Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Drama dor di kapel

Romero penentang pembaruan terbunuh, kelompok sayap kiri maupun kanan saling berselisih mengakibatkan banyak jatuh korban. (ln)

12 April 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUTIR peluru menembus dada Uskup Agung Oscar Arnulfo Romero. Terhenyak dan jatuh, dia sempat mengucapkan kalimat terakhir: "Tuhanku, ampunkan pembunuh itu." Waktu itu (24 Maret) Romero, 62 tahun, sedang mempersembahkan misa di suatu kapel rumah-sakit di San Salvador. Beberapa jam kemudian, puluhan bom meledak di berbagai tempat. Sejumlah gedung, kantor, toko dan pabrik hancur akibat ledakan bom itu. Romero adalah tokoh terkemuka pejuang hak asasi manusia di negara El Salvador. Sejak Presiden Carlos Humberto digulingkan oleh suatu junta sipil-militer, Oktober lalu, Romero sering melancarkan kritik tajam ke arah kelompok penguasa baru itu. Namun karena sikapnya yang anti kekerasan ia juga tak disukai oleh kelompok sayap kiri. Sementara kalangan sayap kanan juga menentangnya, karena dalam khotbahnya Romero selalu membela nasib si miskin. Ia menuntut persamaan dan keadilan. Siapa pembunuh Romero? Ada tuduhan terhadap kelompok sayap kanan yang membunuhnya untuk menjelekkan kelompok sayap kiri. Dari cerita orang yang melihat terjadinya pembunuhan itu timbul dugaan bahwa si pembunuh adalah orang bayaran, yang mampu menembak hanya dengan satu peluru dari jarak jauh. Selama ini kedua kelompok itu menentang program pembaruan ekonomi yang dilancarkan junta sipil-militer itu. Yaitu, landreform dan perubahan sistem perbankan. Kalangan sayap kiri ingin mendirikan pemerintahan sosialis. Sedang kalangan sayap kanan ingin memulihkan oligarki antara tuan tanah bersama sekutunya dari militer. Romero juga menentang program ini tapi dari sisi yang lain. Dia tidak setuju cara rezim ini melaksanakan landreform yang membatasi pemilikan tanah hanya seluas 484,5 hektar. Sejak pelaksanaannya Februali lalu, berbagai tindakan, kekerasan berlangsung. Karena berbarengan dengan pelaksanaan program itu, junta menyatakan negara dalam keadaan semi darurat. Dalam suatu wawancara radio, 2 hari sebelum terbunuh, Romero membeberkan berbagai kekejaman yang berlangsung. Di daerah yang tak terkena landreform, kata Romero, militer bahkan sangat menindas kaum tani, sehingga banyak petani yang lari ke kota. Rakyat khawatir kalau keadaan serupa ini akan membawa militer semakin berkuasa. Junta yang dipimpin oleh 2 kolonel dan 3 orang sipil ini kelihatannya tak mampu mengatasi kekalutan. Dua tokoh utama junta ini adalah Kolonel Jaime Gutierrez dan Adolfo Majano. Akibat pembunuhan Uskup Agung ini, kelemahan junta ini pekan lalu semakin terungkap. Tiga menteri telah meninggalkan negara itu, dan langsung mengajukan permintaan berhenti. Mereka rupanya khawatir atas keselamatan mereka sendiri. Di Ciudad Barrios, kampung halaman Uskup Agung Romero, 11 orang penduduk tewas ketika militer melakukan penggerebekan. Di tempat lain suatu pertempuran terjadi antara kelompok gerilya dengan tentara yang berakibatkan matinya 24 orang, termasuk petani. Melihat terjadinya kerusuhan yang terus menerus ini, kedutaan besar Amerika Serikat telah mengungsikan keluarga diplomatnya yang ada di San Salvador. Koordinator Massa Revolusioner (RCM) -- suatu payung organisasi gerakan sayap kiri -- diduga terlibat dalam kerusuhan itu. Dalam suatu jumpa pers di Universitas Nasional, San Salvador, RCM mengumumkan perang sampai junta sipil-militer itu terguling. Mereka juga menghimbau supaya dilakukan pemogokan umum. Vikaris Jenderal Keuskupan Agung San Salvador, Mgr. Ricardo Urioste, mengatakan bahwa dengan kematian Romero tinkat kekerasan mungkin akan menaik sedikit. Namun dia tidak percaya bahwa itu akan menimbulkan suatu revolusi. "Karena kelompok kiri tak mempunyai kemampuan untuk berperang," ujarnya. Yang jelas penguasa junta tampaknya cukup serius dalam usaha mencari pembunuh Uskup Agung itu. Namun pada hari pemakaman Uskup Agung itu (30 Maret), suatu kerusuhan terjadi lagi. Sekitar 300.000 orang pelawat lari kucar-kacir menyelamatkan diri ketika suara tembakan dan ledakan bom terdengar dimana-mana. Puluhan mobil dan beberapa toko ikut terbakar. Menurut sumber penguasa, peristiwa itu didalangi kelompok sayap kiri. Tapi Uskup James O'Brian, yang mewakili gereja Katolik Inggris dalam pemakaman itu, mengatakan bahwa militer yang membuat gara-gara. Ketika serombongan pelawat dari kelompok sayap kiri tiba, pasukan militer yang berjaga langsung menembak ke arah mereka. Soalnya kelompok itu tidak diperbolehkan memasuki Kathedral San Salvador oleh para petugas. Akibatnya 30 orang mati. Dan ratusan lainnya luka-luka. Begitu pun tak seorang tamu asing yang jadi korban. 'Uskup O'Brian bercerita, ketika dia dan wakil Vatikan serta tamu lainnya meninggalkan kathedral mereka meletakkan tangan di atas kepala sebagai tanda menyerah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus