SEBUTIR peluru menembus dada Uskup Agung Oscar Arnulfo Romero.
Terhenyak dan jatuh, dia sempat mengucapkan kalimat terakhir:
"Tuhanku, ampunkan pembunuh itu."
Waktu itu (24 Maret) Romero, 62 tahun, sedang mempersembahkan
misa di suatu kapel rumah-sakit di San Salvador. Beberapa jam
kemudian, puluhan bom meledak di berbagai tempat. Sejumlah
gedung, kantor, toko dan pabrik hancur akibat ledakan bom itu.
Romero adalah tokoh terkemuka pejuang hak asasi manusia di
negara El Salvador. Sejak Presiden Carlos Humberto digulingkan
oleh suatu junta sipil-militer, Oktober lalu, Romero sering
melancarkan kritik tajam ke arah kelompok penguasa baru itu.
Namun karena sikapnya yang anti kekerasan ia juga tak disukai
oleh kelompok sayap kiri. Sementara kalangan sayap kanan juga
menentangnya, karena dalam khotbahnya Romero selalu membela
nasib si miskin. Ia menuntut persamaan dan keadilan.
Siapa pembunuh Romero? Ada tuduhan terhadap kelompok sayap kanan
yang membunuhnya untuk menjelekkan kelompok sayap kiri. Dari
cerita orang yang melihat terjadinya pembunuhan itu timbul
dugaan bahwa si pembunuh adalah orang bayaran, yang mampu
menembak hanya dengan satu peluru dari jarak jauh.
Selama ini kedua kelompok itu menentang program pembaruan
ekonomi yang dilancarkan junta sipil-militer itu. Yaitu,
landreform dan perubahan sistem perbankan. Kalangan sayap kiri
ingin mendirikan pemerintahan sosialis. Sedang kalangan sayap
kanan ingin memulihkan oligarki antara tuan tanah bersama
sekutunya dari militer.
Romero juga menentang program ini tapi dari sisi yang lain. Dia
tidak setuju cara rezim ini melaksanakan landreform yang
membatasi pemilikan tanah hanya seluas 484,5 hektar. Sejak
pelaksanaannya Februali lalu, berbagai tindakan, kekerasan
berlangsung. Karena berbarengan dengan pelaksanaan program itu,
junta menyatakan negara dalam keadaan semi darurat.
Dalam suatu wawancara radio, 2 hari sebelum terbunuh, Romero
membeberkan berbagai kekejaman yang berlangsung. Di daerah yang
tak terkena landreform, kata Romero, militer bahkan sangat
menindas kaum tani, sehingga banyak petani yang lari ke kota.
Rakyat khawatir kalau keadaan serupa ini akan membawa militer
semakin berkuasa.
Junta yang dipimpin oleh 2 kolonel dan 3 orang sipil ini
kelihatannya tak mampu mengatasi kekalutan. Dua tokoh utama
junta ini adalah Kolonel Jaime Gutierrez dan Adolfo Majano.
Akibat pembunuhan Uskup Agung ini, kelemahan junta ini pekan
lalu semakin terungkap. Tiga menteri telah meninggalkan negara
itu, dan langsung mengajukan permintaan berhenti. Mereka rupanya
khawatir atas keselamatan mereka sendiri.
Di Ciudad Barrios, kampung halaman Uskup Agung Romero, 11 orang
penduduk tewas ketika militer melakukan penggerebekan. Di tempat
lain suatu pertempuran terjadi antara kelompok gerilya dengan
tentara yang berakibatkan matinya 24 orang, termasuk petani.
Melihat terjadinya kerusuhan yang terus menerus ini, kedutaan
besar Amerika Serikat telah mengungsikan keluarga diplomatnya
yang ada di San Salvador.
Koordinator Massa Revolusioner (RCM) -- suatu payung organisasi
gerakan sayap kiri -- diduga terlibat dalam kerusuhan itu. Dalam
suatu jumpa pers di Universitas Nasional, San Salvador, RCM
mengumumkan perang sampai junta sipil-militer itu terguling.
Mereka juga menghimbau supaya dilakukan pemogokan umum.
Vikaris Jenderal Keuskupan Agung San Salvador, Mgr. Ricardo
Urioste, mengatakan bahwa dengan kematian Romero tinkat
kekerasan mungkin akan menaik sedikit. Namun dia tidak percaya
bahwa itu akan menimbulkan suatu revolusi. "Karena kelompok kiri
tak mempunyai kemampuan untuk berperang," ujarnya. Yang jelas
penguasa junta tampaknya cukup serius dalam usaha mencari
pembunuh Uskup Agung itu.
Namun pada hari pemakaman Uskup Agung itu (30 Maret), suatu
kerusuhan terjadi lagi. Sekitar 300.000 orang pelawat lari
kucar-kacir menyelamatkan diri ketika suara tembakan dan ledakan
bom terdengar dimana-mana. Puluhan mobil dan beberapa toko ikut
terbakar. Menurut sumber penguasa, peristiwa itu didalangi
kelompok sayap kiri.
Tapi Uskup James O'Brian, yang mewakili gereja Katolik Inggris
dalam pemakaman itu, mengatakan bahwa militer yang membuat
gara-gara. Ketika serombongan pelawat dari kelompok sayap kiri
tiba, pasukan militer yang berjaga langsung menembak ke arah
mereka. Soalnya kelompok itu tidak diperbolehkan memasuki
Kathedral San Salvador oleh para petugas.
Akibatnya 30 orang mati. Dan ratusan lainnya luka-luka. Begitu
pun tak seorang tamu asing yang jadi korban. 'Uskup O'Brian
bercerita, ketika dia dan wakil Vatikan serta tamu lainnya
meninggalkan kathedral mereka meletakkan tangan di atas kepala
sebagai tanda menyerah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini