Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Cahaya sang monseigneur

Terbunuhnya mgr. romero. gereja katolik di el salvador, politik dan kehidupan amerika selatan. junta sipil-militer dan reformasi tanah. (ag)

12 April 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

USKUP Agung itu tak ada lagi. Para pembunuh telah menembaknya dua pekan yang lalu di sebuah kapel rumah sakit -- tepat ketika ia mengangkat piala dalam upacara misa harian sore itu (lihat Luar Negeri). Tapi peluru pistol kaliber 22 yang menembak jantungnya bergema ke luar dengan hebatnya. Seluruh Republik El Salvador seakan diancam perang saudara -- meskipun pemberontakan masih mustahil. Sampai akhir pekan lalu, belum pasti apa yang akan menimpa negeri kecil di Amerika Tengah itu. Yang sudah pasti, pembunuhan Uskup Agung Mgr. Oscar Arnulfo Romero membuktikan betapa dalamnya Gereja Katolik terlibat dalam masalah sosial politik -- secara tak terelakkan. Dua hari sebelum ia terbunuh, sang uskup agung sendiri menyatakan kepada dua wartawan radio dari Amerika Serikat "Gereja tak dapat memisahkan diri dari politik dan kehidupan sehari-hari rakyat." Bagi para pengamat kehidupan politik dan agama di negeri-negeri Amerika Latin, pernyataan semacam itu tak mengejutkan. Tapi toh Mgr. Romero bukan tipe padri yang mencoba menghubungkan diri dengan Marxisme-Leninisme. Ia bukan "padri merah" yang dengan bergelora bahkan ikut bergerilya melawan pemerintah. Mgr. Romero menolak tiap jalan kekerasan. "Saya tak melayani ideologi apa pun," katanya dalam wawancara terakhir itu. "Saya melayani organisasi kerakyatan, tapi bukan yang menggunakan kekerasan." Dengan demikian ia tokoh damai di tengah negeri yang dirajang bunuh-membunuh. San Salvador, dengan penduduk lebih sedikit ketimbang Jakarta (4 juta jiwa), selama triwulan pertarna 1980 saja telah mencatat 1.000 korban kekerasan politik. Negeri terkecil di rangkaian republik antara Meksiko dan Panama ini memang seakan harus menanggung itu terus-menerus. Tak berarti bahwa dalam sejarahnya yang panjang (El Salvador menyatakan kemerdekaan dari Spanyol tahun 1821) negeri ini hanya mengenal kekacauan. Masa antara 1885 sampai dengan 1931 misalnya dicatat bukan saja sebagai masa ketika kopi El Salvador jadi penting di dunia, tapi juga masa kian teraturnya pergantian presiden. Toh kenyataan tetap negeri ini belum matang dalam demokrasi, dan kekuasaan selalu berada di tanan kaum kaya. Percobaan ke arah demokrasi di tahun 1931 gagal, karena pihak militer muncul Diktatur militer pertama, Jenderal Hernandez Martine, yang berkuasa sampai 1944, berhasil membangun negeri itu dalam banyak hal. Tapi agaknya ia juga yang mulai cara keras dalam menindas para pengritik. Sejak itu, biarpun kemajuan yang mengesankan terjadi, misalnya di bawah Mayor Osorio (1950-56), kekerasan dan penggulingan kekuasaan menjadi ciri politik El Salvador. Perang Sepak Bola Apalagi orang-orang keturunan Spanyol dan Indian di sana memang gampang meledak. Di negeri yang terpadat di Amerika Tengah itu (460 jiwa per kilometer persegi) kecenderungan jadi ekstrim bisa aneh-aneh. El Salvador misalnya, menyerbu Honduras, setelah pertandingan sepakbola yang panas antara kedua negara itu di tahun 1969. Perang itu kemudian dicatat sebagai "Perang Sepakbola." Gereja Katolik dengan sendirinya tak bisa menjauh dari letupan panas di masyarakat Katolik Amerika Tengah yang seperti itu. Puncaknya mulai terasa di tahun 1977. Carlos Romero tahun itu jadi presiden, melalui suatu pemilu yang ditentang kaum oposisi. Romero adalah orang militer yang ketika jadi Menteri Pertahanan dan Keamanan menggencet protes mahasiswa dengan tangan besi. Dan ketika ia jadi Kepala Negara Februari 1977 itu, tak urung ia pun membasmi lawan politiknya. Dalam satu insiden, 200 orang tewas. Tapi bulan Februari itu pula muncul seorang Romero yang lain -- sang padri. Dalam usianya yang 60 tahun, ia ditunjuk Vatikan sebagai Uskup Agung San Salvador, ibukota republik. Gembala yang baik ini, di balik hidungnya yang perkasa dan alisnya yang tebal, pada mulanya seorang konservatif. Tapi Gereja di El Salvador telah menyaksikan banyak kesewenang-wenangan, dan kekejaman hari itu tak bisa dibiarkan. 28 Februari 1977, keuskupan mengeluarkan pernyataan yang oleh pemerintah dilarang dimuat di media massa. "Tiada damai di El Salvador", demikian pernyataan itu, "selama tiada keputusan yang serius untuk membagi harta dan tanah berdasarkan keadilan, untuk mengizinkan rakyat berorganisasi, selama penduduk pedesaan dan kota tak diakui dalam kedudukannya sebagai warganegara dan Tanah Tuhan .... " Seminggu kemudian, pasukan pemerintah membunuh Pastur Rutillo Granda beserta dua orang yang menemanina Sebulan setelah itu seorang padri Jesuit lainnya, Alfonso Navarro, yang bekerja untuk kaum tani yang terkebelakang, juga terbunuh. Teroris dari gerakan ekstrim kanan, yang menyebut diri "Tangan Putih", ternyata mengeluarkan ancaman kepada anggota Sarikat Jesuit atau pergi dalam waktu sebulan dari El Salvador, atau dibunuhi secara sistematis. Cahaya Evangeli Pemerintah dan kalangan tuan tanah yang mendukung "Tangan Putih" memang cemas, melihat gereja sejak tahun 1977 menggerakkan para biarawati membentuk basis-basis di pedesaan. Para wanita ini dengan berjalan kaki, mengunjungi dusun-dusun untuk mencari kader pemimpin umat. Tapi selain pelajaran tentang pemahaman Injil, para petani itu juga dididik baca tulis serta bekerja untuk kegiatan sosial ekonomi. Semua ini dianggap merepotkan, karena biasanya dari kegiatan macam itu kemudian timbul tuntutan petani untuk reformasi pemilikan tanah. Tuntutan itu juga yang disuarakan Mgr. Romero. Popularitasnya begitu besar, misanya penuh dikunjungi orang miskin dan kaum intelektual -- dan keresahan di El Salvador akhirnya memuncak hingga Presiden Romero digulingkan oleh sebuah kudeta, Oktober 1979. Junta sipil-militer yang menggantikannya dengan segera mencoba melaksanakan reformasi tanah pertanian yang dicita-citakan itu. Tapi, seperti dikemukakan Mgr. Romero, cara pelaksanaan itu mencemaskan rakyat. Pemerintah, dengan alasan menjaga reformasi dari gangguan kaum ekstrim kanan, menggunakan tentara. Dan akibatnya "tekanan terhadap rakyat meningkat dengan hebat," kata Mgr. Romero, sementara orang cemas akan terjadinya militerisasi daerah pedesaan." Karena itulah sang Uskup Agung tak berhenti bicara. "Saya harus menyalakan cahaya evangeli," katanya dua hari sebelum tewas. Cahaya itu ternyata tidak padam meskipun tangan yang mengangkatnya telah kejang berlumuran darah. Yang menyedihkan ialah bahwa kini cahaya itu bercampur api -- dari kanan dan kiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus