Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Politik = uang

Seorang anggota parlemen bila berminat naik ke puncak kekuasaan memerlukan sumber dana untuk menebusnya. dana tersebut sebagian besar bersumber dari sumbangan perusahaan-perusahaan, seperti recruit co.

6 Mei 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

POLITIK dan uang bagaikan dua sisi berbeda dalam satu koin. Krisis yang mengakibatkan PM Takeshita mengundurkan diri tak lain lahir dari kondisi atau aturan main tak tertulis yang berlaku di Jepang. Dalam pola pergaulan politik dan sosial si negeri itu, seorang anggota parlemen yang berminat naik ke puncak kekuasaan tak hanya harus pintar, tapi perlu sumber dana untuk menebus ambisinya. Coba simak ini, dalam tahun ketika tak ada pemilu, seorang anggota parlemen harus sanggup menghimpun dana US$ 1 juta untuk membayar staf dan memanjakan barisan pemilihnya. Bagaimana bentuk penggunaan uang itu bisa dilihat, misalnya, dari hasil sebuah survei yang dilakukan oleh surat kabar Asahi Shimbun terhadap 100 orang anggota parlemen dari LDP. Seorang politikus mengeluarkan dana rata-rata per tahun 94,7 juta yen. Yakni untuk mengongkosi kantor di Tokyo dan di wilayah pemilihan (rata-rata 2,5 juta yen) menyumbang upacara pernikahan dan pemakaman rata-rata 30 kali sebulannya (jadi hampir tiap hari), dan memerlukan anggaran paling tidak 550 ribu yen. Sebab, supaya memperoleh simpati, seorang politikus anggota parlemen yang menghadiri pemakaman paling tidak memberi salam tempel 10 ribu yen (sekitar 150 ribu). Atau 20 sampai 30 ribu yen untuk tiap upacara perkawinan. Sedangkan untuk kehidupan pribadi, mereka rata-rata mengeluarkan 2,52 juta yen per bulan. Tanggung jawab pergaulan, seperti mentraktir minuman dan makan, 800 ribu yen. Biaya komunikasi, termasuk ongkos telepon, saban bulan 730 ribu yen. Transportasi ke wilayah pemilihan 190 ribu yen. Demikianlah harga sebuah ambisi politik seorang anggota parlemen. Bagi ketua suatu fraksi pengeluarannya sebagai tebusan atas ambisinya lebih besar lagi -- hitungannya tidak lagi juta yen tapi milyar -- agar para pendukungnya tetap setia. Dana tersebut sebagian besar (rata-rata 39%) bersumber dari sumbangan perusahaan-perusahaan, katakanlah seperti Recruit, yang berminat mengambil keuntungan dari kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah hasil usulan anggota parlemen. Lalu dari partai ada sumbangan sekitar 17%, sumbangan pribadi 15%, dari politikusnya sendiri 12%, dari fraksi 9%, dan pinjaman 8%. Dalam pola peradaban politik seperti itu, tak mustahil jika suatu kali seorang yang memerlukan dana tambahan terpeleset. Namanya juga manusia, yang terkadang lengah. Atau ada yang merasa bahwa sekandal kecil-kecilan -- lazimnya dalam bentuk pembelian saham melalui jalur khusus sehingga murah dan menjanjikan untung besar. Pembelihan saham secara menyalahi hukum ini makruh saja, konon, demi peningkatan anggaran kegiatan politik. Ada juga yang dengan enteng menerima segala bentuk jamuan dari suatu peruahaan. Padahal, yang begitu itu diharamkan oleh etika politik Jepang dan masuk dalam katagori penyuapan. Contoh kejadiannya antara lain menimpa Shigeru Kano, 55 tahun, bekas pejabat Departeman Perburuhan. Ia ditangkap karena menerima 1,51 juta yen dalam bentuk traktiran makan-minum dan main golf. Takashi Kato, 59 tahun, Wakil Menteri Perburuhan Bidang Administrasi, disekap pula lantaran mendapatkan kertas saham Recruit Cosmos. Lalu Konio Takaishi, 59 tahun, Wakil Menteri Pendidikan Bidang Administrasi, yang ditangkap oleh sebab yang sama dengan Takashi Kato. Imbalan yang diberikan Takaishi antara lain membuka kesempatan bagi staf Recruit untuk duduk dalam komite-komite yang berhubungan dengan bidang pendidikan. Padahal, sudah ada undang-undang pengontrol dana kegiatan politik, yang direvisi pada 1976. Rupanya, aturan yang antara lain membatasi jumlah sumbangan sebuah perusahaan atau serikat buruhnya untuk sebuah organisasi politik atau politisinya itu sendiri ini masih bisa dilanggar. Sehingga kali ini, seiring dengan terbongkarnya kasus Recruit, sebuah usulan konsep pengawasan telah diajukan. Pengusulnya Shuzo Hayashi, bekas direktur Biro Legislatif Kabinet. Intinya menyangkut tiga hal: menegakkan etika politik pengamanan terhadap dan samar-samar untuk kegiatan politik dan memperkuat sistem yang mengatur pengungkapan jumlah kekayaan seseorang. Di dalamnya diusulkan agar semua anggota Diet (parlemen) mengumumkan kekayaan mereka. Sekarang ini baru menteri kabinet yang melakukannya. Pemberian hadiah pada upacara perkawinan dan pemakaman diupayakan juga untuk dihentikan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus