SALURAN untuk melakukan kegiatan oposisi rupanya sulit mereka
peroleh. Sekelompok anak muda yang bekerja pada majalah Formosa
di Taipeh, telah menggunakan peringatan Hari Hak Asasi Manusia
se Dunia sebagai kesempatan untuk memprotes. Namun aksi mereka
itu yang berlangsung di Kota Kaohsiung berakhir dengan
perkelahian antara polisi dan demonstran. Akibatnya gerakan '10
Desember' itu dituduh bertujuan menggulingkan pemerintahan yang
sah.
Sejumlah tokoh oposisi yang dituduh terlibat dibawa ke
pengadilan sejak pekan lalu. Delapan anggota staf majalah
Formosa -- yang sudah dibreidel-diadili berdasarkan hukum
darurat. Sedang 37 lainnya akan diseret ke pengadilan biasa.
Selain itu, 8 orang yang membantu menyembunyikan Shih Ming-teh,
tokoh utama gerakan itu, juga akan menghadap pengadilan hukum
darurat.
Shih Ming-teh, 39 tahun, bekas perwira angkatan darat pernah
dijatuhi hukuman seumur hidup karena tindakan makar tahun 1959.
Setelah menjalani hukuman selama 15 tahun, dia diampuni oleh
presiden dan keluar dari penjara tahun 1977.
Sebagai penduduk asli Taiwan, Shih rupanya belum kapok. Dia
terus berjuang melawan dominasi kaum penguasa yang umumnya
berasal dari daratan Cina.
Golongan pribumi ingin membebaskan Taiwan menjadi suatu negara
tersendiri. Penguasa Kuomintang ialah mereka yang melarikan diri
setelah Revolusi 1949 yang dipimpin Mao Tse-tung. Kuomintang,
satu-satunya partai yang berkuasa, bersikap keras, tanpa
toleransi terhadap oposisi.
Kaum pribumi, melalui Formosa, menyuarakan anti-Kuomintang.
Penerbitan ini memiliki 15 kantor cabang yang tersebar di
berbagai kota di Taiwan. Lambat laun ia merupakan organ terdepan
dari berbagai kelompok oposisi.
Sebulan sebelum kejadian '10 Desember' itu, mereka meminta izin
untuk mengadakan parade. Komandan Garnisun setempat -- khawatir
akan terjadi kerusuhan, karena diduga akan hadir sekitar 30.000
orang -- menolak.
Tepat pada harinya, walaupun tanpa izin, ribuan orang ternyata
berkumpul di depan kantor cabang Formosa di Kaohsiung, suatu
kota industri. Shih Ming-teh yang juga menjabat Pemimpin Umum
majalah itu, berpidato. Massa rupanya sudah tak terbendung lagi
untuk melakukan aksi. Membawa senjata berupa pentungan kayu,
besi dan obor, mereka meneruskan rencana parade. Sedang pasukan
keamanan garnisun segera bertindak. Suatu bentrokan pun terjadi,
korban dari pihak polisi saja konon mencapai hampir 200 orang.
Tapi di pengadilan, Shih menuduh bahwa polisi justru memancing
kerusuhan itu. Waktu itu polisi menyemprotkan gas air mata.
Belum diketahui bagaimana nanti keputusan pengadilan, namun
diduga Shih dan 7 anggota staf Formosa lainnya akan dijatuhi
hukuman sekitar 15 tahun penjara. Termasuk Lu Hsiu-lien, 35
tahun, seorang tokoh gerakan wanita.
Cukup Berat
Lu Hsiu-lien, yang meraih gelar M.A. di Universitas Harvard,
telah membeberkan kepada pengadilan cara interogasi yang
dialaminya. Dia telah diperlakukan sewenang-wenang oleh militer
yang menginterogasinya. Sebuah foto mengenai eksekusi seseorang
yang dituduh komunis ditunjukkan si pemeriksa untuk menakuti
wanita itu. Hal yang sama juga terjadi pada terdakwa lainnya.
Tapi pengadilan yang dipimpin oleh 5 orang hakim militer itu,
kali ini agak terbuka. Proses persidangannya berlangsung secara
pantas. Sesuatu yang luar biasa selama 30 tahun sejarah
peradilan di Taiwan. Terdapat pula kesempatan kepada wakil
Amnesty International untuk menghadiri sidang pengadilan itu.
Padahal tuduhan terhadap para terdakwa ini cukup berat, termasuk
tuduhan sebagai 'alat pemerintah RRC'.
Maka itu, kalangan pengamat melihat bahwa Presiden Chiang
Ching-kuo berusaha mengubah citra Taiwan. Dia tampaknya ingin
menampilkan sesuatu kesan adanya keadilan dalam proses perkara
sekarang ini. Sesuatu yang berbeda dengan cara di zaman ayahnya,
mendiang Chiang Kai-shek.
Begitupun, para terdakwa tetap membantah bahwa aksi mereka
bertujuan menggulingkan pemerintahan yang berkuasa. "Tujuan kami
tak lebih untuk memberi wadah yang sah bagi kekuatan oposisi,"
ujar Shih.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini