Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Pohon-Pohon Koka di San Vincente

3 September 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

San Vicente del Caguan adalah sebuah kota kecil di pinggir hutan. Kota itu membentang dari Lembah Andean, Kolombia, ke pinggiran Sungai Amazon. San Vicente memiliki alun-alun dan jalan kecil yang membelah kota dengan pohon-pohon mangga di sisi jalan. Bangunan gereja dan gedung kota madya berdiri anggun di kedua ujung jalan itu.

Tata kota San Vicente sangat bergaya tradisional Spanyol. Tapi napas kehidupan di sana sungguh menggairahkan. Kafe-kafe yang selalu ramai oleh pengunjung, musik, dan perempuan-perempuan berdandan dan bergincu tebal ditimpa kemilau sinar matahari itu terletak di jalanan yang riuh dengan kompetisi suara sepeda motor dan lenguhan sapi. Toko-toko memajang barang-barang yang mencitrakan kekenesan warganya, seperti sepatu hak tinggi, perhiasan permata plastik, dan bulu mata palsu.

Suasana itu sungguh berbeda dengan kondisi San Vicente pada awal 1950-an. Kawasan itu penuh dengan orang-orang miskin, korban perang yang mencoba bertaruh mencari kehidupan baru. Ada yang sukses menjadi peternak, tapi ada juga yang gagal: mengembara ke hutan dan menghilang.

Syahdan, 10 tahun silam serombongan pendatang baru yang miskin tapi memiliki jiwa petualang tiba di sana. Mereka mencari tanaman koka, yang pohonnya menyerupai tanaman teh, kemudian memprosesnya menjadi kokain. Karena harga kokain begitu tinggi, kondisi ekonomi San Vicente meroket. Tapi karena kokain barang terlarang, untuk mempertahankan perdagangannya mereka membutuhkan perlindungan kelompok milisi FARC.

Sejak itu, warga kota kecil tersebut menjalin hubungan khusus dengan milisi FARC, yang melindungi peladang koka di San Vicente dari tangan pemerintah Kolombia yang antikokain. Hingga 1990-an, San Vicente sudah dipenuhi dengan bonanza kokain, sementara milisi FARC bisa mengantongi US$ 600 juta setahun dari jasa keamanan dan aksi penculikan.

Berkat penjualan kokain, FARC—milisi Marxis-Leninis yang didirikan oleh seorang petani bernama Tiro Fijo pada 1964—mampu mengobarkan perang sipil selama 35 tahun. Sampai saat ini, FARC memiliki 17 ribu tentara terlatih—30 persen di antaranya perempuan—senjata mesin jenis FAL dan AK-47, dan menguasai 30 persen wilayah Kolombia. FARC menjelma menjadi kekuatan yang luar biasa, tempat rakyat Kolombia berlindung. Anak-anak remaja 15 tahun di kawasan yang dikontrol FARC secara otomatis ikut latihan militer FARC.

Keberadaan FARC kemudian juga memicu tumbuhnya milisi-milisi lain di Kolombia, hingga saat ini jumlahnya sudah mencapai 15 milisi yang ''memiliki sumber hidup" kokain dan heroin. Hal itu mengakibatkan konflik bersenjata di Kolombia semakin rumit saja karena terjadi persaingan antarmilisi. FARC sering juga diserang oleh milisi lainnya, terutama Tentara Pembebasan Nasional (ELN).

Semakin bersenjata, bisnis dan polah FARC juga makin beragam. FARC tidak hanya terbatas mengeruk uang dari penjagaan keamanan perkebunan koka, tapi juga penculikan. Orang-orang terpilih yang diculik FARC adalah kalangan kaya raya. Setelah mereka diculik, dengan segera FARC mengetahui jumlah uang yang disimpan di bank. Jika harga orang yang diculik tidak sesuai, orang itu langsung dibunuh. Kolombia tercatat sebagai negara yang memiliki tingkat penculikan tertinggi di dunia, yaitu delapan orang per hari.

Bahkan, sejak Agustus 1996, FARC sudah berani berperang terbuka dengan kekuatan pemerintah Kolombia. Milisi itu menyerang basis militer pemerintah untuk pertama kalinya dan menahan 60 prajurit. Selanjutnya, serangan terhadap kantor-kantor polisi di pelosok Kolombia menjadi insiden yang biasa terjadi.

Selain mereka memiliki modal uang dan senjata, milisi FARC mampu menumbuhkan loyalitas pengikut dan simpatisannya. Masyarakat begitu percaya pada Manuel Marulandan, pemimpin FARC, terutama karena kelompok itu berhasil menanamkan keyakinan untuk menolak membayar pajak karena pemerintah tidak memiliki hak untuk menarik pajak, untuk tidak menganggap penting penjara pemerintah, bahwa penculikan bukan kejahatan melainkan pemerataan pendapatan. Keyakinan terhadap nilai-nilai seperti itu membuat pemerintah Kolombia semakin sulit mengendalikan FARC, apalagi memberantas peredaran obat bius.

Pada Januari 1999, San Vicente menjadi tempat perundingan damai pertama antara pemerintah Kolombia dan milisi FARC. Presiden Andres Pastrana datang ke kota kecil pinggir hutan itu untuk bertemu dengan Marulandan, yang kini sudah berusia 80-an tahun. Tapi, pembicaraan damai tersebut tidak menghasilkan kesepakatan apa pun antara FARC dan pemerintah karena FARC menolak gencatan senjata.

Pada akhirnya San Vincente tetap menjadi kota kecil bergaya Spanyol tradisional. Kehidupan di dalamnya tidak akan berubah banyak: semarak, berkecukupan, bergincu, dan beraroma kokain.

BB (dari berbagai sumber)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus