SECARA tak langsung Dimara, yang pernah 2 kali menjadi anggota
delegasi RI ke PBB di masa Trikora, mengungkapkan kepada
Kartidjo adanya beberapa kebocoran keuangan negara di Ir-Ja.
"Selama ini hasil bumi Irian Jaya dikuras, tapi pembangunan
sangat lamban karena itu rakyat resah," kata tokoh masyarakat
Ir-Ja itu kepada TEMPO, "semasih ada keresahan di sana, saya
tidak akan tinggal diam."
Tak lama setelah kunjungan Dimara dkk. ke DPR, 10 pemuda asal
Irian Jaya yang bermukim di Jakarta pertengahan Maret lalu
membentuk apa yang mereka namakan Koreri Independents Group
(KIG). Koreri, bahasa Biak artinya "pembaharuan". Seperti
halnya Dimara dkk. kelompok ini juga menghendaki putra daerah
sebagai gubernur Irian Jaya mendatang. Menurut rencana, minggu
ini mereka juga bermaksud menemui pimpinan DPR-RI.
"Ini bukan berarti kami bersikap provinsialistis," kata John
Sembay, jurubicara KIG yang pernah menjadi Ketua Persatuan
Mahasiswa Indonesia Irian Jaya. Dengan gubernur putra daerah,
tambah Sembay "setidaknya itu merupakan suatu kebanggaan,
meskipun belum tentu ada jaminan bahwa ia akan berhasil
membangun Ir-Ja."
Prosedur Wajar
Begitu pentingnya soal kepemimpinan daerah itu, hingga soal PT
Cigombong yang disinyalir memonopoli hampir semua proyek
pembangunan di Irian Jaya hanya dianggap "soal kecil" oleh
orang-orang Ir-Ja. Sinyalemen itu diungkapkan Dimara (55 tahun)
ketika bertemu dengan Wakil Ketua DPR-RI, Kartidjo. "Kalau soal
gubernur sudah oke, nanti Cigombong yang dianggap memonopoli itu
kan bisa diusir," kata Sembay lagi.
Baik Paprindey (wakil Gubernur Ir-Ja) maupun Soetran membantah
bahwa Cigombong memonopoli proyek-proyek. "Cigombong punya modal
dan peralatan besar. Semua proyek dapat diselesaikan tepat pada
waktunya, sedang perusahaan lain tidak pernah dapat
menyelesaikan proyek," kata Soetran pekan lalu di Departemen
Dalam Negeri. Dan karena perusahaan itu kabarnya juga didukung
seorang pejabat tinggi, maka sang gubernur pun "tidak bisa
berbuat apa-apa."
Bekas Gubernur Irian Jaya, Acub Zainal malah keberatan dengan
istilah "monopoli". Katanya: "Cigombong menggarap proyek tanpa
minta uang muka, bahkan pembayaran kepadanya baru dilakukan
beberapa tahun setelah itu. Perusahaan ini juga memenangkan
tender dengan prosedur wajar." Proyek yang ditangani Cigombong
ketika itu antara lain "pembangunan perumahan prajurit sampai
perwira," kata Acub.
Tapi Steef Patrick Nafuni, anggota DPR-RI dari Fraksi PDI asal
Irian Jaya melihat usaha PT Cigombong, "mulai dari batu kerikil
sampai bangunan berdiri -- sehingga pengusaha lemah pribumi
tidak mendapat kesempatan." Sehingga Agustus 1978, 65 pengusaha
yang tergabung dalam PEPNI (Persatuan Pengusaha Nasional
Indonesia) Irian Jaya dalam surat kepada Presiden mengungkapkan
beberapa hal tentang perusahaan itu.
Antara lain membeberkan beberapa proyek yang digarap Cigombong
mulai dari pagar rumah Sekwilda, pembersihan kantor gubernur,
penyediaan mobil pemadam kebakaran dan alat berat lainnya --
sampai pembangunan jembatan dan jalan-jalan besar. Diungkapkan
pula kebocoran APBD 1978/79 yang menyangkut tender pembangunan
jalan Sorong-Klamono dan jembatan di Jayapura, Manokwari dan
Sorong.
Berdiri 1955, mula-mula Cigombong berdagang hasil bumi di
kawasan Senen, Jakarta Sejak 1963, A. Wong alias Soedjojo,
melanjutkan usaha orang tuanya itu. Tiga tahun kemudian beralih
ke usaha impor-ekspor dan 1970 meloncat ke Irian Jaya. Kantor
pusatnya di Jayapura menempati rumah sederhana yang menjorok ke
sebuah lorong. Hanya tampak kesibukan kecil di sana.
Kantor penghubungnya di Jalan Kepu Selatan 61 Kemayoran,
Jakarta, juga sederhana. Tanpa papan nama, juga tidak tampak
kesibukan di situ. Yang ada hanya beberapa kursi dan meja. Tapi
3 rumah gedung nomor 8, 22 dan 47 di Jalan Kepu juga milik A.
Wong (38 tahun). Di salah satu gedung itulah direksi Cigombong
itu tinggal bersama istri dan 7 anaknya.
Benarkah ia memonopoli proyek-proyek di Irian Jaya? "Kalau hal
itu benar, saya siap menunggu opstib," kata A. Wong pekan lalu.
Benar atau tidak, tampaknya pembangunan Irian Jaya memerlukan
pendekatan yang lain. Seperti kata Paprindey: "Pembangunan di
sana memang terasa dipaksakan. Ibaratnya saya biasa makan sagu,
demikian pula nenek-moyang saya. Masa terus mau dialihkan ke
nasi dalam waktu singkat? Kultur masyarakat di sana, selama ini
kurang dipelajari dengan baik."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini