Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Polemik Laut Cina Selatan Dibahas dalam Pertemuan Menlu G7

Menlu-menlu negara anggota G7 sepakat tidak ada dasar hukum bagi klaim maritim ekspansif Beijing di Laut Cina Selatan.

28 November 2024 | 18.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Para menteri luar negeri (menlu) negara anggota G7 sepakat menolak segala bentuk upaya untuk mengubah status quo dengan paksaan terkait dengan isu Laut Cina Selatan. Sebab tidak ada dasar hukum bagi klaim maritim ekspansif Beijing di Laut Cina Selatan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Kami tegaskan kembali penolakan kami terhadap militerisasi Cina, kegiatan pemaksaan, dan intimidasi di Laut Cina Selatan," demikian pernyataan bersama menlu-menlu negara anggota G7, Selasa, 26 November 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Para menlu juga menegaskan akan tetap mengakui ketentuan soal Laut Cina Selatan yang diatur dalam Konvensi Hukum Laut PBB atau UNCLOS. Mereka turut menentang pengerahan pasukan penjaga pantai dan milisi maritim oleh Beijing di Laut Cina Selatan dan penghalangan berulang-ulang terhadap kebebasan navigasi serta penerbangan negara-negara lain.

Menlu-menlu anggota G7 mengkritik meningkatnya manuver berbahaya dan meriam air oleh Beijing terhadap kapal-kapal Filipina dan Vietnam di kawasan tersebut. Tak hanya itu, para menlu tersebut menyinggah putusan yang dijatuhkan Mahkamah Arbitrase Internasional pada 12 Juli 2016 soal Laut Cina Selatan. 

Sebelumnya, kunjungan luar negeri pertama Presiden RI Prabowo Subianto langsung ke Cina pada 9 November lalu menuai kegaduhan. Pasalnya, para ahli hukum internasional dan hubungan internasional menganggap pernyataan bersama Presiden Prabowo dan Presiden Cina Xi Jinping sebagai kemunduran dalam diplomasi Indonesia di Laut Cina Selatan.

Dalam butir 9 pernyataan bersama itu, Indonesia-Cina mencapai kesepahaman penting untuk menjalani pengembangan bersama di wilayah-wilayah tumpang-tindih. Guru besar hukum internasional Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana, mempertanyakan wilayah tumpang tindih tersebut. Dia menduga kawasan itu adalah perairan di timur laut Kepulauan Natuna, lokasi persinggungan zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia dan sembilan garis putus atau nine dash line Cina. Perairan itu dikenal dengan Laut Natuna Utara. 

"Jika benar, berarti kebijakan luar negeri Indonesia ihwal sembilan garis putus berubah drastis, fundamental, dan berdampak pada geopolitik kawasan," ujar Hikmahanto kepada Tempo pada Selasa, 12 November 2024.

Cina mengaku sebagai penguasa sekitar 90 persen Laut Cina Selatan. Klaim itu pertama kali dikemukakan pada 1948 lewat penggambaran sebelas garis putus di peta mereka yang menjorok jauh hingga mendekati Vietnam di timur, Filipina di barat, serta Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam di selatan.

Seiring berjalannya waktu, jumlah garisnya berubah-ubah. Bisa sembilan, sepuluh, atau sebelas. Namun masyarakat internasional lebih mengenalnya sebagai nine dash line.

Batas wilayah perairan tersebut merupakan klaim sepihak berdasarkan lokasi penangkapan ikan tradisional Cina. UNCLOS—Indonesia dan Cina termasuk di antara 168 pesertanya—tidak mengakuinya. Pada 2016, Mahkamah Arbitrase Internasional menyatakan klaim tersebut tidak memiliki dasar dalam hukum internasional.

Reza Maulana ikut berkontribusi dalam penulisan artikel ini. 

Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini

 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus