Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEGEMBIRAAN tak terbendung lagi di Arthaloka. "Sukses, Pak!" ucapan selamat serta senyum mengembang mengiringi jabat tangan antaranggota tim manajemen geduhg Arthaloka yang baru, Senin pekan ini. Tim yang ketuanya ditunjuk dari PT Taspen itu kini menjadi pengelola baru, setelah Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor SR 178 tanggal 20 September lalu mengambil alih manajemen Arthaloka dari pengelola lama PT Mahkota Real Estate. Ketika berangkat ke kantornya, Widodo Soekarno - direktur utama PT Mahkota Real Estate - beserta wakilnya Rudy Patmasaputra tak menyangka pekerjaannya akan diambil alih secara mendadak. Karena itu, Widodo hanya mau menandatangani "pernyataan keberatan menyerahkan pengelolaan gedung" yang disodorkan padanya di hadapan sejumlah pejabat dari berbagai instansi, dan menolak membubuhkan tanda tangan pada "berita acara serah terima" yang sebenarnya memang direncanakan hari itu. Persoalan belum selesai memang, tapi pihak PT Taspen (Persero) yang memiliki bangunan itu - yang selama ini merasa tak mengecap keuntungan -telah menilai kejadian hari itu sebagai langkah maju. Sebaliknya, bagi PT Mahkota Real Estate, hal itu merupakan pukulan pahit. Pada mulanya kedua PT itu melakukan kerja sama yang dikukuhkan di hadapan Notaris Sulaeman Ardjasasmita, Februari 1971. PT Mahkota menyerahkan kapling seluas 10 ribu meter persegi di Jalan Sudirman, Jakarta, kepada PT Taspen dengan ganti rugi Rp 285 juta - harga waktu itu. Itu sudah di lunasi. Taspen, yang memiliki tanah dan uang, kemudian membangun gedung di tempat itu, dan bekerja sama dengan PT Mahkota yang berkewajiban mengelola gedung perkantoran itu. Untuk pekerjaannya itu, PT Mahkota akan menerima 5% dari keuntungan bersih uang sewa selama biaya investasi belum kembali. Setelah itu, pengelola memperoleh imbalan 10% - tanpa batas waktu yang memang tak dicantumkan dalam perjanjian. Ketika gedung bertingkat 19 itu dibangun, sebuah perjanjian ditanda-tangani lagi: PT Mahkota akan bertindak sebagai paying agent yang membayarkan uang Taspen kepada para kontraktor yang membangun gedung. Untuk itu, setiap bulan Taspen memindahkan dananya ke buku rekening PT Mahkota di beberapa bank Rp 100 juta. Ketika bangunan selesai awal tahun 1976, sudah lebih dari Rp 3,4 milyar uang PT Taspen yang terpakai. Tak jelas mengapa untuk membayar kontraktor saja PT Taspen waktu itu harus minta jasa PT Mahkota. Namun, yang pasti, gedung yang diberi nama Arthaloka, yang artinya "tempat peredaran uang", segera menjadi tambang rupiah. Berbagai perusahaan terkemuka memilih berkantor di situ, dengan mempertimbangkan lokasinya yang strategis dan prestisius. Misalnya American Express Bank, komputer Wang, dan perusahaan asuransi Afia Indonesia. Selama sembilan tahun beroperasi (sampai 1984), investasi itu telah menghasilkan uang sewa Rp 19 milyar. Bahkan pada saat bisnis perkantoran begitu lesu seperti saat ini, Arthaloka terisi oleh 44 perusahaan yang memberinya uang sewa sekitar Rp 350 juta sebulan. Setelah dipotong biaya operasi yang meliputi listrik, air, dan cleaning service, setidaknya keuntungan bersih bisa diperoleh Rp 250 juta sebulan. Namun, ternyata, tak semua keuntungan itu bisa begitu saja mengalir ke Taspen. Sebuah sumber menyebutkan bahwa Rp 9 milyar dari uang sewa telah dipakai PT Mahkota - dalam hal ini Widodo dan Rudy - tidak dengan semestinya untuk perbaikan rumah pribadi, biaya perjalanan dinas, representasi, dan berbagai anggaran tak wajar lainnya. Lebih dari itu, selama masa pembangunan Arthaloka, Widodo dan Rudy juga dianggap telah memakai uang Taspen untuk kepentingan pribadi, dengan "mentransfer uang ke rekening mereka, membuka kuitansi fiktif tidak mempertanggungjawabkan bunga deposito, memakainya untuk membeli tanah" yang keseluruhannya mencapai lebih dari Rp 1 milyar - nilai masa itu. Jadi, jumlah seluruhnya ditaksir mencapai lebih dari Rp 10 milyar. Sebenarnya pihak Taspen sudah berulang kali meminta direksi PT Mahkota mempertanggungjawabkan keuangan pengelolaan gedung. "Tapi tak pernah ditanggapi," keluh R.S. Rahardjo, direktur utama PT Taspen. Baru setelah kecurigaan dilaporkan ke Operasi Tertib Pusat pada Agustus 1978, persoalan makin jelas terbuka. Perkara muncul kembali awal tahun ini setelah kasus itu dilimpahkan ke kejaksaan. Pemeriksaan berikutnya makin menilai kedua orang itu bersalah: rupiah yang tak dapat dipertanggungjawabkannya membesar. Hingga kini Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) juga masih melakukan pemeriksaan pada mereka. Sampai akhirnya pemerintah mengambil tindakan mengambil alih manajemen dan menyerahkannya pada tim. Untuk melaksanakan ketentuan pemerintah itu pun tak mudah. Opstib, bagaimanapun, tetap dilibatkan dalam penyelesaian. "Opstib memang diminta membantu menyelesaikan kasus ini," kata E.Y. Kanter, koordinator Operasi Tertib Pusat. Selain Taspen, kejaksaan juga memang mengundang pihaknya. Jadi, "Keterlibatan Opstib dalam hal ini hanya untuk menyelamatkan uang negara dan untuk kepentingan nasional," ucap Kanter menjelaskan keterlibatan Opstib dalam tim manajemen yang baru itu. Anggota tim manajemen baru, walaupun PT Mahkota belum mau menerima keputusan pengambilalihan itu, juga diambil dari Departemen Kuangan Kejaksaan Agung, BPKP, dan PT Taspen sendiri yang menempatkan Djohan Barus sebagai ketua tim. Sesuai dengan keputusan menteri, sejak tanggal 23 September ini mereka menggantikan PT Mahkota, yang selama ini mengelola Arthaloka, untuk jangka waktu 180 hari, sampai ditunjuk pengelola yang tetap. Sedangkan segala kewajiban serta utang yang berhubungan dengan pengelo-laan gedung sebelum tanggal itu, menurut Rahardjo, adalah tanggung jawab PT Mahkota. Rahardjo juga telah berjanji pada 140 karyawan di Arthaloka untuk tidak memPHK-kan mereka, dan diharapkan tetap bekerja seperti biasa. Namun, mereka diminta memilih apakah tetap bekerja di Arthaloka atau di PT Mahkota Real Estate. Sedangkan pemakai jasa ruang tetap mesti membayar uang sewa seperti biasanya. Bahkan PT Mahkota pun harus membayar sewa dua lantai teratas yang dipakainya. Zaim Uchrowi Laporan Didi Prambadi & Musthafa Helmy (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo