Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Profil Maurice McInnis, Presiden Perempuan Pertama di Yale University

Ini profil Maurice McInnis perempuan pertama yang menjadi Presiden Yale University.

3 Juni 2024 | 19.53 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Yale University telah menunjuk Maurice McInnis, sebagai presiden ke-24 kampus tersebut. Dengan demikian, McInnis adalah presiden perempuan tetap pertama dalam sejarah institusi tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Maurice McInnis yang saat ini menjabat sebagai presiden Universitas Stony Brook, adalah pilihan bulat dari Dewan Pengawas Yale. Josh Bekenstein, wali senior dan ketua komite pencarian presiden, mengumumkan penunjukan ini, memuji McInnis sebagai pemimpin yang mengesankan, cendekiawan terkemuka, dan pendidik yang berdedikasi. Dilansir dari Insight and Diversity, McInnis akan memulai masa jabatannya di Yale University pada 1 Juli.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Porfil Maurice McInnis

Dikutip dari berbagai sumber, Maurie D. McInnis adalah seorang penulis dan sejarawan budaya Amerika. Sebelum terpilih jadi Presiden Yale University, ia menjabat sebagai presiden keenam Universitas Stony Brook dan akan mulai menjabat sebagai presiden ke-24 Universitas Yale pada 1 Juli 2024. 

McInnis menempuh pendidikan di University of Virginia, tempat di mana ia menerima gelar Bachelor of Arts dalam Sejarah Seni dengan predikat tertinggi pada 1988. Kemudian, ia melanjutkan pendidikannya di Yale University dan meraih gelar Ph.D. dalam Sejarah Seni pada 1996. 

McInnis adalah seorang cendekiawan terkemuka dalam sejarah budaya seni Amerika di era kolonial dan sebelum perang saudara. Penelitiannya berfokus pada hubungan antara seni dan politik di Amerika awal, terutama terkait politik perbudakan. 

Buku pertamanya, The Politics of Taste in Antebellum Charleston, meraih Spiro Kostof Award dari Society of Architectural Historians. Buku lainnya, Slaves Waiting for Sale: Abolitionist Art and the American Slave Trade, diterbitkan pada 2011 dan mendapatkan Charles C. Eldredge Book Prize dari Smithsonian American Art Museum serta Library of Virginia Literary Award untuk kategori non-fiksi. 

Baru-baru ini, ia menerbitkan Educated in Tyranny: Slavery at Thomas Jefferson's University. Selain itu, McInnis juga pernah bekerja sebagai kurator, konsultan, dan penasihat untuk berbagai museum seni dan situs bersejarah.

Awal Karier Maurice McInnis

McInnis memulai karier akademiknya di Universitas Virginia (UVA) pada tahun 1998. Selama hampir 20 tahun di UVA, ia memegang berbagai posisi kepemimpinan dan administratif, termasuk wakil bidang untuk urusan akademik, dekan asosiasi untuk program pendidikan sarjana di College of Arts and Sciences, direktur American Studies, dan profesor sejarah seni.

Pada 26 Maret 2020, McInnis diumumkan sebagai presiden keenam Universitas Stony Brook dan mulai menjabat pada 1 Juli 2020. Selama masa kepemimpinannya, ia berhasil memenangkan beberapa pertarungan politik penting untuk Universitas Stony Brook, termasuk mendapatkan sumbangan sebesar $500 juta dari Yayasan Simons dan memenangkan tawaran $700 juta untuk memimpin kampus New York Climate Exchange di Governors Island. 

McInnis telah menerima berbagai penghargaan dan kehormatan, termasuk:

  • National Endowment for the Humanities
  • Virginia Foundation for the Humanities
  • Charles C. Eldredge Prize untuk bukunya "Slaves Waiting for Sale: Abolitionist Art and the American Slave Trade" pada tahun 2012.
  • Library of Virginia Literary Award untuk kategori non-fiksi pada tahun 2012 untuk buku yang sama.
    Spiro Kostof Book Award dari Society of Architectural Historians untuk buku "The Politics of Taste in
  • Antebellum Charleston pada tahun 2007.
  • Fred B. Kniffen Book Award dari Pioneer America Society pada tahun 2007.
  • George C. Rogers, Jr. Book Award dari South Carolina Historical Society pada tahun 2006.
  • Thomas Jefferson Visiting Fellow di Downing College, Cambridge University.

Setelah pengangkatannya, McInnis mengumumkan komitmennya untuk mempertahankan lingkungan kampus yang beragam di Yale meskipun Mahkamah Agung AS memutuskan melawan penerimaan berbasis ras tahun lalu. Sentimen ini juga disuarakan oleh beberapa kolega McInnis, termasuk Kanselir sistem Universitas Negeri New York, Josh King, yang mencatat tujuan McInnis untuk membuat pendidikan perguruan tinggi dapat diakses oleh siswa dari berbagai latar belakang.

"Komitmen Maurie untuk memajukan keunggulan akademik, memastikan keragaman dan inklusi, serta mendukung fakultas yang luar biasa dalam melakukan pengajaran dan penelitian terbaik mereka membuatnya menjadi pilihan yang luar biasa untuk memimpin Universitas Yale," kata King. 

Penunjukan Maurice McInnis terjadi setelah proses pencarian yang panjang yang dimulai musim gugur lalu setelah kepergian Peter Salovey, yang membuat universitas tanpa presiden tetap selama tahun akademik yang penuh gejolak. Periode ini diwarnai oleh protes pro-Palestina di kampus dan tantangan terkait peluncuran formulir FAFSA yang baru.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus