Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Irian Jaya, Soal Kecil Soal Besar

Monopoli pt cigombong atas proyek pembangunan di irian jaya. dan soal gubernur putra daerah. karena gubernur soetran masa jabatannya berakhir.

12 April 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SECARA tak langsung Dimara, yang pernah 2 kali menjadi anggota delegasi RI ke PBB di masa Trikora, mengungkapkan kepada Kartidjo adanya beberapa kebocoran keuangan negara di Ir-Ja. "Selama ini hasil bumi Irian Jaya dikuras, tapi pembangunan sangat lamban karena itu rakyat resah," kata tokoh masyarakat Ir-Ja itu kepada TEMPO, "semasih ada keresahan di sana, saya tidak akan tinggal diam." Tak lama setelah kunjungan Dimara dkk. ke DPR, 10 pemuda asal Irian Jaya yang bermukim di Jakarta pertengahan Maret lalu membentuk apa yang mereka namakan Koreri Independents Group (KIG). Koreri, bahasa Biak artinya "pembaharuan". Seperti halnya Dimara dkk. kelompok ini juga menghendaki putra daerah sebagai gubernur Irian Jaya mendatang. Menurut rencana, minggu ini mereka juga bermaksud menemui pimpinan DPR-RI. "Ini bukan berarti kami bersikap provinsialistis," kata John Sembay, jurubicara KIG yang pernah menjadi Ketua Persatuan Mahasiswa Indonesia Irian Jaya. Dengan gubernur putra daerah, tambah Sembay "setidaknya itu merupakan suatu kebanggaan, meskipun belum tentu ada jaminan bahwa ia akan berhasil membangun Ir-Ja." Prosedur Wajar Begitu pentingnya soal kepemimpinan daerah itu, hingga soal PT Cigombong yang disinyalir memonopoli hampir semua proyek pembangunan di Irian Jaya hanya dianggap "soal kecil" oleh orang-orang Ir-Ja. Sinyalemen itu diungkapkan Dimara (55 tahun) ketika bertemu dengan Wakil Ketua DPR-RI, Kartidjo. "Kalau soal gubernur sudah oke, nanti Cigombong yang dianggap memonopoli itu kan bisa diusir," kata Sembay lagi. Baik Paprindey (wakil Gubernur Ir-Ja) maupun Soetran membantah bahwa Cigombong memonopoli proyek-proyek. "Cigombong punya modal dan peralatan besar. Semua proyek dapat diselesaikan tepat pada waktunya, sedang perusahaan lain tidak pernah dapat menyelesaikan proyek," kata Soetran pekan lalu di Departemen Dalam Negeri. Dan karena perusahaan itu kabarnya juga didukung seorang pejabat tinggi, maka sang gubernur pun "tidak bisa berbuat apa-apa." Bekas Gubernur Irian Jaya, Acub Zainal malah keberatan dengan istilah "monopoli". Katanya: "Cigombong menggarap proyek tanpa minta uang muka, bahkan pembayaran kepadanya baru dilakukan beberapa tahun setelah itu. Perusahaan ini juga memenangkan tender dengan prosedur wajar." Proyek yang ditangani Cigombong ketika itu antara lain "pembangunan perumahan prajurit sampai perwira," kata Acub. Tapi Steef Patrick Nafuni, anggota DPR-RI dari Fraksi PDI asal Irian Jaya melihat usaha PT Cigombong, "mulai dari batu kerikil sampai bangunan berdiri -- sehingga pengusaha lemah pribumi tidak mendapat kesempatan." Sehingga Agustus 1978, 65 pengusaha yang tergabung dalam PEPNI (Persatuan Pengusaha Nasional Indonesia) Irian Jaya dalam surat kepada Presiden mengungkapkan beberapa hal tentang perusahaan itu. Antara lain membeberkan beberapa proyek yang digarap Cigombong mulai dari pagar rumah Sekwilda, pembersihan kantor gubernur, penyediaan mobil pemadam kebakaran dan alat berat lainnya -- sampai pembangunan jembatan dan jalan-jalan besar. Diungkapkan pula kebocoran APBD 1978/79 yang menyangkut tender pembangunan jalan Sorong-Klamono dan jembatan di Jayapura, Manokwari dan Sorong. Berdiri 1955, mula-mula Cigombong berdagang hasil bumi di kawasan Senen, Jakarta Sejak 1963, A. Wong alias Soedjojo, melanjutkan usaha orang tuanya itu. Tiga tahun kemudian beralih ke usaha impor-ekspor dan 1970 meloncat ke Irian Jaya. Kantor pusatnya di Jayapura menempati rumah sederhana yang menjorok ke sebuah lorong. Hanya tampak kesibukan kecil di sana. Kantor penghubungnya di Jalan Kepu Selatan 61 Kemayoran, Jakarta, juga sederhana. Tanpa papan nama, juga tidak tampak kesibukan di situ. Yang ada hanya beberapa kursi dan meja. Tapi 3 rumah gedung nomor 8, 22 dan 47 di Jalan Kepu juga milik A. Wong (38 tahun). Di salah satu gedung itulah direksi Cigombong itu tinggal bersama istri dan 7 anaknya. Benarkah ia memonopoli proyek-proyek di Irian Jaya? "Kalau hal itu benar, saya siap menunggu opstib," kata A. Wong pekan lalu. Benar atau tidak, tampaknya pembangunan Irian Jaya memerlukan pendekatan yang lain. Seperti kata Paprindey: "Pembangunan di sana memang terasa dipaksakan. Ibaratnya saya biasa makan sagu, demikian pula nenek-moyang saya. Masa terus mau dialihkan ke nasi dalam waktu singkat? Kultur masyarakat di sana, selama ini kurang dipelajari dengan baik."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus