DIA bukanlah tipe pengantin yang tertunduk malu dengan pipi bersemu merah. "Saya pengantin modern, saya bukan gadis 16 tahun," tuturnya beruntun. "Saya tidak akan tersipu-sipu, saya akan melangkah dengan mantap." Itulah ungkapan jiwa Benazir Bhutto, 34 tahun, hanya beberapa hari sebelum pernikahannya yang diselenggarakan Jumat pekan silam di Karachi. Benazir menolak membayar mas kawin kepada pihak mempelai pria -- satu keharusan dalam tradisi di sana. Lalu apa lagi? "Benazir Bhutto tidak berhenti menjadi dirinya saat ia menikah. Ia tetap pribadi yang sama," katanya kepada sejumlah wartawan Barat yang beruntung diperbolehkan meliput pesta perkawinannya, sementara tak seorang pun wartawan lokal diizinkan hadir. Adalah wartawan asing itu yang mencatat banyak hal: bahwa Benazir tidak akan mengubah namanya, tidak akan meninggalkan kancah politik, dan tidak mengizinkan suaminya terjun di bidang yang sama. Asif Ali Zardari, 34 tahun -- hanya satu bulan lebih tua dari Benazir -- tampaknya memahami sekali tuntutan calon istrinya itu. Lulusan London School of Economics ini adalah seorang pengusaha sukses, pemain polo, dan sedikit pun tidak berminat pada politik, kendati ayahnya Hakim Ali Zardari adalah bekas anggota Parlemen dan kini masih terdaftar sebagai anggota Partai Nasional Awami yang berhaluan kiri. Perlu dicatat bahwa perkawinan itu tidak berpangkal dari cinta -- semua diatur oleh ibu Benazir, Begum Nusrat Bhutto, istri mendiang Presiden Zulfikar Ali Bhutto dengan keluarga Zardari. Namun, cinta bukanlah yang paling utama bagi pasangan itu. "Mengakhiri kediktatoran Zia adalah tujuan hidup saya, karena saya percaya pada demokrasi. Perkawinan tidak mengubah keyakinan ini ...." ucap Benazir tandas. Berkumis tebal dengan kulit agak gelap, Zardari tetap merendah jika pembicaraan dikaitkan dengan Benazir. Katanya dia siap membantu dalam percaturan politik, ia juga tidak akan merintangi aktivitas politik istrinya. Lalu rumah tangga bagaimana? "Walaupun seharian berpolitik, saya yakin kalau di rumah ia juga bisa hidup tanpa politik," jawabnya ringan. Perkawinan luar biasa ini telah mengundang perhatian yang juga luar biasa. Sekitar 100.000 orang mengelu-elukan mempelai dalam satu pesta rakyat, yang dimeriahkan kembang api, musik, dan slogan-slogan politik. Bendera kecil Partai Rakyat Pakistan -- partainya Benazir, dikibarkan di mana-mana. Dalam pesta di kawasan miskin Lyari, seorang wanita yang menonton dari balkon rumahnya tewas disambar peluru, beberapa lainnya cedera. Ini terjadi karena ada yang menembak-nembakkan senapan semi otomatis ke udara. Tapi suasana resepsi di vila milik Benazir, di pantai Clifton, Karachi, berlangsung apik. Pernikahan diselenggarakan menurut tata cara Islam, diikuti jamuan makan siang yang dihadiri 1.000 tamu terkemuka, termasuk politikus dan diplomat. Namun, tak seorang pun pejabat tinggi pemerintah Zia diundang ke sana. Banyak pengamat politik berpendapat bahwa perkawinan Benazir akan memudarkan mistik yang selama ini melambungkannya ke kemasyhuran. Sebagai wanita mandiri, karismanya diperkirakan lebih hebat. Bagi banyak anggota partai, perkawinan Benazir juga sungguh mengejutkan. Mereka selama ini mengira, Benazir sudah mencoret perkawinan dari kamusnya, untuk membaktikan seluruh jiwa dan raga pada perjuangan menggulingkan Zia. Ternyata, dugaan itu meleset. Zia tampaknya masih kuat bertahan, sedangkan PM Junejo lebih memantapkan diri lewat kemenangan yang diraih partainya: Liga Muslim Pakistan, dalam pemilihan pemerintahan daerah, 30 November silam. Justru di situ partainya Benazir kalah berat, hingga diakui, "adanya kegagalan serius." Mungkin, karena itu ribuan anggota partai melampiaskan emosi dalam pesta Benazir, melupakan dendam atas Bhutto yang digantung dan putrinya yang kini "tersandung".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini