Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Politisi Kanan di Pentas Politik

Apa untung dan ruginya Italia dipimpin oleh seorang Silvio Berlusconi?

20 Mei 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bagi warga Italia, pria perlente itu memiliki dua wajah: politisi ulung dan konglomerat yang berhasil. Silvio Berlusconi, 65 tahun—kandidat perdana menteri Italia dalam pemilu yang telah dimulai hari Minggu kemarin—adalah potret manusia yang menggenggam dua modal penting dalam kehidupan seorang politisi: uang dan kekuasaan.

Modal itulah yang dipakai Berlusconi menjelang pemilu di negara itu. Sebagai politisi, ia memimpin Forza Italia (artinya, Ayo Italia). Ini partai terbesar dalam aliansi lima partai berhaluan kanan di Italia. Sebagai pengusaha, ia memiliki kekayaan hingga US$ 11 miliar (sekitar Rp 110 triliun pada kurs Rp 10 ribu), yang tersebar dalam berbagai perusahaan.

Pria yang menyelesaikan studi hukum di Universitas Milan ini bukan pendatang baru dalam panggung politik Italia. Pada 1994, setahun setelah mendirikan Forza Italia, ia menjadi perdana menteri. Sistem parlementer yang berlaku di negeri itu memungkinkan pergantian kekuasaan dengan cepat. Tujuh bulan kemudian. Romani Prodi, dari aliansi sayap kiri, menumbangkan sang perdana menteri. Toh Berlusconi terus berupaya meraih kembali puncak kekuasaan yang pernah dia tempati. Caranya?

Sebagian melalui jalur politik. Tapi sebagian besar lainnya melalui jalur bisnis—lewat konglomerasi yang telah dirintisnya sejak tahun 1960-an. Salah satu bisnis Berlusconi adalah stasiun televisi. Saat ini ada dua jaringan televisi di Italia: RAI milik pemerintah dan Mediaset milik Berlusconi. Mediaset kini menguasai 60 persen belanja iklan di televisi di negara itu. Selain memiliki televisi, konglomerat itu juga memiliki il Giornale, koran terbesar di sana, dan Mondadory, sebuah penerbit buku, selain bisnis properti yang juga maju pesat. Dengan semua kekayaan itu, kemajuan ekonomi merupakan janji—terutama bagi penduduk Italia Selatan yang relatif miskin—yang selalu dia ucapkan kepada pendukungnya.

Tapi uang adalah pisau bermata dua. Selain mendatangkan dukungan, terutama dari kalangan bisnis, Berlusconi juga menerima hujatan. Ia, misalnya, telah lama dituding menjalin transaksi di bawah meja dengan mafioso Italia, melakukan pencucian uang, penggelapan pajak dan penyuapan, serta praktek bisnis terlarang. Tak semua tuduhan itu terbukti, memang. Dan kubu Berlusconi membantah semua tudingan ini. "Satu-satunya kelemahan Berlusconi adalah bahwa dia lebih pintar dan lebih kaya daripada lawan-lawan politiknya," kata Fedele Confalonieri, salah seorang pemimpin Mediaset.

Hambatan lain bagi kepemimpinan Berlusconi, sikap koalisi sayap kanan yang dipimpinnya terkesan memusuhi Uni Eropa (UE), kesatuan negara-negara Eropa Barat yang pembentukannya dimotori justru oleh Italia. "Uni Eropa adalah Uni Soviet bagi negara- negara Eropa, yang hanya akan merampok kedaulatan Italia," kata Umberto Bossi, pemimpin Liga Utara, salah satu partai politik dalam aliansi Berlusconi.

Kelemahan ini dimanfaatkan oleh Francesco Rutelli, seteru Berlusconi dari koalisi partai-partai sayap kiri. "Kepemimpinan Berlusconi hanya akan menjadikan Italia terkucil," kata Rutelli. Sikap UE yang tak menyukai Berlusconi juga bukan tanpa alasan. Selain karena penolakan terhadap UE tadi, sebagian besar negara Eropa kini dikuasai oleh partai-partai beraliran kiri yang lebih progresif, terutama terhadap isu-isu aliansi antarnegara, termasuk penerimaan imigran asing. Berlusconi sadar akan hal itu.

Maka, beberapa pekan sebelum pemilu, umpamanya, ia telah menjalin kontak dengan Kanselir Jerman Gerhard Schroder dan beberapa negara lain untuk menjelaskan masalah ini. Toh, langkah itu tak menyurutkan serangan dari pihak Rutelli. Bekas wali kota Roma ini memang hanya memiliki sedikit senjata untuk melawan Berlusconi—dua di antaranya adalah popularitas dan sikap pribadinya yang simpatik.

Terlepas dari plus minus itu, publik Italia sendiri tak terlalu peduli. Meski tingkat partisipasi pemilu cukup tinggi, "Masyarakat sebetulnya sudah capek dengan politik," kata Lawrence Gray, profesor ilmu politik di Universitas John Cabot, Roma. Italia, yang telah 57 kali berganti perdana menteri—dalam kurun waktu 56 tahun—masih tetap dililit problem klasik: kesenjangan ekonomi yang tinggi dan peran mafia yang belum juga surut. Tantangan itulah yang harus dijawab oleh siapa pun yang menang dalam pemilu.

Arif Zulkifli (The Economist, CNN)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Silvio Berlusconi vs Francesco Rutelli
Francesco Rutelli Silvio Berlusconi
Pendukung: Aliansi Sayap Kiri
- Partito Popolare Italiano (sebelumnya adalah sayap kiri dari Partai Kristen Demokratik
- innovamento Italiano
- Democratici (partai asal Rutelli)
- Unione Democratici per l'Europa
- Socialisti Democratici Italiani (kelanjutan dari Partai Sosialis Italia)
- I Verdi (Partai Hijau)
- Democratici di sinistra (sebelumnya Partai Komunis dan Sosialis)
- Partito dei Comunisti Italiani
Pendukung: Aliansi Sayap Kanan
- Forza Italia
- Alleanza Nazionale (semula Partai Neofasist)
- Lega Nord (partai populis)
- Partai Demokratik Kristen
- Partai Uni Demokratik Kristen