut pengaduannya. Alasannya: pihak keluarga korban
sudah berdamai dengan penembak gelap.
Kata keluarga korban, seperti ditirukan Syamsudin Manan,
penembak gelap ternyata salah sasaran. Menyadari itu utusan
penembak gelap datang ke rumah korban dan memberi uang duka
perdamaian Rp 1,5 juta. Menurut cerita keluarga korban, utusan
penembak gelap itu berpakaian seragam polisi. Tapi pihak
kepolisian Medan tegas membantah hal itu. "Mungkin penembak
gelap itu menyamar untuk mengaburkan identitas mereka," ujar
sumber TEMPO di kepolisian Medan.
Kemelesetan itu tentu tidak mustahil. Juga adanya orang yang
memanfaatkan suasana. Di Jakarta, dua pekan lalu, beberapa
pemuda tertangkap basah sewaktu sedang memeras pemuda lain yang
bertato. Suatu Sumber TEMPO memastikan, di Yogyakarta dua orang
gali telah "dijemput" beberapa oknum yang mengaku petugas
keamanan.
Sulitnya, orang umumnya tak tahu lagi mana petugas nama
penteror. Nasib mereka yang "dijemput" oleh orang yang mengaku
petugas keamanan hingga kini tetap gelap. Misalnya, beberapa
pimpinan organisasi eks narapidana seperti, Effendy Tallo, dari
Yayasan Bina Kemanusiaan, serta Agus T.G.W., dan Eddy Menpor
dari Prems. Kehilangan beberapa tokohnya membuat organisasi
seperti Prems nyaris bubar. Kantor pusat Prems di daerah Senen,
Jakarta Pusat pekan lalu tampak sepi. Papan nama organisasinya
sudah dicopot. Yang ada cuma seorang wanita tua yang berjualan
minuman di depan tangga kantor.
Mungkin hal-hal semacam itu memang merupakan kejadian yang tak
terelakkan setelah peristiwa yang terjadi selama ini.
Apalagi mengingat terjadinya penembakan misterius itu membuat
sulit posisi pemerintah. "Peristiwa ini menimbulkan akibat
samping positif dan negatif," kata seorang pejabat. "Yang
negatif, timbul kesan telah terjadi pelanggaran hukum. Dan yang
dituduh adalah aparat keamanan. Namun segi positifnya:
penembakan misterius telah menurunkan angka kejahatan dan
menimbulkan rasa aman pada rakyat serta rasa takut pada
penjahat," katanya lagi.
Menurut sumber tersebut, akibat positif ini bisa dimanfaatkan
sedemikian rupa hingga suatu saat nanti masyarakat berani
melawan pelaku kejahatan. Dan justru karena itulah pemerintah
cenderung diam -- kecuali ucapan beberapa pejabat yang sudah
terdengar ke publik. Disimpulkannya: "Kalau pemerintah membantah
atau secara terbuka menjelaskan masalah ini, efek positif ini
bisa hilang.
Kini -- apabila orang bisa setuju terhadap cara yang dipakai --
tentu masih harus dilihat seberapa jauh timbul keberanian rakyat
sendiri menghadapi perampok dan pemeras yang mendatangi. Dan
tentu saja: seberapa lama penembakan-penembakan yang terjadi
bisa terus tanpa justru menyebabkan rasa tidak tenteram yang
baru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini