USKUP Agung itu tak ada lagi. Para pembunuh telah menembaknya
dua pekan yang lalu di sebuah kapel rumah sakit -- tepat ketika
ia mengangkat piala dalam upacara misa harian sore itu (lihat
Luar Negeri). Tapi peluru pistol kaliber 22 yang menembak
jantungnya bergema ke luar dengan hebatnya. Seluruh Republik El
Salvador seakan diancam perang saudara -- meskipun pemberontakan
masih mustahil.
Sampai akhir pekan lalu, belum pasti apa yang akan menimpa
negeri kecil di Amerika Tengah itu. Yang sudah pasti, pembunuhan
Uskup Agung Mgr. Oscar Arnulfo Romero membuktikan betapa
dalamnya Gereja Katolik terlibat dalam masalah sosial politik --
secara tak terelakkan.
Dua hari sebelum ia terbunuh, sang uskup agung sendiri
menyatakan kepada dua wartawan radio dari Amerika Serikat
"Gereja tak dapat memisahkan diri dari politik dan kehidupan
sehari-hari rakyat."
Bagi para pengamat kehidupan politik dan agama di negeri-negeri
Amerika Latin, pernyataan semacam itu tak mengejutkan.
Tapi toh Mgr. Romero bukan tipe padri yang mencoba menghubungkan
diri dengan Marxisme-Leninisme. Ia bukan "padri merah" yang
dengan bergelora bahkan ikut bergerilya melawan pemerintah.
Mgr. Romero menolak tiap jalan kekerasan. "Saya tak melayani
ideologi apa pun," katanya dalam wawancara terakhir itu. "Saya
melayani organisasi kerakyatan, tapi bukan yang menggunakan
kekerasan."
Dengan demikian ia tokoh damai di tengah negeri yang dirajang
bunuh-membunuh. San Salvador, dengan penduduk lebih sedikit
ketimbang Jakarta (4 juta jiwa), selama triwulan pertarna 1980
saja telah mencatat 1.000 korban kekerasan politik. Negeri
terkecil di rangkaian republik antara Meksiko dan Panama ini
memang seakan harus menanggung itu terus-menerus.
Tak berarti bahwa dalam sejarahnya yang panjang (El Salvador
menyatakan kemerdekaan dari Spanyol tahun 1821) negeri ini hanya
mengenal kekacauan. Masa antara 1885 sampai dengan 1931 misalnya
dicatat bukan saja sebagai masa ketika kopi El Salvador jadi
penting di dunia, tapi juga masa kian teraturnya pergantian
presiden. Toh kenyataan tetap negeri ini belum matang dalam
demokrasi, dan kekuasaan selalu berada di tanan kaum kaya.
Percobaan ke arah demokrasi di tahun 1931 gagal, karena pihak
militer muncul Diktatur militer pertama, Jenderal Hernandez
Martine, yang berkuasa sampai 1944, berhasil membangun negeri
itu dalam banyak hal. Tapi agaknya ia juga yang mulai cara keras
dalam menindas para pengritik. Sejak itu, biarpun kemajuan yang
mengesankan terjadi, misalnya di bawah Mayor Osorio (1950-56),
kekerasan dan penggulingan kekuasaan menjadi ciri politik El
Salvador.
Perang Sepak Bola
Apalagi orang-orang keturunan Spanyol dan Indian di sana memang
gampang meledak. Di negeri yang terpadat di Amerika Tengah itu
(460 jiwa per kilometer persegi) kecenderungan jadi ekstrim bisa
aneh-aneh. El Salvador misalnya, menyerbu Honduras, setelah
pertandingan sepakbola yang panas antara kedua negara itu di
tahun 1969. Perang itu kemudian dicatat sebagai "Perang
Sepakbola."
Gereja Katolik dengan sendirinya tak bisa menjauh dari letupan
panas di masyarakat Katolik Amerika Tengah yang seperti itu.
Puncaknya mulai terasa di tahun 1977.
Carlos Romero tahun itu jadi presiden, melalui suatu pemilu yang
ditentang kaum oposisi. Romero adalah orang militer yang ketika
jadi Menteri Pertahanan dan Keamanan menggencet protes mahasiswa
dengan tangan besi. Dan ketika ia jadi Kepala Negara Februari
1977 itu, tak urung ia pun membasmi lawan politiknya. Dalam satu
insiden, 200 orang tewas.
Tapi bulan Februari itu pula muncul seorang Romero yang lain --
sang padri. Dalam usianya yang 60 tahun, ia ditunjuk Vatikan
sebagai Uskup Agung San Salvador, ibukota republik. Gembala yang
baik ini, di balik hidungnya yang perkasa dan alisnya yang
tebal, pada mulanya seorang konservatif. Tapi Gereja di El
Salvador telah menyaksikan banyak kesewenang-wenangan, dan
kekejaman hari itu tak bisa dibiarkan.
28 Februari 1977, keuskupan mengeluarkan pernyataan yang oleh
pemerintah dilarang dimuat di media massa. "Tiada damai di El
Salvador", demikian pernyataan itu, "selama tiada keputusan yang
serius untuk membagi harta dan tanah berdasarkan keadilan, untuk
mengizinkan rakyat berorganisasi, selama penduduk pedesaan dan
kota tak diakui dalam kedudukannya sebagai warganegara dan Tanah
Tuhan .... "
Seminggu kemudian, pasukan pemerintah membunuh Pastur Rutillo
Granda beserta dua orang yang menemanina Sebulan setelah itu
seorang padri Jesuit lainnya, Alfonso Navarro, yang bekerja
untuk kaum tani yang terkebelakang, juga terbunuh. Teroris dari
gerakan ekstrim kanan, yang menyebut diri "Tangan Putih",
ternyata mengeluarkan ancaman kepada anggota Sarikat Jesuit atau
pergi dalam waktu sebulan dari El Salvador, atau dibunuhi secara
sistematis.
Cahaya Evangeli
Pemerintah dan kalangan tuan tanah yang mendukung "Tangan Putih"
memang cemas, melihat gereja sejak tahun 1977 menggerakkan para
biarawati membentuk basis-basis di pedesaan.
Para wanita ini dengan berjalan kaki, mengunjungi dusun-dusun
untuk mencari kader pemimpin umat. Tapi selain pelajaran tentang
pemahaman Injil, para petani itu juga dididik baca tulis serta
bekerja untuk kegiatan sosial ekonomi. Semua ini dianggap
merepotkan, karena biasanya dari kegiatan macam itu kemudian
timbul tuntutan petani untuk reformasi pemilikan tanah.
Tuntutan itu juga yang disuarakan Mgr. Romero. Popularitasnya
begitu besar, misanya penuh dikunjungi orang miskin dan kaum
intelektual -- dan keresahan di El Salvador akhirnya memuncak
hingga Presiden Romero digulingkan oleh sebuah kudeta, Oktober
1979.
Junta sipil-militer yang menggantikannya dengan segera mencoba
melaksanakan reformasi tanah pertanian yang dicita-citakan itu.
Tapi, seperti dikemukakan Mgr. Romero, cara pelaksanaan itu
mencemaskan rakyat. Pemerintah, dengan alasan menjaga reformasi
dari gangguan kaum ekstrim kanan, menggunakan tentara. Dan
akibatnya "tekanan terhadap rakyat meningkat dengan hebat," kata
Mgr. Romero, sementara orang cemas akan terjadinya
militerisasi daerah pedesaan."
Karena itulah sang Uskup Agung tak berhenti bicara. "Saya harus
menyalakan cahaya evangeli," katanya dua hari sebelum tewas.
Cahaya itu ternyata tidak padam meskipun tangan yang
mengangkatnya telah kejang berlumuran darah.
Yang menyedihkan ialah bahwa kini cahaya itu bercampur api --
dari kanan dan kiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini