Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
CANBERRA - Kemenangan "mukjizat" Perdana Menteri Australia Scott Morrison dari Partai Liberal pada akhir pekan lalu begitu menakjubkan. Sebab, pemerintah diprediksi kalah dalam hampir setiap jajak pendapat sejak 2016.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelum pemilihan umum berlangsung, sejumlah lembaga survei ternama, seperti Newspoll, Ipsos, Essential, YouGov Galaxy, dan Roy Morgan, memprediksi Partai Buruh (ALP) akan mengambil alih pemerintahan dari tangan partai koalisi konservatif, Liberal dan Nasional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Angka yang mereka rilis, jika dikombinasikan, adalah 51,7 persen untuk kemenangan ALP dan 48,3 persen untuk Koalisi-untuk penghitungan suara dua partai. Bahkan lembaga-lembaga survei ini sejak Agustus 2018 memprediksi kemenangan oposisi ALP, yang akan mendudukkan Bill Shorten sebagai perdana menteri menggantikan Morrison.
Namun hasil pemilu menunjukkan sebaliknya. ALP menderita kekalahan telak, terutama karena suara di daerah-daerah pemilihan di Negara Bagian Queensland disapu bersih oleh Koalisi, status quo di Australia Barat, serta hasil yang kurang menggembirakan di Victoria.
Kekeliruan terbesar lembaga-lembaga survei adalah memprediksi perolehan suara pertama (primary vote) partai koalisi. Selisih kekeliruan ini sekitar 51-49 persen untuk ALP dengan hasil pemilu 57-43 persen untuk Koalisi.
Newspoll lembaga survei yang paling dihormati menyatakan kondisi ini merupakan "rekor terburuk" lembaga survei di Australia.
"Ini belum pernah terjadi di Australia. Kami melihat kekeliruan lembaga survei di Amerika Serikat, Inggris, dan negara lain, tapi itu belum pernah terjadi di sini. Baru sekarang ini," kata David Briggs, Direktur Pelaksana YouGov, yang menjalankan survei Newspoll. "Untuk pertama kalinya dalam 30 tahun, kami benar-benar minta maaf tidak seakurat yang kami bisa."
Lembaga survei memang memprediksi pemilu di 30 daerah pemilihan di Queensland mungkin akan dimenangi Koalisi, tapi tidak ada satu pun yang memprediksi ALP akan menderita kekalahan besar di sana. Sejauh ini oposisi diperkirakan maksimal hanya menang di 6 dapil.
"Saya pikir kami perlu membangun kembali kepercayaan publik atas kegunaan dan kredibilitas polling," ujar Craig Young, Presiden Asosiasi Pasar dan Organisasi Riset Sosial Australia, kepada Reuters, kemarin. "Kami akan melakukan peninjauan jajak pendapat pemilu, khususnya metodologi dan praktik pengambilan sampel yang dilakukan, untuk mengetahui mengapa mereka tidak akurat."
Kegagalan lembaga polling Australia mendapatkan hasil yang akurat memicu seruan agar lembaga-lembaga itu segera memperbaiki diri. Sebab, kesalahan prediksi mereka juga menyebabkan para politikus terdepak dari kursi mereka. Baik Tony Abbott maupun Malcolm Turnbull, Perdana Menteri Australia sebelum Morrison, dipaksa mundur dari jabatan itu karena hasil jajak pendapat Koalisi yang buruk.
"Satu hal yang saya lihat adalah bagaimana lembaga survei merusak demokrasi. Kami menyaksikan bagaimana hasil prediksi mereka sangat jauh dari fakta," tutur Peta Credlin, mantan kepala staf Abbott, kepada Daily Mail.
Sejumlah dugaan disebut sebagai alasan ketidakakuratan tersebut. Menurut mantan bos lembaga survei Newspoll, Martin O’Shannessy, kekeliruan ini bersumber dari "perubahan perilaku responden dalam menggunakan telepon".
"Alasan mengapa kini sangat sulit melakukan polling melalui telepon adalah buku telepon sudah tidak eksis lagi," kata dia kepada ABC. "Tidak semua orang memiliki telepon rumah dan nomor-nomor telepon yang dipublikasikan tidak lengkap."
Sementara itu, Antony Green, analis pemilu ternama di ABC, mengatakan saat ini lembaga survei lebih banyak menggunakan nomor telepon seluler dan robocall. "Terjadi penurunan respons dari responden dan terjadi pula penurunan kualitas data."
Sudah satu dekade terakhir para penyelenggara survei politik berusaha melobi pemerintah Australia untuk mendapatkan akses ke Database Terpadu (IPND), yang memuat semua nomor telepon penduduk. Namun akses tersebut tidak diberikan kepada lembaga survei. Karena itu, menurut Green, akan semakin sedikit survei yang dilakukan untuk pemilu-pemilu berikutnya di Australia.
Dari sisi warga, mereka mengatakan telepon panggilan jajak pendapat otomatis tidak menyentuh sentimen lokal. "Mereka hanya ingin Anda mengatakan ‘Ya, Tidak, Tekan satu untuk ini, Tekan dua untuk itu’, kemudian Anda pergi," kata Colin Dunne, seorang petani sekaligus peternak di During, Queensland, kepada Reuters. "Di tempat saya tinggal, semua orang yang saya ajak bicara tidak memilih Partai Buruh."
ABC | REUTERS | DAILY MAIL | SITA PLANASARI AQUADINI
Akurat Berkat Media Sosial
Seorang pakar pengolahan data dari Griffith University, Profesor Bela Stantic, membuat prediksi yang berbeda dengan kebanyakan lembaga survei ternama. Ia menyimpulkan Scott Morrison akan terpilih kembali sebagai Perdana Menteri Australia.
Sebelumnya, pada 2016, Stantic memprediksi Donald Trump akan mengalahkan Hillary Clinton, juga Brexit akan dimenangkan oleh orang Inggris, yang ingin keluar dari Uni Eropa pada tahun yang sama.
"Saya mampu menilai opini masyarakat melalui media sosial mereka. Lembaga survei hanya mengandalkan jumlah sampel yang kecil," kata Stantic kepada ABC. "Saya hanya perlu berhati-hati untuk tidak menggunakan fake news."
Melalui riset independen yang dia lakukan selama lima hari sebelum pemilu, Stantic menganalisis 2 juta komentar di media sosial yang dikaitkan dengan 50 kata kunci. Hasilnya, ia memprediksi ALP tidak akan memenangi kursi di daerah-daerah pemilihan utama.
"Saya memantau media sosial selama sebulan terakhir dan saya membuat banyak pernyataan publik bahwa tidak ada alasan Partai Buruh akan menang, meskipun jajak pendapat mengatakan hal berbeda," ujar Stantic.
"Khususnya pekan ini, saya mengakses jutaan cuitan dan jelas bagi saya bahwa selain di Victoria dan Australia Selatan, tempat Partai Buruh unggul, tidak ada alasan bagi Buruh untuk mengambil alih."
ABC | SYDNEY MORNING HERALD | SITA PLANASARI AQUADINI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo